Rabu, 28 September 2016

Sempitnya Lahan Pekerjaan Guru

Oleh : Miftahudin

    Guru merupakan tonggak kemajuan suatu bangsa dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Ia pihak yang paling bertanggung jawab melaksanakan proses pendidikan dan pengajaran. Para guru besar, doktor dan pakar-pakar ilmu pengetahuan yang ahli dibidang masing-masing juga tidak lepas dari peran seorang guru. Bahkan presiden, MPR, DPR, Mahkamah Agung dan lainnya berkat jasa guru yang mendidiknya semenjak pendidikan dasar, menengah, perguruan tinggi hingga mencapai spesifikasi keahlian yang dikuasainya. itu semua adalah buah dari pengajaran guru-guru mereka. Melupakan jasa guru sama artinya dengan lupa akan  kebodohan diri sendiri.

    Dasawarsa ini, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan formal seakan memudar. Berbagai kasus tawuran, seks bebas, narkoba, penjarahan, bahkan pemerkosaan banyak yang dilakukan oleh generasi emas bangsa ini, peserta didik di sekolah. Memudarnya kepercayaan tersebut dinilai bias terhadap asumsi mereka bahwa pendidikan formal sekarang tidak lagi sepenuhnya mampu menghantarkan anak-anak mereka pada kehidupan masa depan yang diimpikan. Selain sukses dalam hal ekonomi, tentunya mereka mendambakan anak-anaknya berbudi luhur yang mampu membalas jasa orang tua di masa renta.
Disaat kepercaan itu memudar, para guru-guru bulus (baru lulus) ini justru beramai-ramai mendaftarkan diri di sekolah tersebut. saking banyaknya yang daftar, sebagian sekolah kebingungan menyeleksinya. Bingungnya bukan karena mereka pada pendaftar bagus-bagus dan ber-SDM tinggi, melainkan bingung karena semua yang diseleksi rata-rata standar dan tidak ada yang bisa dibanggakan dari mereka. tapi, meski bagaimana pun jika pembelajaran tanpa itu tidaklah mungkin. Akhirnya opsi acak pun dilakukan, mana yang kira-kira paling banyak kontribusinya itulah yang dipilih. Bahkan kadang-kadang money politic pun ikut-ikutan dalam arena ini. Jadi guru bulus yang berduit peluangnya lebih besar dari pada guru-guru yang mengandalkan ijazah, transkrip nilai dan akta IV saja. Sehingga sempitnya lahan pekerjaan guru sekarang ini hanyalah laku bagi guru-guru yang tak berduit saja.
    Harapan pada orang tua dengan menguliahkan anak-anaknya pada perguruan tinggi fakultas pendidikan adalah menjadi guru yang mampu mengajar masyarakat, bangsa dan Negara. Harapan ini agaknya tersendat dengan semakin sempitnya lowongan yang dicari itu. Meskipun beratus-ratus sekolah yang ada di setiap daerah, namun itu tidaklah menjanjikan tempat bagi para guru-guru muda. Akhirnya, para orang tua pun kini menilai semakin tinggi mereka menyekolahkan anak-anaknya, semakin tinggi pula jumlah pengangguran terdidik yang menjadi beban masyarakat. Bahkan selain menjadi pengangguran, para pengangguran terdidik itu semakin jauh dari nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan sehari-harinya (Syamsul Ma’arif : 103). Bahkan pola pikirnya cenderung pola pikirnya menjadi penyakit serta merusak tatanan masyarakat sekitarnya. 
    Sepenggal cerita ini mungkin ada gunanya juga. “Percuma saja sekolah, paling ujung-ujungnya juga akan jadi kuli”. Itulah cemoohan seorang kuli pabrik kopra dalam film teaterikal laskar pelanginya Andrea Hirata kepada Ikal ketika mau diantar ayahnya (Mathias Muchus) dihari pertamanya ia mau sekolah. Yang ada dibenak sang ayah, kemungkinan besar sama dengan apa yang diangan-angankan para orang tua sekarang, yakni kelayakan hidup di masa depan. Kebahagiaan anak adalah kado terindah bagi orang tua.
    Namun, melihat realita sekarang ini, tak ada salahnya kita lebih sedikit merenungkan dalam-dalam kuli perkataan pabrik di atas. Buat apa sekolah tinggi-tinggi, gelar sarjana pendidikan di gondol dengan predikat camloude, jika ujung-ujungnya menjadi marketing, entah itu eksekutiflah, representatiflah, dan lain sebagainya. Bahkan ada teman kampus saya dulu yang amat serius menekuni kuliahnya di jurusan Tadris Fisika sekarang menjadi tukang penarik kredit bermasalah di sebuah Bank Perkreditan Rakyat di Ungaran Kabupaten Semarang. Meski bahasanya agak diperhalus menjadi Collector Eksekutif (CE), namun tetap saja ia bak algojo yang siap mencekik leher masyarakat. Naasnya, jika masyarakat yang mempunyai tunggakan kredit itu masyarakat kecil yang rela menggadaikan BPKB motornya untuk membiayai anak-anaknya agar bisa terus sekolah. Ironis memang, sewaktu dulu masih kuliah ia sibuk mempelajari teori-teori pendidikan, termasuk bagaimana cara mendidik masyarakat, justru sekarang ia sangat sibuk mempelajari bagaimana masyarakat secepat mungkin bisa membayar tagihan supaya tidak nunggak di bulan berikutnya.
    Suatu ketika saya sempat bersua dengannya tengah sibuk menganalisis tunggakan kredit yang bermasalah. Ternyata tak kurang dari puluhan orang yang nunggak bulan itu. Secara otomatis, ia pun menyusun strategi perencanaan yang matang, biasanya ia menelpon terlebih dahulu sebelum mendatangi rumahnya. Meski kadang-kadang telponnya di reject secara kasar karena jelas kedatangannya ke rumah pasti tidak disukai. Ironisnya lagi, padahal ia dulu setiap malam sibuk mempersiapkan RPP (rencana Pelaksanaan Pembelajaran) untuk mengajar di pagi harinya, tapi justru sekarang ia sibuk membuat RPP (Rencana Pelaksanaan Penagihan).
    Belum tahu pasti, seberapa banyak teman yang bernasib sama sepertinya. Seharusnya ia jadi guru di sekolah, akan tetapi karena sempitnya lahan pekerjaan guru sekarang memaksa ia beralih profesi sebagai CE. Guru yang seharusnya ia di gugu lan di tiru karena nasib berkata lain, ia pun di sekarang di guyu lan di laru (ditertawakan dan digoda) atau setiap hari minggu gaweyane tora-turu (setiap hari minggu pekerjaannya tidur melulu). Meski bagaimana pun juga, karena ia menganggap itu pekerjaan halal sampai sekarang dan mungkin selamanya ia akan tetap menjalaninya.
    Teman saya di atas merupakan salah satu tidak adanya transparansi dari pihak pengelola pendidikan, terutama sekolah-sekolah swasta. Era globalisasi ini mengakibatkan sistem pendidikan kita tidak bersih dan semakin tidak jelas arah dan tujuannya. Hal ini bisa dibuktikan ketika mau memasuki tahun ajaran baru, hampir setiap sekolah, terutama sekolah swasta saling mencari sensasi dan memikat masyarakat dengan memasang spanduk “Menerima Peserta Didik baru”di sana sini, baik di desa maupun kota dalam hal ini tidak ada bedanya. Banyak yang mereka unggulkan, seperti fasilitas terlengkap, bebas uang gedung, bebas biaya pendaftaran, dan program-program lainnya. Bahkan sebagian mereka ada yang menjanjikan kualitas guru yang profesional dan bilingual. Meskipun ketika ada sertifikasi guru para guru-guru profesional tersebut pada kalang kabut bingung dengan sendirinya.
    Akhirnya pun masyarakat sama berbondong-bondong mendaftarkan putra putrinya yang dinilai unggul dalam spanduk tersebut. meski sebagian orang tua ada yang mengeluh karena anaknya disekolahkan semakin pintar justru semakin cerdas membantah orang tuanya sendiri. Tahun ajaran baru sama artinya dengan menambah keuangan sekolah. Nah, realita ini coba kita refleksikan dengan rekrutmen gurunya. Mana ada sekolah yang terang-terangan memasang spanduk “Menerima Guru Baru”. Kecuali sekolah yang mau di buka, spanduk tersebut bisa dipastikan tidak ada sama sekali. Hal ini atas pertimbangan terlalu repot, juga untuk meminimalisir anggaran sekolah. Padahal kalau dipikir secara positif, mestinya tidak ada masalah dengan mengeluarkan biaya sedikit, namun berpeluang mendapatkan kualitas guru yang benar-benar diharapkan. Terutama guru-guru muda yang masih kaya akan teori-teori pembelajaran yang konstruktif. Ibarat buku, tentu buku-buku terbiatan baru yang paling diminati para pembacanya dibanding buku-buku lama yang mungkin isinya sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Dalam hal ini, banyak juga kan guru-guru yang menggunakan metode lama dalam mengajarnya sehingga membuat peserta didik jenuh dan membosankan.
    Transparansi rekrutmen guru selama ini masih belum Nampak. Meski sebagian sekolah sudah ada yang mau membuka lowongan di iklan-iklan kecik surat kabar atau di internet. Itu pun jika ada anggarannya. Kalau tidak, jalan satu-satunya adalah dari mulut ke mulut. Bahkan ada sekolah yang kebanyakan para gurunya masih ada tali kekerabatan. Kepala sekolah sebagai ketua besar, para pengurus dijabat oleh adik-adik atau kemenakannya dan para gurunya diisi anak sendiri atau anak dari saudara, dan seterusnya. Sehingga masyarakat sering menamai sekolah tersebut dengan sekolah keluarga. Padahal, sebenarnya pembangunan itu menggunakan uang masyarakat.
  Untuk mengatasi masalah sempitnya lahan guru ini tentunya harus mengubah sistem yang ada, baik sistem pelaksanaan rekrutmen di perguruan tinggi maupun di sekolah. Di samping setiap perguruan tinggi harus membatasi jumlah mahasiswa yang diterima, pihak sekolah pun juga harus bersikap terbuka pada siapapun perihal informasi lowongan guru. Tidak kalah pentingnya, dalam hal ini sangat dibutuhkan semacam portal informasi lowongan guru karena selama ini portal lowongan tersebut hanya ada ketika pendaftaran calon pegawai negeri sipil (CPNS).
Berkaitan dengan sempitnya lahan pekerjaan guru ini, anggap saja para guru-guru muda menghela nafas lega. Nampaknya, pemerintah mempunyai program merekrut ribuan sarjana untuk dijadikan guru di pelosok  Indonesia. Terhitung sebanyak 12 LPTK yang ikut meramaikan program yang bertema ”maju bersama mencerdasakan Indonesia” ini. tidak kurang dari 3.500 sarjana se-Indonesia akan ditempatkan di daerah-daerah pelosok yang masuk dalam kategori 3 T, yakni terdepan, terluar dan tertinggal. Wilayah tersebut antara lain Provinsi Aceh, Kepulauan Riau, Papua, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara. Pendaftaran secara resmi dibuka tanggal 20 Oktober – 29 Oktober 2011. Kemudian diadakan penyeleksian tanggal 30 Oktober – 1 November 2011.
    Lama penempatan mengajar tersebut, menurut infonya hanya setahun kemudian sepulangnya dari tempat mengajar tersebut direkomendasikan untuk bisa mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) dengan dibiayai pemerintah. Tentu ini sebuah tantangan, pertama, harus meninggalkan keluarga dan istri kalau sudah menikah. Kedua, mengorbankan aktivitas keseharian, entah di organisasi, pertokoan, dan lain sebagainya. Ketiga, mengajar anak didik yang berbeda adat, bahasa dan budaya. Keempat, mengajar peserta didik yang ber SDM rendah karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
    Masih banyak lagi tantangan-tantangan lainnya dan kemungkinan para guru-guru muda yang sempat meliriknya pun jangan hanya berpikir sekali untuk mengikuti seleksinya. Pasalnya, persiapan yang dibutuhkan bukan hanya materi melainkan juga mental. Kekuatan mental dalam hal ini menjadi kuncinya. Apalagi dikabarkan dengan mengikutinya dapat bonus PPG. Padahal fakta di lapangan, pembinaan dan pelatihan guru di Indonesia terasa mandek, berjalan di tempat, bahkan cenderung mundur (SM,12/10/11). Hal ini langsung disampaikan oleh ketua PGRI Dr. H. Sulistiyo, M.Pd saat memberi sambutan pada acara peringatan hari guru internasional tanggal 5 Oktober 2013 di gedung PB PGRI Jakarta. Pembinaan profesi guru ibarat barang langka yang sangat sulit dijumpai di daerah-daerah. Para guru tetap saja jarang memperolehnya, apalagi guru sekolah swasta dan guru honorer. Bahkan ini apalagi yang sebelumnya belum mengajar, kemudian diiming-imingi PPG jika mau berangkat mengajar di daerah tertinggal. Yang sudah ada saja tidak dijalankan, kok car peserta baru.
    Apa ini yang dimaksudkan pemerintah untuk mengurangi pengangguran terdidik tenaga kependidikan? Jika memang benar, khususnya warga Jawa Tengah agaknya sedikit berseberangan denga jargon Gubernurnya, “Bali Deso Mbangun Deso” saat itu (2008 - 2013). Para guru muda yang berharap setelah lulus kemudian ke desanya masing-masing ternyata belum ada kursi untuknya. Bagaimana mau Mbangun Deso? Sekian tahun menunggu kursi di desanya, tapi justru ini mau dikirim ke daerah tertinggal di luar pulau sana. Harusnya pemerintah, dalam hal ini, mengadopsi sistem yang sudah diterapkan oleh Unissula Semarang yang sudah menerapkan program cerdas sultraku (Sulawesi Tenggaraku) 2011.
    Yang dilakukannya bukan para lulusannya untuk dikirim ke daerah terpencil, melainkan Unissula merekrut anak-anak Sulawesi kurang lebih 1.000 orang untuk kuliah di kampusnya di Semarang dengan beasiswa penuh. Harapannya, setelah mereka kembali nanti akan mampu membangun daerahnya sendiri. Bukan membangun yang cuma relatif dalam waktu satu tahun, kemudian ditinggal pergi. Hal ini rasa-rasanya menghambur-hamburkan uang Negara untuk hal yang tidak efektif. 
    Jika Unissula mampu menjaga dan mengembangkan potensi anak didik keluarga miskin (anak nelayan dan anak sopir di sultra) untuk mengenyam pendidikannya di fakultas kedokteran, mengapa pemerintah tidak berbuat demikian. Inilah era otonomi daerah, yang seharusnya digunakan oleh stake holder daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya masing-masing yang belum tersentuh. Ternasuk mengenai pendidikan karena faktor inilah yang penting untuk dikembangkan.

Selasa, 20 September 2016

Pelatihan USAID Modul 3 tgl 4-5 April 2016


MI Miftahul Akhlaqiyah mengikuti pelatihan USAID modul 3 yang dilaksanakan pada tanggal 4 s.d 5 April 2016.










Senin, 19 September 2016

Animasi Anak Muslim











MENYAMBUT HARI SANTRI NASIONAL 2016


Tahun 2016 merupakan tahun ke-2 negara Indonesia memperingati Hari Santri Nasional (HSN). HSN ada pada masa pemerintahan Presiden Ir. Joko Widodo. Di harapkan dengan peringatan ini, menjadi titik tolak upaya mengarusutamakan santri ke tengah peradaban umat Islam Indonesia. Kemerdekaan bangsa ini faktanya tidak lepas dari perjuangan para santri Nusantara.


Menurut Kementerian Agama setidaknya ada lima alasan penetapan Hari Santri Nasional (HSN), yaitu : Pertama, hari santri merupakan ejawantah dari pemaknaan sejarah Indonesia yang tidak terpisahkan dari berdirinya sebuah bangsa. Inilah yang membedakan Indonesia dengan negara lain. Indonesia tidak hanya dibangun dengan senjata, darah dan air mata, tetapi berdiri karena keikhlasan dan perjuangan para santri religius yang berdarah merah putih.


Kedua, santri merupakan implementasi kekuatan relasi Islam dan negara. Kedua simbol ini dapat tercermin dari seorang santri. Sehingga adanya hubungan ini, Indonesia dapat menjadi model dunia tentang hubungan Islam dan negara. Ketiga, meneguhkan persatuan umat Islam yang telah terafiliasi dan menyejarah dalam ormas islam dan parpol yang berbeda, perbedaan melebur dalam kesantrian yang sama.


Keempat, eksistensi santri yang sangat menyejarah itu berpotensi termarjinalkan oleh derasnya arus globalisasi. Ini harus dilakukan pembendungan dengan cara menghargainya melalui penetapan Hari Santri Nasional.

Kelima, hari santri menunjukkan eksistensi indonesia kepada dunia bahwa Indonesia yang religius demokratis. Demikian, upaya merawat dan mempertahakan religiusitas Indonesia yang demokratis di tengah kontestasi pengaruh ideologi agama global yang cendrung ekstrim radikal.


Seperti diketahui, secara seremonial peringatan Hari Santri Nasional yang jatuh pada 22 Oktober setiap tahunnya. Tahun 2016 merupakan tahun ke-2 pelaksanaan peringatan tersebut. Selamat Hari Santri Nasional.