Minggu, 26 Mei 2019

PENGARUH KEPERCAYAAN UMAT ISLAM TERHADAP PERKEMBANGAN AS SUNNAH


oleh : Miftahudin
Guru SMP Negeri 1 Semarang
Mahasiswa Pascasarjana Unwahas Semarang


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
As Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam, maka akan menuai sebuah kesesatan. Ayat-ayat al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran as Sunnah, ini sebagai sumber hukum Islam.
Semenjak Nabi Muhammad SAW wafat, para sahabat kehilangan tempat bertanya secara langsung. Meski demikian, kegiatan penafsiran Al-Quran tidak berhenti. Munculnya persoalan-persoalan baru mendorong umat Islam generasi awal tersebut untuk mencurahkan perhatiannya dalam menjawab persoalan umat. Dalam memahami Al-Quran pada masa itu, pegangan utama para sahabat adalah riwayat-riwayat yang dinukilkan dari Nabi. Upaya memahami al Qur’an pun juga dimulai dengan memahami as Sunnah supaya penjelasan yang ada di dalam al Qur’an ada bukti refrentifnya dari sikap dan perilaku nabi Muhammad Saw.
Untuk fokus pada materi pengaruh kepercayaan umat terhadap perkembangan as Sunnah ini diperlukan adanya tiga alasan, yaitu; Pertama, Sebagian besar ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an masih bersifat global, yang masih memerlukan penjelasan dalam implementasinya. Kedua, hukum yang terkandung di dalam al-Sunnah sejalan dengan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an adalah undang-undang yang harus di ikuti.
Mengingat pentingnya alasan diatas, maka pemahaman mengenai perkembangan as Sunnah ini menjadi sangat penting. Dalam makalah ini, pemakalah berusaha menyajikan bagaimana kepercayaan umat Islam terhadap as Sunnah itu sendiri, apakah dinamis ataukah statis?
B.  Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dibatasi pembahasannya dengan rumusan masalahnya sebagai berikut :
1.    Apakah yang dimaksud As Sunnah?
2.    Bagaimanakah kedudukan as Sunnah sebagai sumber hukum Islam?
3.    Bagaimanakah pengaruh kepercayaan umat Islam  terhadap perkembangan As Sunnah?
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian As Sunnah
1.    Pengertian
As Sunnah berasal dari bahasa arab yang secara etimologis berarti’ jalan yang biasa dilalui” atau “cara yang senantiasa dilakukan “ , atau “kebiasaan yang selalu dilaksanakan”, apakah kebiasaan atau cara itu sesuatu kebiasaan yang baik atau buruk. Secara terminologis, as Sunnah bisa dilihat dari tiga bidang ilmu, yaitu dari ilmu hadist, ilmu fiqh dan ushul fiqih.[1]
As Sunnah menurut para ahli hadist identik dengan hadist, yaitu: seluruh yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan ataupun yang  sejenisnya (sifat keadaan atau himmah). Sedangkan menurut  ahli ushul fiqh adalah  segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, berupa perbuatan, perkataan , dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum. Menurut mereka, di samping pengertian yang dikemukakan para ulama’ ushul fiqh di atas, juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taqlifih, yang mengandung pengertian perbuataan yang apabila dikerjakan mendapat pahaladan apabila ditinggalkan tidak medapat siksa (tidak berdosa).
Akan tetapi para ulama Ushul Fiqh, membatasi pengertian hadits  hanya pada ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum, sedangkan bila mencakup, pula perbuatan dan taqrir yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai dengan Sunnah.
Dalam kondisi yang lain terkadang dengan perbuatan, beliau menerangkan maksudnya. Seperti pelajaran shalat yang beliau ajarkan kepada mereka (para sahabat) secara praktek dan juga cara-cara ibadah haji. Dan kadang para sahabatnya brbuat sesuatu di hadiratnya atau sampai berita-berita berupa ucapan atau tindakan mereka kepada beliau, tetapi hal ini tidak di ingkarinya, bahkan didiamkannya saja, padahal beliau sanggup untuk menolaknya(kalau tidak dibenarkan) atau nampak padanya setuju dan senang.
2.    Perbedaan Hadist dengan Sunnah
Menurut Nur Cholis Majid, Sunnah  lebih  luas  daripada  hadits,  termasuk  yang  sahih. Berarti,  sunnah  tidak  terbatas hanya pada hadits. Sekalipun pengertian ini cukup jelas, namun masih juga sering mengundang kekaburan.  Memang,  antara sunnah dan hadits terbentang garis kontinuitas yang tidak terputus, namun mencampuradukkan antara keduanya tidak dapat dibenarkan.
Jika disebutkan oleh Nabi bahwa sunnah merupakan pedoman kedua setelah Kitab Suci bagi kaum muslim dalam memahami agama, maka sesungguhnya  Nabi  hanya  menyatakan sesuatu yang amat logis. Yaitu, dalam memahami agama dan melaksanakannya,  orang  Islam tentu  pertama-tama  harus  melihat  apa  yang ada dalam Kitab Suci, kemudian, kedua, harus  mencari  contoh  bagaimana  Nabi sendiri  memahami dan melaksanakannya. Sebab, Nabi-lah sebagai utusan Tuhan, yang secara logis paling  paham  akan  apa  yang dipesankan Tuhan pada manusia melalui beliau, juga yang paling tahu bagaimana melaksanakannya. Pengertian lain yang menyalahi hal itu mustahil dapat diterima.
Pemahaman  Nabi  terhadap  pesan  atau wahyu Allah itu teladan beliau dalam melaksanakannya membentuk "tradisi" atau "sunnah" kenabian (al-sunnah al-Nabawiyyah). Sedangkan hadits merupakan bentuk reportase atau penuturan tentang  apa  yang  disebabkan Nabi  atau  yang  dijalankan dalam praktek tindakan orang lain yang "didiamkan" beliau (yang dapat  dapat  diartikan  sebagai
"pembenaran").  Itulah  makna  asal kata hadits, yang sekarang ini definisinya makin luas batasannya dan komprehensif.  Namun demikian,   tidak   berarti  bahwa  hadits  dengan  sendirinya mencakup seluruh sunnah.
Jika sunnah merupakan keseluruhan  perilaku  Nabi,  maka  kitadapat  mengetahui  dari  sumber-sumber  yang  selama ini tidak dimasukkan sebagai  hadits,  seperti  kitab-kitab  sirah  atau biografi Nabi. Sebab, dalam lingkup sunnah sebagai keseluruhan tingkah laku Nabi,  harus  dimasukkan  pula  corak  dan  ragam tindakan  beliau,  baik sebagai pribadi maupun pemimpin. Dalam kedudukan beliau sebagai  pemimpin  itulah  Kitab-kitab  sirah banyak memberi gambaran.
Di antara kitab-kitab sirah, termasuk yang sangat dini ditulis ialah Sirah Ibn Ishaq yang kemudian disunting oleh Ibn  Hisyam (berturut-turut  wafat pada tahun 151 dan 219 Hijri). Meskipun wafat di Baghdad, Ibn Ishaq lahir di Madinah  (pada  tahun  85 H),  dan tumbuh sebagai sarjana terkemuka di kota Nabi. Dan ia
telah mengumpulkan bahan untuk kitab sirah-nya  beberapa  lama sebelum usaha-usaha pengumpulkan hadits.
Sebelum  Ishaq,  telah  muncul  berbagai  karya  tulis tentang riwayat  peperangan  Nabi  yang  lazim   disebut   kitab-kitab al-Maghazi.   Kitab-kitab   itu,  bersama  dengan  kitab-kitab biografi Nabi yang lain amat penting, karena  memuat  gambaran tentang perjalanan hidup Nabi khususnya dalam kapasitas beliau sebagai pemimpin. Maka, kitab-kitab itu juga merupakan  sumber yang baik untuk memahami sunnah, khususnya, jika yang dimaksud selain tindakan-tindakan Nabi atau sabda beliau yang  bersifat terpisah dan ad hoc seperti umumnya tema catatan hadits.
Dalam sejarah terbukti bahwa pembacaan biografi Nabi, khususnya yang
berkaitan dengan riwayat peperangan beliau yang dikena sebagai al-Maghazi   tersebut,   berhasil    membangkitkan    semangat perjuangan  Islam,  karena  ilham  teladan  baik  dari beliau. Inilah  "eksperimen"  Sultan  Shalah  al-Din  al-Ayyubi  dalam menghadapi tentara Salib, yang ternyata berhasil gemilang. Dan
dengan  "eksperimen"  itu  pemimpin  Islam  dari  Mesir   yang kemudian   terkenal   dengan   sebutan  "Sultan  Saladin"  itu mewariskan pada Umat Islam seluruh dunia tradisi Maulid, yaitu upacara  memperingati  kelahiran  Nabi  dengan membaca riwayat hidup beliau.
Sunnah  Nabi   harus   pula   dipahami   sebagai   keseluruhan kepribadian Nabi dan akhlak beliau, yang dalam kepribadian dan akhlak beliau disebutkan dalam Kitab Suci sebagai teladan yang baik   (uswah  hasanah)  bagi  kita  semua  "yang  benar-benar berharap pada Allah pada Hari  Kemudian,  serta  banyak  ingat kepada Allah"   (Q.S.   al-Ahzab  33:32).    Dan  beliau  juga dilukiskan dalam Kitab Suci  sebagai  seorang  yang  berakhlak amat  mulia  (Q.S. al-Qalam 68:4). Dengan demikian Nabi, dalam hal ini tingkah laku dan kepribadian  beliau  sebagai  seorang yang  berakhlak  mulia,  menjadi  pedoman  hidup kedua setelah
Kitab Suci bagi seluruh kaum beriman. Tetapi justru karena itu maka memahami sunnah Nabi tidak dapat lepas  dari  memahami  Kitab  Suci sendiri. Sebab sesungguhnya akhlak Nabi yang mulia itu tidak lain  adalah  semangat  Kitab
Suci  al-Qur'an  itu  sendiri, sebagaimana dilukiskan A'isyah, isteri beliau. Dari Kitab Suci kita  mengetahui  lebih  banyak perkembangan  kepribadian  Nabi  yang menggambarkan pengalaman Nabi, baik yang menyenangkan atau tidak,  yang  keseluruhannya menampilkan   sosok   Nabi  yang  berkeprlbadian  mulia.  Dari pengamatan atas  gambaran  itu  kita  dapat  memperoleh  ilham tentang  peneladanan  pada  beliau,  dan  keseluruhan  sasaran peneladanan itu tidak lain ialah sunnah nabi

B.  As Sunnah Sebagai Sumber Hukum
Sebagai sumber hukum Islam, ayat-ayat Al-Qur’an menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-Hadits. Di dalam al-Quran dijelaskan umat Islam harus kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.[2]
Diantara ayat-ayatnya adalah sebagai berikut:
1.    Setiap Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah.

(Al-Anfal: 20, Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah: 92).
2.    Patuh kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah. (An-Nisa: 80, Ali ‘Imran: 31)

3.    Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5, An-Nisa: 115)

4.    Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65)

Kemudian bagaimana jika ada suatu masalah yang belum dibahas di dalam al Qur’an? Nah, pada alasan inilah selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah.
Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.[3]
Imam-imam pembina mazhab semuanya mengharuskan kita umat Islam kembali kepada As_sunnah dalam menghadapi permasalahannya.
Asy-Syafi’i berkata;
إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله ص م فقولوا بسنة رسول الله ص م ودعوا ما قلت
Artinya :  “apabila kamu menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlawanan dengan sunnah Rasulullah Saw. Maka berkatalah menurut Sunnah Rasulullah Saw, dan tinggalkan apa yang telah aku katakan.”

Perkataan imam Syafi’I ini memmberikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus kita tinggalkan apabila dalam kenyataannya berlawanan dengan hadits Nabi Saw. Dan apa yang dikat erikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus kita tinggalkan apabila dalam akan Asy-Syafi’I ini juga dikatakan oleh para ulama yang lainnya.[4]
Tetapi Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya. Untuk mengetahui  sejauh mana kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam, dapat dilihat dalam beberapa dalil, baik dalam bentuk naqli ataupun aqli.

C.  Pengaruh Kepercayaan terhadap As Sunnah
Kondisi sosial-politik dan orientasi umat Islam yang terus berubah sangat mempengaruhi perspektif dan pola pemikiran dalam menggali, mengkaji, dan memahami Sunnah nabi Muhammad Saw. Berbagai metode dapat dilakukan, seperti reinterpretasi, takwil dan tekstual. Seharusnya dua aspek Sunnah Nabi (metode Nabi dan contoh prakteknya) dipelajari secara seimbang, jangan mengkaji aspek praktek yang bersifat harfiyah-teknis-sektoral, dan kurang memperhatikan aspek metode dan pola pikir Nabi yang bersifat substansi-komprehensif. Akibatnya Sunnah Nabi pun menjadi hadis dan didefinisikan sekarang ini. Padahal hadis hanya media teks dan informasi yang dibawa periwayat dan ditransmisi dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan belum tentu menjadi Sunnah Nabi.
Kajian dan dan penerapan hadis Nabi pada era modern menghadapi tantangan berat, yang ditandai dengan munculnya spirit rasional, positivisme, dan paradigma pluralisme atas dasar sikap inklusifitas kemanusiaan. Problem kajian bukan saja bersifat klasik seperti Inkarussunnah dan sebagian Orientalis-Islamolog yang subyektif, tetapi persoalan tersebut juga bersumber dari internal muhaddisin sendiri yang mengembangkan pola kajian hadis secara stagnan dan rigid.
Pada era kejayaan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam masa klasik, kajian hadis merupakan ilmu yang dianggap paling awal berkembang dan mencapai puncak kematangan. Metode ilmiah  pertama dalam bangunan ilmu-ilmu keislaman klasik justru ditemukan  dalam ilmu hadis. Di dalamnya telah dipadukan epistemologi bayani dan burhani dengan struktur pemikiran deduksi dan induksi. Melalui teknik verifikasi data yang populer dalam logika empiris ilmu sejarah, maka kajian hadis banyak menghasilkan temuan-temuan baru yang orisinal dan dinamis.
Dalam kondisi diatas, muncul dialektika keilmuan dan suasana kebebasan, bukan saja di wilayah institusi pendidikan tetapi juga dalam  ranah keseharian umat Islam. Masterpiece yang telah diciptakan oleh imam al-Bukhari berupa kitab Sahih al-Bukhari sangat dihargai dan dihormati, tetapi ilmuan lain seperti Muslim, al-Nasai, al-Hakim dan al-Daruqutni, tidak segan-segan untuk mengkritik, merevisi dan lalu mengembangkannya.
Dampak dialektika ini luar biasa, sebagaimana ditegaskan oleh imam al-Zarkasyi, ilmu hadis menjadi ilmu paling siap dan dinamis saat itu. Namun suasan politik dan orientasi umat Islam yang berubah dalam perkembangan selanjutnya sangat mempengaruhi perspektif dan pola pemikiran dalam menggali, mengkaji, dan memahami hadis. Pembekuan dan pembakuan kajian hadis dengan standar ortodoks, kaku dan irrasional (tidak logis) merupakan faktor utama kemunduran ilmu tersebut

BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
1.    Pengertian  As Sunnah adalah seluruh yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan ataupun yang  sejenisnya (sifat keadaan atau himmah). Sedangkan menurut  ahli ushul fiqh adalah  segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, berupa perbuatan, perkataan , dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum.
2.    As Sunnah sebagai sumber hukum Islam bertujuan untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah.
3.    Kepercayaan umat Islam  terhadap perkembangan As Sunnah pada era modern menghadapi tantangan berat, yang ditandai dengan munculnya spirit rasional, positivisme, dan paradigma pluralisme atas dasar sikap inklusifitas kemanusiaan. Problem kajian bukan saja bersifat klasik seperti Inkarussunnah dan sebagian Orientalis-Islamolog yang subyektif, tetapi persoalan tersebut juga bersumber dari internal muhaddisin sendiri yang mengembangkan pola kajian hadis secara stagnan dan rigid

B.  Penutup
Demikian  makalah  ini kami susun. Semoga para pembaca dapat memahami materi pengaruh kepercayaan umat Islam terhadap as Sunnah dengan baik. Permohonan  maaf  penulis atas segala kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Kritik dan saran  yang membangun sangat kami harapkan guna memperbaiki penyusunan makalah  selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis maupun  pembaca pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Hasbi Ash-Shiddieqy, Prof.Dr.T.M. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits 2, Jakarta : Bulan Bintang, 1976
Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis, Semarang : RaSAIL Media Grup, Semarang, 2007.
Syuhudi Ismail, Prof. Dr. H. M, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta : Penerbit Bulan Bintang, 1995




[1]  Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis, Semarang : RaSAIL Media Grup, Semarang, 2007. Hal. 5
[2]  Prof.Dr.T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits 2, Jakarta : Bulan Bintang, 1976, hal.365
[3]  Syuhudi Ismail, Prof. Dr. H. M, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta : Penerbit Bulan Bintang, 1995
[4]  Ibid.,hal.357


Selamat Membaca

METODE PENAFSIRAN AL QUR’AN (IJMALI DAN TAHLILI)

Makalah

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Study Al Qur’an
Dosen Pengampu: Dr. H. Saifudin, M.A.




Disusun Oleh: 
Miftahudin 18200011048



PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
2018



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Semenjak Nabi Muhammad SAW wafat, para sahabat kehilangan tempat bertanya secara langsung. Meski demikian, kegiatan penafsiran Al-Quran tidak berhenti. Munculnya persoalan-peقsoalan baru mendorong umat Islam generasi awal tersebut untuk mencurahkan perhatiannya dalam menjawab persoalan umat. Dalam menafsirkan Al-Quran pada masa itu, pegangan utama para sahabat adalah riwayat-riwayat yang dinukilkan dari Nabi. Penafsiran-penafsiran yang dilakukan para sahabat di kemudian hari nanti dikenal dengan tafsir bil ma’tsur (penafsiran yang sumbernya dari riwayat), cara ini kemudian dikenal dengan metode penafsiran riwayah.[1]
Kegiatan penafsiran Al-Qur’an ini sangat diperlukan karena adanya tiga alasan, yaitu; Pertama, Al-Qur’an diturunkan dalam keadaan yang diasumsikan sangat sempurna, akan tetapi sangat ringkas dan padat, mengandung semua ilmu pengetahuan baik pengetahuan agama maupun pengetahuan umum. Kedua, adanya kata atau kalimat yang dibuang, karena Al-Qur’an diturunkan dengan  kalam yang baligh dan mujmal. Ketiga,  adanya kata atau kalimat yang mengandung majaz, isytirok dan dilalatu li al-tizam. Untuk itu proses interpretasi teks qur’an akan terus dilakukan oleh setiap generasi dengan berbagai bentuk dan coraknya.
Mengingat pentingnya alasan diatas, maka pemahaman mengenai metode penafsiran menjadi sangat penting untuk mendapatkan hasil penasiran yang utuh. Dalam makalah ini, kami berusaha menyajikan bagaimana metode ijmali dan tahlili ditinjau dari keilmuwannya hingga kita bisa mengetahui bagaimana kelebihan dan kekurangan metode tafsir yang sudah berkembang hingga dewasa ini.

B.  Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dibatasi pembahasannya dengan rumusan masalahnya sebagai berikut :
1.    Apa pengertian tafsir ijmali dan tahlili?
2.    Bagaimana ciri-ciri tafsir ijmali dan tahlili?
3.    Apa kelebihan dan kekurangan tafsir ijmali dan tahlili?


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Tafsir Ijmali
1.    Pengertian
Kata tafsir diambil dari kata fassara – yufassiru – tafsiran yang berarti keterangan atau uraian. Al-Jurjani berpendapat bahwa kata tafsir menurut pengertian bahasa adalah al-Kasf wa al-Izhar yang artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan. Pada dasarnya, pengertian tafsir berdasarkan bahasa tidak lepas dari kandungan makna Al-Idhah (menjelaskan), Al-Bayan (menerangkan), Al-Kasyf (mengungkapan), Al-Izhar (menampakkan) dan Al-Ibanah (menjelaskan).[2]
Adapun pengertian tafsir menurut istilah, banyak pendapat ulama dalam mendefinisikannya, antara lain:
a.    Al Kilby dalam at Tashil  mendefinisikan tafsir sebagai berikut:
التفسير: شرح القرآن وبيان معناه والإفضاح بما يقتضيه بنصّه او اشارته او نجواه
“Tafsir adalah mensyarahkan Al-Quran, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya, atau dengan tujuannya.”

b.    Al-Zarkasy dalam Al Burhan mendefinisikan tafsir sebagai berikut :
التفسير : علم يعرف به كتاب الله ينزل على نبيّه محمد صلى الله عليه وسلّم وبيان معانيه واستخراج احكامه وحكمه
“Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab Allah (Al-Quran)  yang diturunkan kepada nabi-Nya Muhammad Saw serta menerangkan makna Alquran dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.”

c.    Shahibut Taujih mendefinisikan tafsir sebagai berikut:
التفسير فى الحقيقة انما هو شرح اللفظ المستقلق عند السامع بما هو افصح عنده بما يرادفه او يقاربه اوله دلالة عليه باِحدى طرق الدلالات
“Tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan lafazh yang sukar dipahami pendengar dengan mengemukakan lafazh sinonimnya atau makna yang mendekatinya atau dengan mengemukakan salah satu dilalah lafazh tersebut.[3]

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, tafsir adalah suatu hasil usaha tanggapan, penalaran dan ijtihad manusia untuk menyingkap nilai-nilai samawi yang terdapat di dalam Al-Quran.[4]
Secara lughawi, kata al-ijmali berarti ringkasan, ikhtisar, global dan penjumlahahan. Dengan demikian tafsir ijmali adalah penafsiran Al-Quran yang dilakukan dengan cara mengemukakan isi kandungan Al-Quran melalui pembahasan yang bersifat umum (global), tanpa uraian apalagi pembahasan yang panjang dan luas, juga tidak dilakukan secara rinci.[5]
Dengan metode ini, mufasir menjelaskan arti dan maksud ayat dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal selain arti yang dikehendaki.[6] Di dalam uraiannya, penafsir membahas secara runtut berdasarkan urutan mushaf, kemudian mengemukakan makna secara gloal yang dimaksud oleh ayat tersebut.[7]
Penafsir dengan metode ini, dalam penyampaiannya menggunakan bahasa yang ringkas dan sederhana, serta memberikan idiom yang mirip, bahkan sama dengan bahasa Al-Quran. Sehingga pembacanya merasakan seolah-olah Al-Quran sendiri yang berbicara dengannya.[8] Mufasir berbicara kepada pembaca dengan cara termudah, sehingga memudahkan pembaca untuk mengetahui kandungan Al-Quran.
Penafsir diharapkan dapat menghidangkan makna-makna dalam bingkai suasana Qur’ani. Ia tidak perlu menyinggung asbab an-nuzul atau munasabah, apalagi makna-makna kosa kata dan segi-segi keindahan bahasa Al-Quran. Tetapi langsung menjelaskan kandungan ayat secara umum atau hukum dan hikmah yang ditarik. Sang mufasir bagaikan menyodorkan buah segar yang telah dikupas, dibuang bijinya dan telah diiris-iris pula, sehingga siap untuk disantap.[9]
Pembahasan tafsir ijmali dapat meliputi beberapa aspek dalam bahasa yang singkat semisal tafsir al-farid li Al-Quran Al madjid yang hanya mengedepankan arti kata-kata (al-mufradat), asbab nuzul dan penjelasan singkat (al-ma’na) yang sistematikanya sering diubah-ubah. Adakalanya mengedepankan mufradat kemudian asbab nuzul dan al-ma’na, tetapi sering pula mendahulukan al-ma’na dan asbab nuzul.[10]
Selain itu ada kitab tafsir yang menggunakan metode global yang mengedepankan makna sinonim dari kata-kata yang bersangkutan seperti tafsir Al-Jalalayin.[11] Contoh tafsir Al-Jalalayin pada Q.S. al-Baqarah ayat 138-139 yang berbunyi:
صِبْغَةَ اللهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ صِبْغَةً وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ (١٣٨)قُلْ أَتُحَاجُّونَنَا فِي اللهِ وَهُوَ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ وَلَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُخْلِصُونَ (١٣٩)
Artinya : “Shibghah Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? dan hanya kepada-Nya-lah Kami menyembah. Katakanlah: "Apakah kamu memperdebatkan dengan Kami tentang Allah, Padahal Dia adalah Tuhan Kami dan Tuhan kamu; bagi Kami amalan Kami, dan bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya Kami mengikhlaskan hati,

Kata  صبغة الله (celupan Allah)merupakan "mashdar" yang memperkuat "kami beriman" tadi. Mendapat baris di atas, sebagai maf'ul muthlak dari fi'il yang tersembunyi yang diperkirakan berbunyi "shabaghanallahu shibghah" artinya "Allah mencelup kami suatu celupan". Sedang maksudnya ialah agama-Nya yang telah difitrahkan-Nya atas manusia dengan pengaruh dan bekasnya yang menonjol, tak ubah bagai celupan terhadap kain. 
Kataومن  (dan siapakah) maksudnya tidak seorang pun وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ صِبْغَةً  (yang lebih baik celupannya dari Allah). Shibghah di sini menjadi "tamyiz"-  وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ (dan hanya kepada-Nya kami menyembah).
Kata orang-orang Yahudi kepada kaum muslimin: "Kami ini Ahli Kitab yang pertama dan kiblat kami lebih tua, apalagi di kalangan Arab itu tidak pernah muncul seorang nabi pun. Seandainya Muhammad itu seorang nabi, pastilah ia dari golongan kami. Maka turunlah ayat setelahnya, yaitu ayat ke 39.
Katakanlah kepada mereka:  اتحاجّزننا (apakah kamu hendak memperbantahkan) dengan kami   فى الله (tentang Allah) karena Ia memilih seorang nabi dari kalangan Arab?  وهو ربّنا وربكم (padahal Ia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu) dan berhak memilih siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya  ولنااعمالنا (dan bagi kami amalan kami) sehingga akan beroleh balasan daripada-Nya  ولكم اعمالكم (dan bagi kamu amalan kamu) dan kamu akan beroleh balasan-Nya pula, dan tidak mustahil jika di antara amalan-amalan kami itu ada yang patut menerima ganjaran istimewa  ونحن له مخلصون (dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan agama) dan amalan kami; berbeda halnya dengan kamu, sehingga sepatutnyalah kami yang dipilih-Nya. "Hamzah" atau "apakah" di atas, maksudnya menolak, sedangkan ketiga kalimat di belakang berarti "hal".

2.    Sejarah Tafsir Ijmali
Sejarah tafsir telah dimulai pada masa Rasulullah Saw, orang pertama yang menguraikan maksud-maksud Al-Quran dan menjelaskan kepada umatnya wahyu yang diturunkan Allah kepadanya. Pada masa itu tak seorangpun dari para sahabat yang berani menafsrkan Al-Quran.[12] Pada saat sahabat tidak memahami maksud dan kandungan suatu ayat Al-Quran, mereka menanyakannya kepada Nabi. Hal ini menunjukkan posisi Nabi sebagai mubayyin, penjelas terhadap segala persoalan umat.[13]
Para sahabat menerima dan meriwayatkan tafsir dari Nabi Saw secara musyafahat (dari mulut ke mulut), demikian pula generasi berikutnya, sampai datang masa tadwin (pembukuan ilmu-ilmu Islam), termasuk ilmu tafsir sekitar abad ke 3 H.[14]
Sahabat dan tabi’in sebagaimana yang digolongkan oleh M. Quraish Shihab sebagai tafsir bil ma’tsur,  boleh dikatakan sebagai dasar-dasar bagi tafsir Al-Quran yang  menerapkan metode  Ijmali.  Tafsir bil ma’tsur adalah jenis tafsir Al-Quran dengan Al-Quran, penafsiran Al-Quran dengan As-Sunnah atau penafsiran Al-Quran menurut Atsar yang timbul dari kalangan sahabat.
Contoh penafsiran Al-Quran pada masa Rasul dan sahabat, kata zhulmin pada surah Al-An’am ayat 82 :
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ (٨٢)
Artinya : Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Kata zhulmin pada ayat tersebut ditafsirkan Rasul dengan syirik yang terdapat pada sural Luqman ayat 13:[15]
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Artinya : “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".

3.    Ciri-ciri Tafsir Ijmali
a.    Urutannya sesuai dengan urutan mushaf.
b.    Mufassir langsung menafsirkan ayat al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul.
c.    Setiap surat dibagi menjadi kelompok-kelompok ayat, lalu ditafsirkan secara ringkas dan global.
d.   Sebagian lafal dari ayat menjadi pengait antara nash ayat dengan tafsirnya.
e.    Lafal dan bahasanya tidak jauh dari nash Al-Quran.
f.     Mufasir tidak banyak mengemukakan pendapat dan idenya.
4.    Kitab Tafsir Metode Ijmali
Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ijmali yaitu:
a.    Tafsir al-Jalalayin, karya Jalal ad-Din as-Suyuthy dan Jalal ad-Din al-Mahally.
b.    Tafsir Al-Quran al-‘Adhim, karya ustadz Muhammad Farid Wajdy.
c.    Shafwah al-Bayan li Ma’any Al-Quran, Karya Syaikh Husanain Muhammad Makhlut.
d.   Tafsir Al-Quran, Karya Ibn Abbas yang dihimpun oleh Al-Fayruz Abady.
e.    Tafsir al-Wasith, produk Lembaga Pengkajian Universitas Al-Azhar, Mesir, karya suatu Commite Ulama.
f.     Tafsir al-Muyassar, karya Syaikh Abd al-Jalil Isa.
g.    Tafsir al-Mukhtasar, produk Majlis Tinggi Urusan Umat Islam, karya suatu Commite Ulama.[16]
5.    Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Ijmali
Di antara kelebihan metode tafsir ijmali:
a.    Pesan-pesan dari Al-Quran mudah dipahami.[17]
b.    Bebas dari penafsiran isra’iliyat.
c.    Akrab dengan bahasa Al-Qur’an (mengedepankan makna sinonim).
Di antara kekurangan metode tafsir ijmali adalah penafsirannya dangkal, berwawasan sempit, tidak komprehensif.[18]

B.  Tafsir Tahlili
1.    Pengertian Tafsir Tahlili
Secara harfiah, tahlili berarti menjadi lepas atau terurai. Yang dimaksud dengan tafsir tahlili adalah metode penafsiran ayat-ayat Al-Quran yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Quran dengan mengikuti tertib susunan/ urut-urutan surat-surat dan ayat-ayat Al-Quran itu sendiri denagn sedikit banyak melaukan analisis di dalamnya.[19]
Tasir tahlili adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Quran dari seluruh aspeknya. Dalam metode tafsir tahlili, penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun dalam Mushaf Utsmani. Penafsir mulai menganalisis ayat dengan mengemukakan arti kosa kata diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat.[20]
Metode tafsir tahlili menjelaskan kandungan ayat Al-Quran dari berbagai seginya, sesuai dengan pandangan, kecenderungan dan keinginan mufasirnya yang dihidangkannya secara runtut sesuai dengan perurutan ayat-ayat dalam mushaf. Biasanya yang dihidangkan itu mencakup pengertian umum kosa kata ayat, munasab ayat, asbab nuzul (kalau ada), makna global ayat, hukum yang dapat ditarik, yang tidak jarang menghidangkan aneka pendapat ulama mazhab. Ada juga yang menambah aneka uraian tentang qiraat, I’rab ayat ayat yang ditafsirkan, serta keistemewaan susunan kata-katanya.[21]
Dalam pembahasannya, penafsir biasanya merujuk riwayat-riwayat terdahulu baik yang diterima dari Nabi, sahabat maupun ungkapan-ungkapan pra Islam dan kisah israiliyat. Oleh karena pembahasan yang terlalu luas itu maka tidak tertutup kemungkinan penafsirannya diwarnai subjektivitas penafsir, baik latar belakang keilmuan maupun aliran mazhab yang diyakininya. Sehingga menyebabkan adanya kecenderungan khusus yang teraplikasikan dalam karya mereka.[22]
Metode tahlili atau yang dinamai oleh Baqir al-Shadr sebagai metode tajzi’iy menguraikan segala segi yang dianggap perlu oleh seorang mufasir, bermula dari arti kosa kata, asbab nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat. Metode ini walaupun dinilai sangat luas, namun tidak menyelesaikan satu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya pada ayat yang lain.[23] Uraiannya melebar sehingga terhidang aneka hidangan yang bisa jadi sebagian di antaranya tidak diperlukan oleh pembacanya.[24]
2.    Wujud Tafsir Tahlili
Metode tahlili kebanyakan dipergunakan para ulama masa-masa klasik dan pertengahan. Di antara mereka, sebagian pola pembahasan secara panjang lebar (ithnab), sebagian mengikuti pola singkat (ijaz) dan sebagian mengikuti pola secukupnya (musawah). Mereka sama-sama menafsirkan dengan metode tahlili, namun dengan corak yang berbeda-beda.
Para ulama membagi wujud tafsir tahlili kepada tujuh macam, yaitu: tafsir bil ma’sur, tafsir bil ra’yu, tafsir sufi, tafsir fiqhi, tafsir ilmi, tafsir falsafi dan tafsir adabi.
a.    Tafsir bil ma’sur
Tafsir bil ma’sur adalah penafsiran ayat dengan ayat, penafsiran ayat dengan hadis yang menjelaskan makna sebagian ayat yang dirasa sulit dipahami para sahabat atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi’in.
Di antara kitab tafsir bil ma’sur adalah kitab jami’al bayan fi tafsir Al-Quran karya Ibnu Jarir Ath-Thabary dan tafsirul Quranul Karim karya Ibnu Katsir.[25] Contoh tafsir bil ma’sur Ibnu Katsir QS. Ibrahim ayat 1, 2 dan 3:
الر كتب أنزلنه إليك لتخرج الناس من الظلمت إلى النور بإذن ربّهم إلى صرط العزيز الحميد ﴿1﴾ الله الذى له مافى السموت وما فى الأرض وويل للكفرين من عذاب شديد ﴿2﴾ الذين يستحبّون الحيوة الدنيا على الأخرة ويصدّون عن سبيل الله ويبغونها عوجا أولئك فى ضلل بعيد ﴿3﴾
Artinya : Alif lam ra. Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka kepada jalan dari Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji. (1) Allah yang memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan kecelakaanlah bagi kaum kafir karena azab yang sangat keras.(2) Orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat, menghalang-halangi dari jalan Allah dan menginginkannya bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh. Pembicaraan mengenai huruf yang terputus-putus telah dikemukakan pada beberapa awal surat. "Kitab yang Kami turunkan kepadamu" yakni kitab ini Kami menurunkannya kepadamu, hai Muhammad, Kitab itu ialah al-Quran yang agung. Ia merupakan kitab yang paling mulia di antara kitab yang diturunkan Allah dari langit; diturunkan kepada Rasul yang paling mulia. Dia diutus Allah di muka bumi ke seluruh penghuninya baik bangsa Arab maupun asing. "supaya kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya", yakni dari gelapnya kesesatan dan penyimpangan kepada petunjuk dan kelurusan. Hal ini sebagaimana Allah berfirman, "Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Pelindung-pelindung kaum kafir adalah thagut yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan."
Firman Allah Ta'ala, "Dengan izin Tuhan mereka."yakni, Dialah Yang menunjukkan orang yang telah ditetapkan baginya hidayah melalui RasulNya yang diutus atas perintahNya. Dia menunjukkan mereka "kepada jalan dari Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji." Yang Mahaperkasa artinya Zat yang tidak dapat dibantah dan dikalahkan. Dia Mahaperkasa dalam segala perkara selain-Nya. Yang Maha Terpuji artinya dalam seluruh perbuatan, perkataan, syariat, perintah, dan larangan-Nya, Yang Mahabenar berita-Nya. Firman Allah Ta'ala,"Allah yang memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan kecelakaanlah bagi kaum kafir karena azab yang sangat keras". Yakni, kecelakaanlah bagi mereka pada hari kiamat lantaran mereka menyalahimu, hai Muhammad, dan mendustakanmu. Kemudian Allah menyifati mereka bahwa mereka lebih menyukai kehidupan dunia atas akhirat. Yakni, mereka mendahulukan dan memprioritaskan kehidupan dunia atas akhirat, "mereka menghalang-halangi" para pengikut Rasul "dari jalan Allah dan menginginkannya bengkok." Yakni, mereka menyukai keberadaan jalan Allah itu bengkok dan condong. Sesungguhnya jalan itu lurus dengan sendirinya. Jalan itu tidak ternoda oleh orang yang menyalahi dan menyia-nyiakannya. Keinginan mereka yang demikian itu menunjukkan bahwa mereka berada dalam kebodohan dan kesesatan yang jauh dari kebenaran. Tiada harapan akan ada kebaikan dari mereka.
b.    Tafsir bil Ra’yi
Tafsir bil ra’yi adalah penafsiran Al-Quran dengan ijtihad dan penalaran. Tafsir bil ra’yi muncul sebagai sebuah metodologi pada periode akhir pertumbuhan tafsir al-ma’sur, meskipun telah terdapat upaya sebagian kaum muslimin yang menunjukkan bahwa mereka telah melakukan penafsiran dengan ijtihad, khususnya zaman sahabat sebagai tonggak munculnya ijtihad dan istinbath dan periode tabi’in.
Tafsir bil ra’yi tidak semata-mata didasari pada penalaran akal dengan mengabaikan sumber-sumber riwayat secara mutlak. Dalam konteks ini, penafsiran dengan metode ra’yi bersifat lebih selektif terhadap riwayat, sehingga secara kuantitas porsi riwayat di dalam tafsirnya jauh lebih kecil disbanding dengan kadar ijtihad. Begitu pula halnya dengan tafsir metode riwayat, tidak sama sekali terlepas dari penggunaan rasio meskipun jumlahnya sangat kecil.[26]
Ketika kaum muslimin memasuki era kebudayaan dan peradaban, ilmu agama dan pengetahuan berkembang mencapai puncak kejayaannya, alat-alat percetakan telah ditemukan dan produksi kertas telah dilakukan, hal itu memungkinkan dilakukan penerbitan karya-karya ilmiah dan memperbanyak kitab-kitab tafsir yang wujud dan metodenya berbeda-beda, banyak timbul golongan-golongan dalam Islam, ada di antara ulama yang fanatic terhadap mazhab yang diikuti kemudian berusaha menafsirkan Al-Quran sesuai dengan mazhabnya serta melegitimasi mazhabnya dengan ayat-ayat Al-Quran, dan lahir kitab-kitab tafsir yang mempunyai karakteristik tertentu sesuai dengan bidang ilmu pengarangnya, maka lahirlah bermacam-macam corak tafsir.
Para ulama menegaskan bahwa tafsir bil ra’yi ada yang diterima dan ada yang ditolak. Tafsir bil ra’yi dapat diterima apabila mufasirnya mengetahui ungkapan-ungkapan arab, lafaz-lafaz arab dan cara penunjukkannya (dilalah) atas maknya yang dikehendaki, sebab turun ayat, nasikh dan mansukh, benar aqidahnya dan menjadikan sunnah Rasulullah Saw sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Quran. Selain itu ia harus berpegang kepada apa yang diriwayatkan oleh Rasul dan para sahabat serta menguasai ilmu-ilmu yang dibutuhkan sebagai mufasir, yaitu ilmu bahasa arab, nahwu, sharaf, ma’any, bayan, qiraah, ushul ad-din, ushul fiqh, ulum al-hadis serta ilmu al-mawhibah yaitu ilmu yang Allah karuniakan kepada hamba-hambanya yang ‘alim yang mengamalkan apa yang diketahuinya.[27]
Selain dari aspek intelektual di atas, para ulama juga membuat kualifikasi dari aspek moral. Penafsir yang menggunakan metode ra’yi juga harus dituntut memiliki aspek mental dan moral terpuji, jujur, ikhlas, loyal dan bertanggung jawab serta terhindar dari pengaruh hawa nafsu duniawi dan kecenderungan terhadap aliran mazhab tertentu.
Di antara kitab-kitab tafsir yang mengikuti metode ini adalah Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi, Anwar al-Tanzil karya al-Baidhawi.[28] Salah satu contoh penafsiran bil ra’yi adalah penafsiran yang dikemukakan oleh Imam al Mahalli dan Imam as Sayuthi dalam kitab tafsir kolaborasi mereka “ tafsir jalalain “, mengenai surat al-isra’ ayat 85:
               ويسأ لو نك عن ا لروح  قل ا لروح من امر ربى وما اوتيتم من العلم الا قليلا
Imam Mahalli menafsirkan kata “ ruh “ bahwa sesungguhnya ruh itu adalah jasad atau jisim halus (jism al-lathif), yang dengan masuknya ia ke dalam diri manusia, maka manusia bisa hidup. Kemudian Imam Suyuthi memberikan penafsiran bahwa perkara ruh itu termasuk ilmu Allah Ta’ala. Sebab itu menahan diri dari memberikan defenisinya adalah lebih baik.
Karena tafsir ini termasuk tafsir bi al-ra’yi yang ringkas maka kedua mufassir tersebut memberikan penjelasan yang singkat dengan pendapatnya dan menafsirkan ayat tersebut dengan mempertimbangkan maksud ayat dan syari’at.
c.    Tafsir Sufi
Tafsir sufi identik dengan tafsir al-isyari, yaitu suatu metode penafsiran Al-Quran yang lebih menitikberatkan kajiannya pada makna batin. Penafsir yang mengikuti kecenderungan ini biasanya berasal dari kaum sufi yang lebih mementingkan persoalan-persoalan batin dibandingkan masalah zahir dan batin.[29]
Terdapat dua wujud tafsir sufi, yaitu teoritis dan praktis:
1.    Tasawwuf Teoritis
Imam Al-Alusy dalam kitab tafsirnya mengemukakan: apa yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh shufi tentang Al-Quran adalah termasuk ke dalam bab isyarat terhadap pengertian-pengertian rumit yang berhasil diungkapkan oleh orang-orang yang menguasai cara yang harus ditempuh untuk sampai kepada Allah dan pengertian-pengertian itu dapat dipadukan dengan pengertian-pengertian tekstual yang dikehendaki. Hal ini termasuk kesempurnaan iman dan pengetahuan yang sejati.[30]
Al-Alusi berkata tentang isyarat yang diberikan oleh firman Allah QS. 2: 45), sebagai berikut:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلا عَلَى الْخَاشِعِينَ (٤٥)
Artinya : Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'. (q.s. Al Baqarah : 45)

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’ bahwa shalat adalah sarana untuk memusatkan dan mengkonsentrasikan hati untuk menangkap tajalli (penampakan diri) Allah dan hal ini sangat berat, kecuali orang yang luluh dan lunak hatinya untuk menerima cahaya tajalli Allah. Merekalah orang yang yakin, bahwa mereka benar-benar berada di hadapan Allah,dan hanya kepada-Nyalah mereka kembali, dengan menghancurkan sifat-sifat kemanusiaan mereka dan meleburkannya ke dalam sifat-sifat Allah (baqa).[31]
Tidak pernah karya yang lahir dari aliran ini. Hanya karya-karya penafsiran ayat-ayat Al-Quran secara acak yang dinisbatkan kepada Ibnu Arabi yang bernama kitab al-Futuhat al Makkiyah dan al-Fushush.[32]
2.    Tasawwuf Praktis
Tasawuf praktis adalah cara hidup yang berdasarkan atas hidup sederhana, zuhud, menjaga diri dari segala kenikmatan, memutuskan jiwa dari segala macam syahwat dan menghancurkan diri dalam taat kepada Allah.[33]
3.    Di antara kitab tafsi tasawuf praktis ini adalah tafsir Al-Quranul karim oleh Tutsuri dan Haqaiq al-tafsir oleh as-Sulami.[34]
d.   Tafsir Fiqhi
Penafsiran Al-Quran yang dilakukan oleh tokoh suatu mazhab untuk dapat dijadikan sbagai dalil atas kebenaran mazhabnya. Tafsir fiqhi banyak ditemukan oleh kitab-kitab fiqhi karangan imam-imam dari berbagai mazhab yang berbeda. Salah satu kitab tafsir fiqhi adalah kitab ahkam Al-Quran karangan al-Jasshash. Dalam tafsir al-Jasshash nampak menganut paham mu’tazilah, misalnya ia mengatakan mengenai firman Allah, ia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata (QS. Al-An’am:103). Makna ayat ini adalah ia tidak dapat dilihat oleh penglihatan mata. Ini merupakan pujian dengan peniadaan penglihatan mata seperti firman-Nya: … tidak mengantuk dan tiak tidur… (QS. Al-Baqarah: 255). Apa yang ditiadakan Allah untuk memuji diri-Nya maka penetapan kebalikannya adalah celaan dan penghinaan, karena itu tidak diperkenankan menetapkan kebalikan tersebut, oleh karena itu memuji-Nya dengan peniadaan dari-Nya penglihatan mata, maka menetapkan kebalikannya tidak diperkenankan karena hal demikian berarti menetapkan sifat aib dan kurang bagi Allah.
e.    Tafsir Ilmi
Aliran tafsir ini mencoba menafsirkan ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam Al-Quran dengan mengaitkannya dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern yang timbul pada masa sekarang ini. Di antara kitab tafsir ilmi adalah al-Islam yatahadda karangan Allamah Wahid al-Din Khan.
Contoh tafsir ilmi dalam penafsiran M. Abduh terhadap QS. Al-Fil ayat 3-4 yang menafsirkan kata thayran ababil (burung ababil) diartikan dengan mikroba dan kata al-hijarah (batu) diartikan dengan kuman penyakit. Contoh yang lain penafsiran dari Abdul al-Ruzq Nawfal pada QS. Al-A’raf ayat 189:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي لا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلا هُوَ ثَقُلَتْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ لا تَأْتِيكُمْ إِلا بَغْتَةً يَسْأَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (١٨٧)

Abdul al-Ruzq Nawfal menafsirkan kata  (diri yang satu) dengan proton dan السَّمَاوَاتِ dengan pasangannya elektron  dan masing-masing keduanya membentuk unsur atom.

f. Tafsir Falsafi
Aliran ini menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan menggunakan teori filsafat. Penafsiran ini berupaya mencari titik temu antara filsafat dan agama serta  berusaha menyingkirkan segala pertentangan di antara keduanya.[35]
Pada masa khalifah Abbasiyah, buku-buku asing diterjemahkan ke dalam bahasa arab, di antaranya buku karangan para filosof seperti Aristoteles dan Plato. Menyikapi hal ini, ulama terbagi menjadi 2 golongan:
Golongan pertama, menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan para filosof. Mereka tidak mau menerimanya, mereka memahami ada di antaranya yang bertentangan dengan aqidah dan agama. Mereka menyerang faham-faham yang ada di dalamnya, membatalkan argument-argumennya, mengharamkannya untuk dibaca dan menjauhkannya dari kaum muslimin. Di antara yang menyerang filosof dan filsafat adalah hujjah al-Islam imam Abu Hamid Al-Ghazaly. Karena itu ia mengarang kitab Al-Isyarat dan kitab-kitab lain untuk menolak paham mereka, Ibnu Sina, Ibnu Rusy, demikian pula imam al-Fakhr Al-Razy di dalam kitab tafsirnya mengemukakan paham mereka dan kemudian membatalkan teori-teori filsafat mereka, karena dinilai bertentangan dengan agama dan Al-Quran.
Golongan kedua, sebagian ulama justru mengagumi filsafat. Mereka menekuni dan dapat menerima sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma (dasar Islam), berusaha memadukan antara filsafat dengan agama serta menghilangkan pertentangan yang terjadi di antara keduanya. Golongan ini hendak menafsirkan ayat-ayat Al-Quran berdasarkan teori-teori filsafat, akan tetapi mereka gagal, karena nash Al-Quran tidak mengandung teori-teori mereka.
Dr. Muhammad Husain Al-Dzahabi menanggapi sikap golongan ini, beliau berkata: kami tidak pernah mendengar ada seorang filosof yang mengarang satu kitab tafsir Al-Quran yang lengkap. Yang kami temukan dari mereka tidak lebih hanya sebagian pemahaman-pemahaman mereka terhadap Al-Quran yang dikemukakan dalam buku-buku filsafat karangan mereka.[36]

g.    Tafsir Al-Adab Al-Ijtima’i
Penafsiran dengan corak ini cenderung kepada persoalan sosial kemanusiaan dan mengutamakan keindahan gaya bahasa. Tafsir jenis ini lebih banyak mengungkapkan hal-hal yang ada kaitannya dengan perkembangan kebudayaan yang sedang berlangsung.[37]
Dr. Muhammad Husain Al-Dzahabi dalam kitabnya alTafsir wa al-Mufassirun menerangkan sifat kitab-kitab tafsir yang lahir dengan corak adaby dan menekankan segi kemasyarakatan sebagai berikut:
Kelompok ulama yang menafsirkan Al-Quran dengan corak ini mampu  mengungkapkan segi balaghah Al-Quran dan kemu’jizatannya, menjelaskan makna-makna dan sasaran yang dituju oleh Al-Quran, mengungkapkan hokum-hukum dan tatanan kemasyarakatan yang dikandungnya, mampu memecahkan problematika umat dengan mengedepankan petunjuk Al-Quran, memadukan Al-Quran dengan teori ilmiah yang benar, menegasjan bahwa Al-Quran mampu mengikuti perkembangan waktu dan manusia. Di antara kitab-kitab tafsir yang ditulis dengan corak ini yaitu tafsir al-Manar karya Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Rasyid Ridha, Tafsir Al-Quran karya syaikh Al-Maraghy, Tafsir Alquranul Karim karya Syaikh Mahmud Syaltut, tafsir al-Wadlih karya Syaikh Muhammad Mahmud Hijazy.[38]
Contoh tafsir Al-Maraghy pada QS. Al-Bayyinah: 1:
لم يكن الّذين كفروا من أهل الكتب والمشركين منفكين حتّى تأتيهم البيّنة
Penjelasan:
Orang-orang yang mengingkari risalah Muhammad saw dan meragukan kenabiannya, yakni kaum musyrikin dan Nasrani, selamanya tidak akan mau meninggalkan pegangan mereka karena kekafiran yang sudah keterlaluan. Mereka telah meninggalkan kebenaran dan lebih menyukai pegangan yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Sekalipun pada kenyataannya nenek moyang itu tidak mengerti sama sekali permasalahan agama. Rasulullah hadir di tengah-tengah mereka dengan membawa ajaran yang menggoncangkan terhadap ajaran yang sudah berakar di dalam keyakinan mereka, disamping sudah menjadi kebiasaan yang membudaya. Karenanya, mereka berupaya terus mencari alasan karena didorong oleh sikap ingkar mereka. Mereka mengemukakan hujjah yang mengatakan bahwa apa yang didatangkan Muhammad adalah sama dengan yang ada di tangan mereka dan bukan merupakan kebaikan jika apa yang didatangkan itu diikuti. Menurut mereka, dengan berpegang pada apa yang ada pada mereka dan berjalan sesuai dengan tata aturan nenek moyang mereka adalah lebih baik dan patut, bahkan lebih disukai oleh perasaan mereka karena dianggap akan membawa keselamatan.
3.    Kitab Tafsir Tahlili
Di antara contoh kitab tafsir yang menggunakan metrode tahlili ialah:
a.    Jami’ al-Bayan an takwil Ayi Al-Quran, karangan Ibnu Jarir ath-Thabari.
b.    Tafsir Al-Quran al-Azhim, karya al-Hafizh imam al-Din Abi al-Fida Ismail bin Katsir al-Quraisy al-Dimasyqi.
c.    Tafsir al-Samarqandi, karya Nashr bin Muhammad bin Ahmad Abu al-Laits al-Samarqandi.
d.   Al-asyif wa al-Bayan an tafsir Al-Quran, karya Abi Ishaq.[39]
4.    Kelebihan dan Kekurangan
Di antara kelebihan tafsir tahlili adalah:
a.    Pembahasannya luas.
b.    Corak tafsir yang bervariasi.
Di antara kekurangan tafsir tahlili adalah:
a.    Penafsiran tidak tuntas disebabkan pembahasan yang melebar.[40]
b.    Bertele-tele.[41]
c.    Terdapat hal-hal yang dirasa tidak perlu dibaca oleh pembaca.[42]
d.   Peluang masuknya cerita ista’illiyat lebih besar


BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
1.    Pengertian tafsir ijmali adalah penafsiran Al-Quran yang dilakukan dengan cara mengemukakan isi kandungan Al-Quran melalui pembahasan yang bersifat umum (global), tanpa uraian apalagi pembahasan yang panjang dan luas, juga tidak dilakukan secara rinci.
2.    Sedangkan pengertian tafsir tahlili adalah metode penafsiran ayat-ayat Al-Quran yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Quran dengan mengikuti tertib susunan/ urut-urutan surat-surat dan ayat-ayat Al-Quran itu sendiri denagn sedikit banyak melaukan analisis di dalamnya
3.    Ciri-ciri tafsir ijmali adalah sebagai berikut
a.    Urutannya sesuai dengan urutan mushaf.
b.    Mufassir langsung menafsirkan ayat al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul.
c.    Setiap surat dibagi menjadi kelompok-kelompok ayat, lalu ditafsirkan secara ringkas dan global.
d.   Sebagian lafal dari ayat menjadi pengait antara nash ayat dengan tafsirnya.
e.    Lafal dan bahasanya tidak jauh dari nash Al-Quran.
f.     Mufasir tidak banyak mengemukakan pendapat dan idenya.
4.    Kitab Tafsir Metode Ijmali
Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ijmali yaitu:
a.    Tafsir al-Jalalayin, karya Jalal ad-Din as-Suyuthy dan Jalal ad-Din al-Mahally.
b.    Tafsir Al-Quran al-‘Adhim, karya ustadz Muhammad Farid Wajdy.
c.    Shafwah al-Bayan li Ma’any Al-Quran, Karya Syaikh Husanain Muhammad Makhlut.
d.   Tafsir Al-Quran, Karya Ibn Abbas yang dihimpun oleh Al-Fayruz Abady.
e.    Tafsir al-Wasith, produk Lembaga Pengkajian Universitas Al-Azhar, Mesir, karya suatu Commite Ulama.
f.     Tafsir al-Muyassar, karya Syaikh Abd al-Jalil Isa.
g.    Tafsir al-Mukhtasar, produk Majlis Tinggi Urusan Umat Islam, karya suatu Commite Ulama.
5.    Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Ijmali
a.    Kelebihan
1)   Pesan-pesan dari Al-Quran mudah dipahami.
2)   Bebas dari penafsiran isra’iliyat.
3)   Akrab dengan bahasa Al-Qur’an (mengedepankan makna sinonim).
b.    Kekurangan
1)   penafsirannya dangkal
2)   berwawasan sempit
3)   tidak komprehensif
6.    Wujud tafsir tahlili dibagi menjadi 7 macam, yaitu tafsir bil ma’sur, tafsir bil ra’yu, tafsir sufi, tafsir fiqhi, tafsir ilmi, tafsir falsafi dan tafsir adabi.
7.    Kitab Tafsir Tahlili
Di antara contoh kitab tafsir yang menggunakan metrode tahlili ialah:
a.    Jami’ al-Bayan an takwil Ayi Al-Quran, karangan Ibnu Jarir ath-Thabari.
b.    Tafsir Al-Quran al-Azhim, karya al-Hafizh imam al-Din Abi al-Fida Ismail bin Katsir al-Quraisy al-Dimasyqi.
c.    Tafsir al-Samarqandi, karya Nashr bin Muhammad bin Ahmad Abu al-Laits al-Samarqandi.
d.   Al-asyif wa al-Bayan an tafsir Al-Quran, karya Abi Ishaq.
8.    Kelebihan dan Kekurangan
a.    Kelebihan
1)   Pembahasannya luas.
2)   Corak tafsir yang bervariasi.
b.    Kekurangan
1)   Penafsiran tidak tuntas disebabkan pembahasan yang melebar.
2)   Bertele-tele.
3)   Terdapat hal-hal yang dirasa tidak perlu dibaca oleh pembaca.
4)   Peluang masuknya cerita ista’illiyat lebih besar
B.  Penutup
Demikian  makalah  ini kami susun. Semoga para pembaca dapat memahami metode penafsiran al Qur’an Tafsir Ijmali dan Tahlili dengan baik. Permohonan  maaf  penulis atas segala kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Kritik dan saran  yang membangun sangat kami harapkan guna memperbaiki penyusunan makalah  selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis maupun  pembaca pada umumnya.



DAFTAR PUSTAKA
Al-Aridi, Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994).
Anwar, Rosihan, Ulum Al-Quran, (Bandung:Pustaka Setia, 2003).
Ash Shiddieqy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang Indonesia, 1992).
Baidan, Nashruddin, Metode Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
Nawawi, Rif’at Syauqi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, (Jakarta: Paramadina, 2002).
Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir & Aplikasi Model Penafsiran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007).
Salim, Abd. Muin, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: TERAS, 2010).
Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013).
Suma, M. Amin, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, (Jakarta: Pustaka Frdaus, 2001).
____________, Ulumul Quran, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013).



[1]  Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: TERAS, 2010), Cet. Ke-3, hlm. 41
[2]  Rosihan Anwar, Ulum Al-Quran, (Bandung:Pustaka Setia, 2003), Cet. Ke-5, h. 209
[3]  Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang Indonesia, 1992), h. 152
[4]  Rosihon Anwar, Op.Cit, h. 211
[5]  M. Amin Suma, Ulumul Quran, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), Cet. Ke-1, h. 381
[6]  Ali Hasan Al-Aridi, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), Cet, Ke-2, h. 73
[7]  Op Cit, h. 47
[8]  Ibid, h. 45
[9]  M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), Cet. Ke-2, h. 381
[10]  M. Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, (Jakarta: Pustaka Frdaus, 2001), Cet. Ke-1, h. 113
[11]  Ibid, h. 114
[12] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, (Jakarta: Paramadina, 2002), Cet. Ke-1
[13] M. Amin Suma, Metodologi Ilmu Tafsir, Op.Cit, h. 40
[14] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet. Ke-1, h. 41
[15]  Nashruddin Baidan, Op.Cit, h. 41
[16]  Ali Hasan Al-‘Aridi, Op.Cit, h. 74
[17]  M. Amin Suma, Ululul Qur’an, Op.Cit, h. 383
[18]  M. Amin Suma, Ulumul Qur’an, Op.Cit, h. 383
[19]  M. Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, Op.Cit, h. 110
[20]  Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir & Aplikasi Model Penafsiran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Cetakan pertama, h. 67
[21]  M. Quraish Shihab, Op.Cit, h. 378
[22]  Abd. Muin Salim, Op.Cit, h. 42
[23]  Rohimin, Op.Cit, h. 68
[24]  M. Quraish Shihab, Op.Cit, h. 381
[25]  Rohimin, Op.Cit, h. 70
[26]  Abd. Muin Salim, Op.Cit, h. 43
[27]  Ali Hasan Al-Aridi, Op.Cit, h. 49
[28]  Abd. Muin Salim, Op.Cit, h. 44
[29]  Abd. Muin Salim, Op.Cit, h. 44
[30]  Ali Hasan Al-Aridi, Op.Cit, h. 55
[31]  Ibid, h. 56-57
[32]  Rohimin, Op.Cit, h. 72
[33]  Ali Hasan Al-Aridi, Op.Cit, h. 57
[34]  Rohimi, Op.Cit, h. 72
[35]  Ibid, h. 72-73
[36]  Ali Hasan Al-Aridi, Op.Cit, h. 61-62
[37]  Abd. Muin Salim, Op.Cit, h. 45
[38]  Ali Hasan Al-Aridi, Op.Cit, h. 71-72
[39]  M. Amin Suma, Ulumul Quran, Op.Cit, h. 380
[40]  M. Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, h. 112
[41]  M. Quraish Shihab, Op.Cit, H. 379
[42] Ibid, h. 381
Selamat Membaca