Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Metode Studi Islam
Dosen Pengampu: Dr. H. Aminuddin Sanwar, MM.
Disusun Oleh:
Miftahudin 18200011048
PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
2018
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Zakat adalah ibadah maaliyah ijtima’iyyah yang memiliki posisi
sangat penting, startegis dan menentukan[1]
baik dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan ummat.
Sebagai suatu ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun (rukun ketiga) dari
rukun Islam yang lima, sebagaimana dalam hadis nabi,[2]
sehingga keberadaannya dianggap sebagai ma’lum minad-diin bidh-dharurah atau
diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman
seseorang.[3]
Didalam al-qur’an terdapat dua puluh tujuh ayat[4]
yang menyejajarkan kewajiban sholat dengan zakat. Terdapat berbagai ayat yang
memuji orang-orang yang sungguh-sungguh menunaikannya,[5]
Dan sebaliknya memberikan ancaman bagi orang yang sengaja meninggalkannya.[6]
Karena itu khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq bertekad memerangi orang-orang yang
sholat tetapi tidak mengeluarkan zakat.[7]
Ketegasan sikap ini menunjukkan bahwa perbuatan meninggalkan zakat adalah suatu
kedurhakaan dan jika hal ini dibiarkan
maka akan memunculkan berbagai problem sosial ekonomi dan kemudharatan
dalam kehidupan masyarakat.
Salah satu sebab belum berfungsinya zakat sebagai instrumen
pemerataan dan belum optimal serta kurang efektifnya sasaran zakat karena
manajemen pengelolaan zakat belum terlaksana sebagaimana mestinya, baik
pengetahuan pengelola maupun instrumen manajemen pengelolaan serta sasaran
zakat. Olehnya itu untuk pengelolaan zakat yang lebih optimal agar sasaran
zakat dapat tercapai maka ada beberapa hal yang menjadi permasalahan antara
lain:
B. Rumusan Masalah
Pada makalah ini, berdasarkan uraian masalah diatas dapat diperinci
beberapa pertanyaan sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah
manajemen pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah?
2.
Bagaimanakah
manajemen pengelolaan berbasis perekonomian syari’ah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Manajemen Pengelolaan Zakat, Infaq dan Shadaqah
1.
Implementasi
manajemen pengelolaan
Pelaksanaan zakat didasarkan pada firman Allah dalam QS.
At-Taubah:60
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ
لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ
وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً
مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya
: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang
dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana[8]
Juga dalam firman Allah SWT QS. At-Taubah:103
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ
صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ
لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya
: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya
do'a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.”
Dalam surah At-taubah :60 dikemukakan bahwa salah satu golongan
yang berhak menerima zakat adalah orang yang bertugas mengurus zakat
(‘amilina ‘alaiha). Sedangkan dalam
surah At-taubah:103 bahwa zakat itu diambil dari orang-orang yang berkewajiban
untuk berzakat (muzakki) untuk kemudian
diberikan kepada yang berhak menerimanya (mustahiq). Yang mengambil dan
menjemput tersebut adalah para petugas (‘amil). Imam Qurtubi menafsirkan surah At-Taubah : 60 menyatakan
bahwa amil itu adalah orang yang ditugaskan oleh imam atau pemerintah untuk
mengambil, menuliskan, menghitung dan mencatatkan zakat yang diambilnya dari
muzakki untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya. Karena itu
Rasulullah SAW pernah mempekerjakan seorang dari suku Asad yang bernama ibnu
lutaibah untuk mengurus urusan zakat Bani Sulaim.[22] begitupula dengan Muas
bin Jabal yang ditugaskan di negeri Yaman sebagai da’i juga sebagai pengurus Zakat. Demikian pula
yang dilakukan oleh para khulafaur rasyidin sesudahnya.
Pengelolaan zakat oleh lembaga pengelola zakat memiliki beberapa
keuntungan antara lain:[9]
Pertama, untuk
menjamin kepastian dan disiplin pembayaran zakat. Kedua, untuk menjaga
perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila berhadapan langsung untuk
menerima zakat dari para muzakki. Ketiga , untuk mencapai efisiensi dan
efektifitas serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala
proritas yang ada pada suatu tempat. Keempat, untuk memperlihatkan syiar
islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang Islami. Kelima,
untuk memudahkan kordinasi dan konsolidasi data muzakki dan mustahiq. Keenam,
untuk memudahkan pelaporan dan pertanggungjawaban ke publik. Ketujuh,
agar pengelolaaannya dapat dikelola secara professional (pen). Sebaliknya jika
zakat diserahkan langsung dari muzakki ke mustahik, meskipun secara hukum
syar’i adalah sah, akan tetapi disamping akan terabaikannya hal-hal tersebut
diatas, juga hikmah dan fungsi zakat, terutama yang berkaitan dengan pemerataan
dan kesejahteraan ummat, akan sulit diwujudkan.
Di Indonesia pengelolaan zakat diatur berdasarkan Undang-Undang No.
38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dengan Keputusan Menteri Agama (KMA)
No. 581 tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 38 tahun 1999 dan
Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan
Haji No. D. D/291 tahun 2000 tentang Pedoman Tehnis Pengelolaan Zakat. Dalam
Undang-Undang ini masih banyak kekurangan terutama tidak adanya sangsi bagi
muzakki yang melalaikan kewajibannya tidak membayar zakat, tetapi Undang-Undang
ini mendorong upaya untuk pembentukan lembaga pengelola zakat yang amanah, kuat
dan dipercaya oleh masyarakat.
Dalam Undang-Undang ini dikemukakan bahwa pengelolaan zakat
bertujuan untuk:
1.
Meningkatkan
pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan agama
2.
Meningkatkan
fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan masyarakat dan
keadilan sosial
3.
Meningkatkan
hasil guna dan daya guna zakat
Dalam Bab III Undang-Undang No. 38 tahun 1999 dikemukakan bahwa
organisasi pengelola zakat terdiri dari dua jenis, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ)
dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Selanjutnya bahwa setiap pengelola zakat karena
kelalaiannya tidak mencatat dengan tidak benar tentang zakat, infak, sedekah,
hibah, wasiat, waris dan kaffarat sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8 pasal
12 dan pasal 11 Undang-Undang tersebut, diancam dengan hukuman kurungan
selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 30.000.000.
B.
Manajemen Pengelolaan Berbasis Perekonomian Syari’ah
1.
Mekanisme pengelolaan berbasis pemerataan pendapatan dan keadilan
sosial
Secara
demografik dan kultural, bangsa Indonesia, khususnya masyarakat muslim
Indonesia, sebenarnya memiliki potensi strategis yang layak dikembangkan
menjadi salah satu instrument pemerataan pendapatan, yakni institusi zakat,
infaq, dan shodaqoh. Karena secara demografik, mayoritas penduduk Indonesia
adalah beragama Islam, dan secara kultural, kewajiban zakat, dorongan berinfaq,
dan bershodaqoh di jalan Allah telah mengakar kuat dalam tradisi kehidupan
masyarakat. Dengan demikian, mayoritas penduduk Indonesia, secara ideal, bisa terlibat
dalam mekanisme pengelolaan zakat. Apabila hal itu bisa terlaksana dalam
aktivitas sehari-hari umat Islam, maka secara hipotetik, zakat berpotensi
mempengaruhi aktivitas ekonomi nasional, termasuk di dalamnya adalah penguatan
pemberdayaan ekonomi nasional.
Secara
substantif, zakat, infaq, dan shodaqoh adalah bagian dari mekanisme keagamaan
yang berintikan semangat pemerataan pendapatan. Dana zakat diambil dari harta
orang berkelebihan dan disalurkan kepada orang yang kekurangan. Zakat tidak
dimaksudkan untuk memiskinkan orang 6 kaya, juga tidak untuk melecehkan jerih
payah orang kaya. hal ini disebabkan karena zakat diambil dari sebagian kecil
hartanya dengan beberapa kriteria tertentu yang wajib di zakati. Oleh karena
itu, alokasi dana zakat tidak bisa diberikan secara sembarangan dan hanya dapat
disalurkan kepada kelompok masyarakat tertentu. Seperti halnya dengan zakat,
walaupun infaq dan shodaqoh tidak wajib, tetapi infaq dan shodaqoh merupakan
media pemerataan pendapatan bagi umat Islam yang sangat dianjurkan. Dengan kata
lain, infaq dan shodaqoh merupakan media untuk memperbaiki taraf kehidupan, di
samping adanya zakat yang diwajibkan kepada orang Islam yang mampu. Dengan demikian
dana zakat, infaq, dan shodaqoh bisa diupayakan secara maksimal untuk
memberdayakan ekonomi masyarakat. Badan amil zakat atau lembaga amil zakat
diharapkan tidak hanya terpaku pada memikirkan kebutuhan sendiri, melainkan
juga mau terlibat dan melibatkan diri untuk memberi kepedulian terhadap warga
masyarakat guna mengatasi kemiskinan dan kemelaratan. Dengan demikian,
kehadiran badan amil zakat atau lembaga amil zakat di samping bersifat
keagamaan, juga ditempatkan dalam konteks cita-cita bangsa, yaitu membangun
masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur. Oleh karena itu peningkatan daya
guna lembaga amil zakat, khususnya dalam melakukan pembangunan ekonomi
masyarakat mesti dilakukan. Sementara itu, terjadi perkembangan yang menarik di
Indonesia bahwa pengelolaan zakat, kini memasuki era baru, yakni dikeluarkannya
7 Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dengan keputusan
Menteri Agama (KMA) Nomor 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 38 tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat dan
Urusan Haji Nomor D/291 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.
Islam
adalah agama yang bersifat universal, mampu mencakup segala aspek kehidupan
manusia. Islam ialah solusi dari berbagai permasalahan sosial, budaya, ekonomi,
politik, teknologi dan lainnya. Sayangnya, masih banyak yang menganggap Islam
hanyalah sebuah kegiatan spiritual semata. Sehingga, tumbuhlah paham pluralisme
yang merusak pemikiran. Puncaknya, kegagalan sistem ekonomi kapitalis barat
yang memberatkan banyak pihak akhirnya mampu membuka mata hati kita bahwa ada
kesalahan dengan sistem yang selama ini mereka yakini. Maka, sejauh apapun
manusia melangkah ke jalan yang salah, pada akhirnya ia harus kembali menuju
jalan yang lurus, yakni syariat Islam.
Ekonomi
syariah sudah lebih dulu di terapkan di Inggris dengan latar belakang penduduk
non-muslim. Malaysia pun telah melakukannya sehingga saat ini menjadi pusat
perkembangan ekonomi syariah di Asia Tenggara. Sebagai salah satu penganut
agama Islam terbesar di dunia, hal ini merupakan pukulan keras bagi Indonesia.
Salah satu sektor ekonomi syariah tidak bisa dianggap remeh adalah peran sosial
ekonomi syariah melalui instrumen Zakat, Infaq, dan Shadaqah. Melalui
pengelolaan yang optimal, Zakat, Infaq,
dan Shadaqah berpotensi besar mengatasi berbagai permasalahan bangsa, baik
ekonomi maupun sosial.
Zakat,
Infaq, dan Shadaqah adalah ibadah yang memiliki dua dimensi, yaitu merupakan
ibadah sebagai bentuk ketaatan kepada Allah (vertikal) dan sebagai kewajiban
berhubungan baik terhadap sesama manusia (horizontal). Zakat, Infaq, dan
Shadaqah merupakan salah satu ciri dari sistem ekonomi Islam, karena
implementasi azas keadilan dalam sistem ekonomi Islam.
Menurut
M.A Mannan, zakat mempunyai enam prinsip. Pertama yakni prinsip keyakinan
keagamaan, maka pembayar zakat merupakan salah satu manifestasi dari ia yang
taat dan yakin kepada agamanya. Yang kedua yakni prinsip pemerataan dan
keadilan. Ini merupakan tujuan sosial dari zakat, yaitu membagi kekayaan dari
Allah SWT lebih adil dan merata kepada sesama manusia. Yang ketiga ialah
prinsip produktifitas, yang menekankan bahwa zakat memang harus dibayar karena
milik pihak tertentu dan telah menghasilkan produk tertentu setelah lewat
jangka waktu tertentu. Selain itu terdapat prinsip nalar yang berarti zakat
harta yang menghasilkan itu harus dikeluarkan. Prinsip yang kelima ialah
prinsip kebebasan yang berarti zakat hanya dibayar oleh orang yang
bebas/merdeka. Prinsip yang terakhir ialah prinsip etika dan kewajaran, yang
berarti zakat tidak boleh dipungut secara semena-mena.
Berbeda
dengan industri perbankan syariah sebagai unit bisnis, instrumen ekonomi
syariah seperti zakat, infaq, shadaqah, wakaf memiliki peran besar mewujudkan
keadilan ekonomi dan sosial dalam bermasyarakat. Zakat, Infaq, dan Shadaqah
berperan terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat kurang mampu. Peran tersebut
sangat sesuai dengan UUD 1945 pada pasal 34 ayat 1 yang berbunyi: "Fakir
miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara." Zakat, Infaq, dan
Shadaqah memiliki peran yang besar dalam menunjang dan mendukung pembangunan
infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat.
Melihat
betapa besarnya peran sistem ekonomi syariah, sangatlah patut bahwa pemerintah
harus memberikan perhatian serius, baik dalam bentuk dukungan kepada sistem
ekonomi syariah. Salah satunya dengan meyakinkan beberapa pihak yang menentang
penerapan undang-undang yang berkaitan dengan ekonomi syariah bahwa ekonomi
syariah tidak hanya bermanfaat bagi umat Islam tetapi juga bermanfaat bagi
segenap bangsa Indonesia tanpa memandang SARA. Sebisa mungkin pemerintah harus
turut serta dalam mempercepat pemberlakuan undang-undang ekonomi syariah
tersebut. Hal ini karena sudah menjadi tugas pemerintah untuk mendorong
pertumbuhan serta perkembangan ekonomi syariah yang saat ini menjadi tuntutan
untuk memperluas keadilan ekonomi dan sosial dalam bermasyarakat.
2.
Manajemen Pengelola Perekonomian Syari’ah
a.
Persyaratan
pengelola lembaga
DR. Yusuf Qardawi dalam bukunya, Fiqh Zakat,[10]
menyatakan bahwa seseorang yang ditunjuk sebagai amil zakat atau pengelola
zakat harus memiliki persyaratan sebagai berikut:
1)
Beragama
Islam. Zakat adalah salah satu urusan utama kaum muslimin yang termasuk rukun
Islam (rukun islam ketiga), karena itu seharusnya apabila urusan penting kaum
muslimin diurtus oleh sesama muslim
2)
Mukallaf
yaitu orang dewasa yang sehat akal pikirannya yang siap menerima tanggungjawab
mengurus urusan umat.
3)
Amanah
dan jujur. Sifat ini penting untuk menjaga kepercayaan umat. Artinya para
muzakki akan dengan rela menyerahkan zakatnya melalui lembaga pengelola zakat,
jika memang lembaga ini patut dan layak dipercaya. Keamanahan ini diwujudkan
dalam bentuk transparansi (keterbukaan) dalam menyampaikan laporan
pertanggungjawaban secara berkala dan juga ketepatan penyalurannya sejalan
dengan ketentuan syariah Islam.
4)
Memiliki
kemampuan untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Amanah dan jujur
merupakan syarat yang penting akan tetapi juga harus ditunjang oleh kemampuan
dalam melaksanakan tugas
5)
Motivasi
dan kesungguhan amil zakat dalam melaksanakan tugasnya. Amil zakat yang baik
adalah amil zakat yang fuul time dalam melaksanakan tugasnya, tidak asal-asalan
dan tidak pula sambilan
6)
Syarat
yang tidak kalah pentingnya, hemat penulis memiliki kemampuan analisis
perhitungan zakat, manajemen, IT dan metode pemanfataan dan pemberdayaan zakat.
7)
Peningkatan
capacity building amil sehingga bisa berkopetisi setiap momen dan periode
tertentu.
b.
Persyaratan
Penyelenggaraan Lembaga Pengelola
Persyaratan teknis lembaga zakat berdasarkan Keputusan Menteri
Agama RI nomor 581 tahun 1991 adalah:
1)
Berbadan
Hukum
2)
Memiliki
data muzakki dan mustahik
3)
Memiliki
program kerja yang jelas
4)
Memmiliki
pembukuan dan manajemen yang baik
5)
Melampirkan
surat pernrnyataan bersedia diaudit
Persyaratan tersebut diharapkan dapat mengarah pada profesionalitas
dan trasparansi dari setiap pengelolaan zakat.
c.
Prinsip-Prinsip
Pengelolaan Zakat
Dalam pengelolaan zakat terdapat beberapa prinsip-prinsip yang
harus diikuti dan ditaati agar pengelolaan dapat berhasil sesuai yang
diharapkan, diantaranya :
1)
Prinsip
Keterbukaan, artinya dalam pengelolaan zakat hendaknya dilakukan secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat umum.
2)
Prinsip
Sukarela, artinya bahwa dalam pemungutan atau pengumpulan zakat hendaknya
senantiasa berdasarkan pada prisip sukarela dari umat Islam yang menyerahkan
harta zakatnya tanpa ada unsur pemaksaan atau cara-cara yang dianggap sebagai
suatu pemaksaan. Meskipun pada dasarnya ummat Islam yang enggan membayar zakat
harus mendapat sangsi sesuai perintah Allah.
3)
Prinsip
Keterpaduan, artinya dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus dilakukan
secara terpadu diantara komponen-komponen yang lainnya.
4)
Prefesionalisme,
artinya dalam pengelolaan zakat harus dilakukan oleh mereka yang ahli
dibidangnya., baik dalam administrasi, keuangan dan sebaginya.
5)
Prinsip
Kemandirian, prinsip ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari prinsip
prefesionalisme, maka diharapkan lembaga-lembaga pengelola zakat dapat mandiri
dan mampu melaksanakan tugas dan fungsinya tanpa perlu menunggu bantuan dari
pihak lain.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Manajemen
pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah bertujuan untuk meningkatkan pelayanan
bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan agama, meningkatkan fungsi dan
peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan masyarakat dan keadilan sosial
dan meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat
2.
Manajemen
pengelolaan berbasis perekonomian syari’ah bertujuan untuk pemerataan
pendapatan, keadilan ekonomi dan sosial bermasyarakat
B.
Penutup
Demikian
makalah ini kami susun. Semoga para pembaca dapat tentang manajemen zakat,
infaq dan shadaqah dengan baik. Permohonan maaf pemakalah atas segala
kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Kritik dan saran yang membangun sangat
kami harapkan guna memperbaiki penyusunan makalah selanjutnya. Semoga makalah
ini bermanfaat bagi kami maupun pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Alquranul
Karim, Terjemahan Depag RI
Ali
Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, Bandung, 1994
Masdar
F. Mas’udi, 1993. Zakat (Pajak)
Berkeadilan
Sabiq,
Sayyid,1968. Fiqh Sunnah, Kuwait: daer el-bayan
Yusuf
Qardawi, DR. 1997. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Robbani
Press Jakarta
________________,
Fiqhus Zakat . Beirut: Muassasah, 1991
_______________, Al-Ibadah fil Islam Beirut: Muassasah Risalah, 1993
[1] Yusuf al-Qardawi, Al-Ibadah fil Islam (Beirut: Muassasah
Risalah, 1993), hlm, 235
[2] Hadis riwayat Muslim dari Abdullah bin Umar, Shahih Muslim
(Riyadh:Daar el-Salaam, 1419 H), hlm,683
[3] Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial (bandung, 1994), hlm. 231
[4] Yusuf al-Qardawi, Fiqhus
Zakat (Beirut: Muassasah, 1991)hlm.41
[5] QS. At-Taubah ayat 5 dan 11
[6] QS. At-Taubah ayat 34-35
[7] Abu Bakar Jaabir al-Jazaari, Minhajul Muslim (Beirut: Daar al-Fikr,
1976)hlm. 248
[8] Yang berhak menerima zakat ialah: 1. Orang fakir: orang yang amat
sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi
penghidupannya. 2. Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan
dalam keadaan kekurangan. 3. Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk
mengumpulkan dan membagikan zakat. 4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan
masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. 5.
Memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan muslim yang ditawan oleh
orang-orang kafir. 6. Orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk
kepentingan yang bukan ma'siat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang
berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan
zakat, walaupun ia mampu membayarnya. 7. Pada jalan Allah (sabilillah): yaitu untuk
keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Di antara mufasirin ada yang
berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum
seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain. 8. Orang yang sedang
dalam perjalanan yang bukan ma'siat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
[9] Abdurrahman Qadir, Zakat dalam Dimensi Mahdah dan Sosial,
raja Grafindo persada, Jakarta, 1988. Hlm 85
[10] Yusuf al-qardawi, Fiqh Zakat, Muassasah Risalah, Beirut,
1991, Juz, II, hlm. 586
Tidak ada komentar:
Write comments