Minggu, 26 Mei 2019

PENGELOLAAN ZAKAT, INFAQ, DAN SHADAQAH DI INDONESIA DALAM RANGKA PEREKONOMIAN SYARI’AH

Makalah

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Metode Studi Islam
Dosen Pengampu: Dr. H. Aminuddin Sanwar, MM.






Disusun Oleh: 

Miftahudin 18200011048



PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
2018


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Zakat adalah ibadah maaliyah ijtima’iyyah yang memiliki posisi sangat penting, startegis dan menentukan[1] baik dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan ummat. Sebagai suatu ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun (rukun ketiga) dari rukun Islam yang lima, sebagaimana dalam hadis nabi,[2] sehingga keberadaannya dianggap sebagai ma’lum minad-diin bidh-dharurah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman seseorang.[3] Didalam al-qur’an terdapat dua puluh tujuh ayat[4] yang menyejajarkan kewajiban sholat dengan zakat. Terdapat berbagai ayat yang memuji orang-orang yang sungguh-sungguh menunaikannya,[5] Dan sebaliknya memberikan ancaman bagi orang yang sengaja meninggalkannya.[6] Karena itu khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq bertekad memerangi orang-orang yang sholat tetapi tidak mengeluarkan zakat.[7] Ketegasan sikap ini menunjukkan bahwa perbuatan meninggalkan zakat adalah suatu kedurhakaan dan jika hal ini dibiarkan  maka akan memunculkan berbagai problem sosial ekonomi dan kemudharatan dalam kehidupan masyarakat.
Salah satu sebab belum berfungsinya zakat sebagai instrumen pemerataan dan belum optimal serta kurang efektifnya sasaran zakat karena manajemen pengelolaan zakat belum terlaksana sebagaimana mestinya, baik pengetahuan pengelola maupun instrumen manajemen pengelolaan serta sasaran zakat. Olehnya itu untuk pengelolaan zakat yang lebih optimal agar sasaran zakat dapat tercapai maka ada beberapa hal yang menjadi permasalahan antara lain:

B.  Rumusan Masalah
Pada makalah ini, berdasarkan uraian masalah diatas dapat diperinci beberapa pertanyaan sebagai berikut :
1.    Bagaimanakah manajemen pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah?
2.    Bagaimanakah manajemen pengelolaan berbasis perekonomian syari’ah?



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Manajemen Pengelolaan Zakat, Infaq dan Shadaqah
1.    Implementasi manajemen pengelolaan
Pelaksanaan zakat didasarkan pada firman Allah dalam QS. At-Taubah:60
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya : “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan)  budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana[8]

Juga dalam firman Allah SWT QS. At-Taubah:103

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Dalam surah At-taubah :60 dikemukakan bahwa salah satu golongan yang berhak menerima zakat adalah orang yang bertugas mengurus zakat (‘amilina  ‘alaiha). Sedangkan dalam surah At-taubah:103 bahwa zakat itu diambil dari orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat (muzakki)  untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya (mustahiq). Yang mengambil dan menjemput tersebut adalah para petugas (‘amil). Imam Qurtubi  menafsirkan surah At-Taubah : 60 menyatakan bahwa amil itu adalah orang yang ditugaskan oleh imam atau pemerintah untuk mengambil, menuliskan, menghitung dan mencatatkan zakat yang diambilnya dari muzakki untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya. Karena itu Rasulullah SAW pernah mempekerjakan seorang dari suku Asad yang bernama ibnu lutaibah untuk mengurus urusan zakat Bani Sulaim.[22] begitupula dengan Muas bin Jabal yang ditugaskan di negeri Yaman sebagai  da’i juga sebagai pengurus Zakat. Demikian pula yang dilakukan oleh para khulafaur rasyidin sesudahnya.
Pengelolaan zakat oleh lembaga pengelola zakat memiliki beberapa keuntungan antara lain:[9]
Pertama, untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayaran zakat. Kedua, untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzakki. Ketiga , untuk mencapai efisiensi dan efektifitas serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala proritas yang ada pada suatu tempat. Keempat, untuk memperlihatkan syiar islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang Islami. Kelima, untuk memudahkan kordinasi dan konsolidasi data muzakki dan mustahiq. Keenam, untuk memudahkan pelaporan dan pertanggungjawaban ke publik. Ketujuh, agar pengelolaaannya dapat dikelola secara professional (pen). Sebaliknya jika zakat diserahkan langsung dari muzakki ke mustahik, meskipun secara hukum syar’i adalah sah, akan tetapi disamping akan terabaikannya hal-hal tersebut diatas, juga hikmah dan fungsi zakat, terutama yang berkaitan dengan pemerataan dan kesejahteraan ummat, akan sulit diwujudkan.
Di Indonesia pengelolaan zakat diatur berdasarkan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 581 tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 38 tahun 1999 dan
Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D. D/291 tahun 2000 tentang Pedoman Tehnis Pengelolaan Zakat. Dalam Undang-Undang ini masih banyak kekurangan terutama tidak adanya sangsi bagi muzakki yang melalaikan kewajibannya tidak membayar zakat, tetapi Undang-Undang ini mendorong upaya untuk pembentukan lembaga pengelola zakat yang amanah, kuat dan dipercaya oleh masyarakat.
Dalam Undang-Undang ini dikemukakan bahwa pengelolaan zakat bertujuan untuk:
1.      Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan  tuntunan agama
2.      Meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan masyarakat dan keadilan sosial
3.      Meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat
Dalam Bab III Undang-Undang No. 38 tahun 1999 dikemukakan bahwa organisasi pengelola zakat terdiri dari dua jenis, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Selanjutnya bahwa setiap pengelola zakat karena kelalaiannya tidak mencatat dengan tidak benar tentang zakat, infak, sedekah, hibah, wasiat, waris dan kaffarat sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8 pasal 12 dan pasal 11 Undang-Undang tersebut, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 30.000.000.

B.  Manajemen Pengelolaan Berbasis Perekonomian Syari’ah
1.    Mekanisme pengelolaan berbasis pemerataan pendapatan dan keadilan sosial
Secara demografik dan kultural, bangsa Indonesia, khususnya masyarakat muslim Indonesia, sebenarnya memiliki potensi strategis yang layak dikembangkan menjadi salah satu instrument pemerataan pendapatan, yakni institusi zakat, infaq, dan shodaqoh. Karena secara demografik, mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam, dan secara kultural, kewajiban zakat, dorongan berinfaq, dan bershodaqoh di jalan Allah telah mengakar kuat dalam tradisi kehidupan masyarakat. Dengan demikian, mayoritas penduduk Indonesia, secara ideal, bisa terlibat dalam mekanisme pengelolaan zakat. Apabila hal itu bisa terlaksana dalam aktivitas sehari-hari umat Islam, maka secara hipotetik, zakat berpotensi mempengaruhi aktivitas ekonomi nasional, termasuk di dalamnya adalah penguatan pemberdayaan ekonomi nasional.
Secara substantif, zakat, infaq, dan shodaqoh adalah bagian dari mekanisme keagamaan yang berintikan semangat pemerataan pendapatan. Dana zakat diambil dari harta orang berkelebihan dan disalurkan kepada orang yang kekurangan. Zakat tidak dimaksudkan untuk memiskinkan orang 6 kaya, juga tidak untuk melecehkan jerih payah orang kaya. hal ini disebabkan karena zakat diambil dari sebagian kecil hartanya dengan beberapa kriteria tertentu yang wajib di zakati. Oleh karena itu, alokasi dana zakat tidak bisa diberikan secara sembarangan dan hanya dapat disalurkan kepada kelompok masyarakat tertentu. Seperti halnya dengan zakat, walaupun infaq dan shodaqoh tidak wajib, tetapi infaq dan shodaqoh merupakan media pemerataan pendapatan bagi umat Islam yang sangat dianjurkan. Dengan kata lain, infaq dan shodaqoh merupakan media untuk memperbaiki taraf kehidupan, di samping adanya zakat yang diwajibkan kepada orang Islam yang mampu. Dengan demikian dana zakat, infaq, dan shodaqoh bisa diupayakan secara maksimal untuk memberdayakan ekonomi masyarakat. Badan amil zakat atau lembaga amil zakat diharapkan tidak hanya terpaku pada memikirkan kebutuhan sendiri, melainkan juga mau terlibat dan melibatkan diri untuk memberi kepedulian terhadap warga masyarakat guna mengatasi kemiskinan dan kemelaratan. Dengan demikian, kehadiran badan amil zakat atau lembaga amil zakat di samping bersifat keagamaan, juga ditempatkan dalam konteks cita-cita bangsa, yaitu membangun masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur. Oleh karena itu peningkatan daya guna lembaga amil zakat, khususnya dalam melakukan pembangunan ekonomi masyarakat mesti dilakukan. Sementara itu, terjadi perkembangan yang menarik di Indonesia bahwa pengelolaan zakat, kini memasuki era baru, yakni dikeluarkannya 7 Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dengan keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat dan Urusan Haji Nomor D/291 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.
Islam adalah agama yang bersifat universal, mampu mencakup segala aspek kehidupan manusia. Islam ialah solusi dari berbagai permasalahan sosial, budaya, ekonomi, politik, teknologi dan lainnya. Sayangnya, masih banyak yang menganggap Islam hanyalah sebuah kegiatan spiritual semata. Sehingga, tumbuhlah paham pluralisme yang merusak pemikiran. Puncaknya, kegagalan sistem ekonomi kapitalis barat yang memberatkan banyak pihak akhirnya mampu membuka mata hati kita bahwa ada kesalahan dengan sistem yang selama ini mereka yakini. Maka, sejauh apapun manusia melangkah ke jalan yang salah, pada akhirnya ia harus kembali menuju jalan yang lurus, yakni syariat Islam.
Ekonomi syariah sudah lebih dulu di terapkan di Inggris dengan latar belakang penduduk non-muslim. Malaysia pun telah melakukannya sehingga saat ini menjadi pusat perkembangan ekonomi syariah di Asia Tenggara. Sebagai salah satu penganut agama Islam terbesar di dunia, hal ini merupakan pukulan keras bagi Indonesia. Salah satu sektor ekonomi syariah tidak bisa dianggap remeh adalah peran sosial ekonomi syariah melalui instrumen Zakat, Infaq, dan Shadaqah. Melalui pengelolaan yang optimal,  Zakat, Infaq, dan Shadaqah berpotensi besar mengatasi berbagai permasalahan bangsa, baik ekonomi maupun sosial.
Zakat, Infaq, dan Shadaqah adalah ibadah yang memiliki dua dimensi, yaitu merupakan ibadah sebagai bentuk ketaatan kepada Allah (vertikal) dan sebagai kewajiban berhubungan baik terhadap sesama manusia (horizontal). Zakat, Infaq, dan Shadaqah merupakan salah satu ciri dari sistem ekonomi Islam, karena implementasi azas keadilan dalam sistem ekonomi Islam.
Menurut M.A Mannan, zakat mempunyai enam prinsip. Pertama yakni prinsip keyakinan keagamaan, maka pembayar zakat merupakan salah satu manifestasi dari ia yang taat dan yakin kepada agamanya. Yang kedua yakni prinsip pemerataan dan keadilan. Ini merupakan tujuan sosial dari zakat, yaitu membagi kekayaan dari Allah SWT lebih adil dan merata kepada sesama manusia. Yang ketiga ialah prinsip produktifitas, yang menekankan bahwa zakat memang harus dibayar karena milik pihak tertentu dan telah menghasilkan produk tertentu setelah lewat jangka waktu tertentu. Selain itu terdapat prinsip nalar yang berarti zakat harta yang menghasilkan itu harus dikeluarkan. Prinsip yang kelima ialah prinsip kebebasan yang berarti zakat hanya dibayar oleh orang yang bebas/merdeka. Prinsip yang terakhir ialah prinsip etika dan kewajaran, yang berarti zakat tidak boleh dipungut secara semena-mena.
Berbeda dengan industri perbankan syariah sebagai unit bisnis, instrumen ekonomi syariah seperti zakat, infaq, shadaqah, wakaf memiliki peran besar mewujudkan keadilan ekonomi dan sosial dalam bermasyarakat. Zakat, Infaq, dan Shadaqah berperan terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat kurang mampu. Peran tersebut sangat sesuai dengan UUD 1945 pada pasal 34 ayat 1 yang berbunyi: "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara." Zakat, Infaq, dan Shadaqah memiliki peran yang besar dalam menunjang dan mendukung pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat.
Melihat betapa besarnya peran sistem ekonomi syariah, sangatlah patut bahwa pemerintah harus memberikan perhatian serius, baik dalam bentuk dukungan kepada sistem ekonomi syariah. Salah satunya dengan meyakinkan beberapa pihak yang menentang penerapan undang-undang yang berkaitan dengan ekonomi syariah bahwa ekonomi syariah tidak hanya bermanfaat bagi umat Islam tetapi juga bermanfaat bagi segenap bangsa Indonesia tanpa memandang SARA. Sebisa mungkin pemerintah harus turut serta dalam mempercepat pemberlakuan undang-undang ekonomi syariah tersebut. Hal ini karena sudah menjadi tugas pemerintah untuk mendorong pertumbuhan serta perkembangan ekonomi syariah yang saat ini menjadi tuntutan untuk memperluas keadilan ekonomi dan sosial dalam bermasyarakat.
2.    Manajemen Pengelola Perekonomian Syari’ah
a.    Persyaratan pengelola lembaga
DR. Yusuf Qardawi dalam bukunya, Fiqh Zakat,[10] menyatakan bahwa seseorang yang ditunjuk sebagai amil zakat atau pengelola zakat harus memiliki persyaratan sebagai berikut:
1)        Beragama Islam. Zakat adalah salah satu urusan utama kaum muslimin yang termasuk rukun Islam (rukun islam ketiga), karena itu seharusnya apabila urusan penting kaum muslimin diurtus oleh sesama muslim
2)        Mukallaf yaitu orang dewasa yang sehat akal pikirannya yang siap menerima tanggungjawab mengurus urusan umat.
3)        Amanah dan jujur. Sifat ini penting untuk menjaga kepercayaan umat. Artinya para muzakki akan dengan rela menyerahkan zakatnya melalui lembaga pengelola zakat, jika memang lembaga ini patut dan layak dipercaya. Keamanahan ini diwujudkan dalam bentuk transparansi (keterbukaan) dalam menyampaikan laporan pertanggungjawaban secara berkala dan juga ketepatan penyalurannya sejalan dengan ketentuan syariah Islam.
4)        Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Amanah dan jujur merupakan syarat yang penting akan tetapi juga harus ditunjang oleh kemampuan dalam melaksanakan tugas
5)        Motivasi dan kesungguhan amil zakat dalam melaksanakan tugasnya. Amil zakat yang baik adalah amil zakat yang fuul time dalam melaksanakan tugasnya, tidak asal-asalan dan tidak pula sambilan
6)        Syarat yang tidak kalah pentingnya, hemat penulis memiliki kemampuan analisis perhitungan zakat, manajemen, IT dan metode pemanfataan dan pemberdayaan zakat.
7)        Peningkatan capacity building amil sehingga bisa berkopetisi setiap momen dan periode tertentu.
b.    Persyaratan Penyelenggaraan Lembaga Pengelola
Persyaratan teknis lembaga zakat berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI nomor 581 tahun 1991 adalah:
1)        Berbadan Hukum
2)        Memiliki data muzakki dan mustahik
3)        Memiliki program kerja yang jelas
4)        Memmiliki pembukuan dan manajemen yang baik
5)        Melampirkan surat pernrnyataan bersedia diaudit
Persyaratan tersebut diharapkan dapat mengarah pada profesionalitas dan trasparansi dari setiap pengelolaan zakat.
c.    Prinsip-Prinsip Pengelolaan Zakat
Dalam pengelolaan zakat terdapat beberapa prinsip-prinsip yang harus diikuti dan ditaati agar pengelolaan dapat berhasil sesuai yang diharapkan, diantaranya :
1)        Prinsip Keterbukaan, artinya dalam pengelolaan zakat hendaknya dilakukan secara  terbuka dan diketahui oleh masyarakat umum.
2)        Prinsip Sukarela, artinya bahwa dalam pemungutan atau pengumpulan zakat hendaknya senantiasa berdasarkan pada prisip sukarela dari umat Islam yang menyerahkan harta zakatnya tanpa ada unsur pemaksaan atau cara-cara yang dianggap sebagai suatu pemaksaan. Meskipun pada dasarnya ummat Islam yang enggan membayar zakat harus mendapat sangsi sesuai perintah Allah.
3)        Prinsip Keterpaduan, artinya dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus dilakukan secara terpadu diantara komponen-komponen yang lainnya.
4)        Prefesionalisme, artinya dalam pengelolaan zakat harus dilakukan oleh mereka yang ahli dibidangnya., baik dalam administrasi, keuangan dan sebaginya.
5)        Prinsip Kemandirian, prinsip ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari prinsip prefesionalisme, maka diharapkan lembaga-lembaga pengelola zakat dapat mandiri dan mampu melaksanakan tugas dan fungsinya tanpa perlu menunggu bantuan dari pihak lain.

BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
1.    Manajemen pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah bertujuan untuk meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan  tuntunan agama, meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan masyarakat dan keadilan sosial dan meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat
2.    Manajemen pengelolaan berbasis perekonomian syari’ah bertujuan untuk pemerataan pendapatan, keadilan ekonomi dan sosial bermasyarakat

B.  Penutup
Demikian makalah ini kami susun. Semoga para pembaca dapat tentang manajemen zakat, infaq dan shadaqah dengan baik. Permohonan maaf pemakalah atas segala kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna memperbaiki penyusunan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami maupun pembaca pada umumnya.




DAFTAR PUSTAKA

Alquranul Karim, Terjemahan Depag RI
Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, Bandung, 1994
Masdar F. Mas’udi, 1993.  Zakat (Pajak) Berkeadilan
Sabiq, Sayyid,1968. Fiqh Sunnah, Kuwait: daer el-bayan
Yusuf Qardawi, DR. 1997. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Robbani Press Jakarta
________________, Fiqhus Zakat . Beirut: Muassasah, 1991
 _______________, Al-Ibadah fil Islam  Beirut: Muassasah Risalah, 1993




[1]  Yusuf al-Qardawi, Al-Ibadah fil Islam (Beirut: Muassasah Risalah, 1993), hlm, 235
[2]  Hadis riwayat Muslim dari Abdullah bin Umar, Shahih Muslim (Riyadh:Daar el-Salaam, 1419 H), hlm,683
[3]  Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial (bandung, 1994), hlm. 231
[4]  Yusuf  al-Qardawi, Fiqhus Zakat (Beirut: Muassasah, 1991)hlm.41
[5]  QS. At-Taubah ayat 5 dan 11
[6]  QS. At-Taubah  ayat 34-35
[7]  Abu Bakar Jaabir al-Jazaari, Minhajul Muslim (Beirut: Daar al-Fikr, 1976)hlm. 248
[8]  Yang berhak menerima zakat ialah: 1. Orang fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. 2. Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan. 3. Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. 4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. 5. Memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. 6. Orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan ma'siat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya. 7. Pada jalan Allah (sabilillah): yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain. 8. Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan ma'siat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
[9]  Abdurrahman Qadir, Zakat dalam Dimensi Mahdah dan Sosial, raja Grafindo persada, Jakarta, 1988. Hlm 85
[10]  Yusuf al-qardawi, Fiqh Zakat, Muassasah Risalah, Beirut, 1991, Juz, II, hlm. 586

Selamat Membaca

Tidak ada komentar:
Write comments