Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Study Al Qur’an
Dosen Pengampu: Dr. H. Saifudin, M.A.
Disusun Oleh:
Miftahudin 18200011048
PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
2018
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Semenjak Nabi Muhammad SAW wafat, para
sahabat kehilangan tempat bertanya secara langsung. Meski demikian, kegiatan penafsiran Al-Quran tidak berhenti. Munculnya persoalan-peقsoalan baru mendorong umat Islam generasi awal tersebut untuk
mencurahkan perhatiannya dalam menjawab persoalan umat. Dalam menafsirkan
Al-Quran pada masa itu, pegangan utama para sahabat adalah riwayat-riwayat yang
dinukilkan dari Nabi. Penafsiran-penafsiran yang dilakukan para sahabat di
kemudian hari nanti dikenal dengan tafsir bil ma’tsur (penafsiran yang
sumbernya dari riwayat), cara ini kemudian dikenal dengan metode penafsiran
riwayah.[1]
Kegiatan
penafsiran Al-Qur’an ini sangat diperlukan karena adanya tiga alasan, yaitu; Pertama,
Al-Qur’an diturunkan dalam keadaan yang diasumsikan sangat sempurna, akan
tetapi sangat ringkas dan padat, mengandung semua ilmu pengetahuan baik
pengetahuan agama maupun pengetahuan umum. Kedua, adanya kata atau kalimat yang dibuang, karena Al-Qur’an diturunkan
dengan kalam yang baligh dan mujmal.
Ketiga, adanya
kata atau kalimat yang mengandung majaz, isytirok dan dilalatu
li al-tizam. Untuk itu proses interpretasi teks qur’an akan terus dilakukan
oleh setiap generasi dengan berbagai bentuk dan coraknya.
Mengingat pentingnya alasan diatas, maka
pemahaman mengenai metode penafsiran menjadi sangat penting untuk mendapatkan
hasil penasiran yang utuh. Dalam makalah ini, kami berusaha menyajikan
bagaimana metode ijmali dan tahlili ditinjau dari keilmuwannya hingga kita bisa
mengetahui bagaimana kelebihan dan kekurangan metode tafsir yang sudah
berkembang hingga dewasa ini.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dibatasi pembahasannya dengan
rumusan masalahnya sebagai berikut :
1. Apa pengertian tafsir ijmali dan tahlili?
2. Bagaimana ciri-ciri tafsir ijmali dan tahlili?
3. Apa kelebihan dan kekurangan tafsir ijmali dan tahlili?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tafsir Ijmali
1.
Pengertian
Kata
tafsir diambil dari kata fassara – yufassiru – tafsiran yang berarti keterangan
atau uraian. Al-Jurjani berpendapat bahwa kata tafsir menurut pengertian bahasa
adalah al-Kasf wa al-Izhar yang artinya menyingkap (membuka) dan
melahirkan. Pada dasarnya, pengertian tafsir berdasarkan bahasa tidak lepas
dari kandungan makna Al-Idhah (menjelaskan), Al-Bayan (menerangkan), Al-Kasyf
(mengungkapan), Al-Izhar (menampakkan) dan Al-Ibanah (menjelaskan).[2]
Adapun
pengertian tafsir menurut istilah, banyak pendapat ulama dalam
mendefinisikannya, antara lain:
a.
Al Kilby
dalam at Tashil mendefinisikan
tafsir sebagai berikut:
التفسير:
شرح القرآن وبيان معناه والإفضاح بما يقتضيه بنصّه او اشارته او نجواه
“Tafsir adalah mensyarahkan Al-Quran, menerangkan maknanya dan
menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya, atau
dengan tujuannya.”
b.
Al-Zarkasy
dalam Al Burhan mendefinisikan tafsir sebagai berikut :
التفسير
: علم يعرف به كتاب الله ينزل على نبيّه محمد صلى الله عليه وسلّم وبيان معانيه
واستخراج احكامه وحكمه
“Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab Allah (Al-Quran) yang diturunkan kepada nabi-Nya Muhammad Saw
serta menerangkan makna Alquran dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan
hikmah-hikmahnya.”
c.
Shahibut
Taujih mendefinisikan tafsir sebagai berikut:
التفسير فى الحقيقة انما هو شرح اللفظ المستقلق
عند السامع بما هو افصح عنده بما يرادفه او يقاربه اوله دلالة عليه باِحدى طرق
الدلالات
“Tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan lafazh yang sukar
dipahami pendengar dengan mengemukakan lafazh sinonimnya atau makna yang
mendekatinya atau dengan mengemukakan salah satu dilalah lafazh tersebut.[3]
Berdasarkan
pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, tafsir adalah suatu
hasil usaha tanggapan, penalaran dan ijtihad manusia untuk menyingkap
nilai-nilai samawi yang terdapat di dalam Al-Quran.[4]
Secara
lughawi, kata al-ijmali berarti ringkasan, ikhtisar, global dan penjumlahahan.
Dengan demikian tafsir ijmali adalah penafsiran Al-Quran yang dilakukan dengan
cara mengemukakan isi kandungan Al-Quran melalui pembahasan yang bersifat umum
(global), tanpa uraian apalagi pembahasan yang panjang dan luas, juga tidak
dilakukan secara rinci.[5]
Dengan
metode ini, mufasir menjelaskan arti dan maksud ayat dengan uraian singkat yang
dapat menjelaskan sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal selain arti yang dikehendaki.[6] Di
dalam uraiannya, penafsir membahas secara runtut berdasarkan urutan mushaf,
kemudian mengemukakan makna secara gloal yang dimaksud oleh ayat tersebut.[7]
Penafsir
dengan metode ini, dalam penyampaiannya menggunakan bahasa yang ringkas dan sederhana,
serta memberikan idiom yang mirip, bahkan sama dengan bahasa Al-Quran. Sehingga
pembacanya merasakan seolah-olah Al-Quran sendiri yang berbicara dengannya.[8]
Mufasir berbicara kepada pembaca dengan cara termudah, sehingga memudahkan
pembaca untuk mengetahui kandungan Al-Quran.
Penafsir
diharapkan dapat menghidangkan makna-makna dalam bingkai suasana Qur’ani. Ia
tidak perlu menyinggung asbab an-nuzul atau munasabah, apalagi makna-makna kosa
kata dan segi-segi keindahan bahasa Al-Quran. Tetapi langsung menjelaskan
kandungan ayat secara umum atau hukum dan hikmah yang ditarik. Sang mufasir
bagaikan menyodorkan buah segar yang telah dikupas, dibuang bijinya dan telah
diiris-iris pula, sehingga siap untuk disantap.[9]
Pembahasan
tafsir ijmali dapat meliputi beberapa aspek dalam bahasa yang singkat semisal
tafsir al-farid li Al-Quran Al madjid yang hanya mengedepankan arti kata-kata
(al-mufradat), asbab nuzul dan penjelasan singkat (al-ma’na) yang
sistematikanya sering diubah-ubah. Adakalanya mengedepankan mufradat kemudian
asbab nuzul dan al-ma’na, tetapi sering pula mendahulukan al-ma’na dan asbab
nuzul.[10]
Selain
itu ada kitab tafsir yang menggunakan metode global yang mengedepankan makna
sinonim dari kata-kata yang bersangkutan seperti tafsir Al-Jalalayin.[11] Contoh
tafsir Al-Jalalayin pada Q.S. al-Baqarah
ayat 138-139 yang berbunyi:
صِبْغَةَ اللهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ صِبْغَةً وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ (١٣٨)قُلْ أَتُحَاجُّونَنَا
فِي اللهِ وَهُوَ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ وَلَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ
أَعْمَالُكُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُخْلِصُونَ (١٣٩)
Artinya : “Shibghah Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghahnya
dari pada Allah? dan hanya kepada-Nya-lah Kami menyembah. Katakanlah:
"Apakah kamu memperdebatkan dengan Kami tentang Allah, Padahal Dia adalah
Tuhan Kami dan Tuhan kamu; bagi Kami amalan Kami, dan bagi kamu amalan kamu dan
hanya kepada-Nya Kami mengikhlaskan hati,
Kata صبغة الله (celupan Allah)merupakan "mashdar"
yang memperkuat "kami beriman" tadi. Mendapat baris di atas, sebagai
maf'ul muthlak dari fi'il yang tersembunyi yang diperkirakan berbunyi "shabaghanallahu
shibghah" artinya "Allah mencelup kami suatu celupan".
Sedang maksudnya ialah agama-Nya yang telah difitrahkan-Nya atas manusia dengan
pengaruh dan bekasnya yang menonjol, tak ubah bagai celupan terhadap kain.
Kataومن (dan
siapakah) maksudnya tidak seorang pun وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ صِبْغَةً (yang
lebih baik
celupannya dari Allah). Shibghah di sini menjadi "tamyiz"- وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ (dan hanya kepada-Nya kami menyembah).
Kata
orang-orang Yahudi kepada kaum muslimin: "Kami ini Ahli Kitab yang pertama
dan kiblat kami lebih tua, apalagi di kalangan Arab itu tidak pernah muncul
seorang nabi pun. Seandainya Muhammad itu seorang nabi, pastilah ia dari golongan
kami. Maka turunlah ayat setelahnya, yaitu ayat ke 39.
Katakanlah
kepada mereka: اتحاجّزننا (apakah kamu hendak memperbantahkan) dengan
kami فى
الله
(tentang Allah) karena Ia memilih seorang nabi dari kalangan Arab? وهو
ربّنا وربكم (padahal Ia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu) dan berhak
memilih siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya ولنااعمالنا (dan bagi kami amalan kami) sehingga akan
beroleh balasan daripada-Nya ولكم
اعمالكم (dan bagi kamu amalan kamu) dan kamu akan beroleh balasan-Nya
pula, dan tidak mustahil jika di antara amalan-amalan kami itu ada yang patut
menerima ganjaran istimewa ونحن
له مخلصون (dan hanya
kepada-Nya kami mengikhlaskan agama) dan amalan kami; berbeda halnya dengan
kamu, sehingga sepatutnyalah kami yang dipilih-Nya. "Hamzah" atau
"apakah" di atas, maksudnya menolak, sedangkan ketiga kalimat di
belakang berarti "hal".
2.
Sejarah
Tafsir Ijmali
Sejarah
tafsir telah dimulai pada masa Rasulullah Saw, orang pertama yang menguraikan
maksud-maksud Al-Quran dan menjelaskan kepada umatnya wahyu yang diturunkan
Allah kepadanya. Pada masa itu tak seorangpun dari para sahabat yang berani
menafsrkan Al-Quran.[12]
Pada saat sahabat tidak memahami maksud dan kandungan suatu ayat Al-Quran,
mereka menanyakannya kepada Nabi. Hal ini menunjukkan posisi Nabi sebagai
mubayyin, penjelas terhadap segala persoalan umat.[13]
Para
sahabat menerima dan meriwayatkan tafsir dari Nabi Saw secara musyafahat
(dari mulut ke mulut), demikian pula generasi berikutnya, sampai datang masa
tadwin (pembukuan ilmu-ilmu Islam), termasuk ilmu tafsir sekitar abad ke 3 H.[14]
Sahabat
dan tabi’in sebagaimana yang digolongkan oleh M. Quraish Shihab sebagai tafsir
bil ma’tsur, boleh dikatakan sebagai
dasar-dasar bagi tafsir Al-Quran yang
menerapkan metode Ijmali. Tafsir bil ma’tsur adalah jenis tafsir
Al-Quran dengan Al-Quran, penafsiran Al-Quran dengan As-Sunnah atau penafsiran
Al-Quran menurut Atsar yang timbul dari kalangan sahabat.
Contoh
penafsiran Al-Quran pada masa Rasul dan sahabat, kata zhulmin pada surah
Al-An’am ayat 82 :
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ
بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ (٨٢)
Artinya : “Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat
keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka
Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk.
Kata
zhulmin pada ayat tersebut ditafsirkan Rasul dengan syirik yang terdapat pada
sural Luqman ayat 13:[15]
وَإِذْ
قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Artinya : “Dan
(ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
3.
Ciri-ciri
Tafsir Ijmali
a.
Urutannya
sesuai dengan urutan mushaf.
b.
Mufassir
langsung menafsirkan ayat al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan
dan penetapan judul.
c.
Setiap
surat dibagi menjadi kelompok-kelompok ayat, lalu ditafsirkan secara ringkas
dan global.
d.
Sebagian
lafal dari ayat menjadi pengait antara nash ayat dengan tafsirnya.
e.
Lafal
dan bahasanya tidak jauh dari nash Al-Quran.
f.
Mufasir
tidak banyak mengemukakan pendapat dan idenya.
4.
Kitab
Tafsir Metode Ijmali
Di
antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ijmali yaitu:
a.
Tafsir
al-Jalalayin, karya Jalal ad-Din as-Suyuthy dan Jalal ad-Din al-Mahally.
b.
Tafsir
Al-Quran al-‘Adhim, karya ustadz Muhammad Farid Wajdy.
c.
Shafwah
al-Bayan li Ma’any Al-Quran, Karya Syaikh Husanain Muhammad Makhlut.
d.
Tafsir
Al-Quran, Karya Ibn Abbas yang dihimpun oleh Al-Fayruz Abady.
e.
Tafsir
al-Wasith, produk Lembaga Pengkajian Universitas Al-Azhar, Mesir, karya suatu
Commite Ulama.
f.
Tafsir
al-Muyassar, karya Syaikh Abd al-Jalil Isa.
g.
Tafsir
al-Mukhtasar, produk Majlis Tinggi Urusan Umat Islam, karya suatu Commite
Ulama.[16]
5.
Kelebihan
dan Kekurangan Tafsir Ijmali
Di
antara kelebihan metode tafsir ijmali:
a.
Pesan-pesan
dari Al-Quran mudah dipahami.[17]
b.
Bebas
dari penafsiran isra’iliyat.
c.
Akrab
dengan bahasa Al-Qur’an (mengedepankan makna sinonim).
Di
antara kekurangan metode tafsir ijmali adalah penafsirannya dangkal, berwawasan
sempit, tidak komprehensif.[18]
B. Tafsir Tahlili
1.
Pengertian
Tafsir Tahlili
Secara
harfiah, tahlili berarti menjadi lepas atau terurai. Yang dimaksud dengan
tafsir tahlili adalah metode penafsiran ayat-ayat Al-Quran yang dilakukan
dengan cara mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung dalam ayat-ayat
Al-Quran dengan mengikuti tertib susunan/ urut-urutan surat-surat dan ayat-ayat
Al-Quran itu sendiri denagn sedikit banyak melaukan analisis di dalamnya.[19]
Tasir
tahlili adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan
ayat-ayat Al-Quran dari seluruh aspeknya. Dalam metode tafsir tahlili, penafsir
mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun dalam Mushaf Utsmani.
Penafsir mulai menganalisis ayat dengan mengemukakan arti kosa kata diikuti
dengan penjelasan mengenai arti global ayat.[20]
Metode
tafsir tahlili menjelaskan kandungan ayat Al-Quran dari berbagai seginya,
sesuai dengan pandangan, kecenderungan dan keinginan mufasirnya yang dihidangkannya
secara runtut sesuai dengan perurutan ayat-ayat dalam mushaf. Biasanya yang
dihidangkan itu mencakup pengertian umum kosa kata ayat, munasab ayat, asbab
nuzul (kalau ada), makna global ayat, hukum yang dapat ditarik, yang tidak
jarang menghidangkan aneka pendapat ulama mazhab. Ada juga yang menambah aneka
uraian tentang qiraat, I’rab ayat ayat yang ditafsirkan, serta keistemewaan
susunan kata-katanya.[21]
Dalam
pembahasannya, penafsir biasanya merujuk riwayat-riwayat terdahulu baik yang
diterima dari Nabi, sahabat maupun ungkapan-ungkapan pra Islam dan kisah
israiliyat. Oleh karena pembahasan yang terlalu luas itu maka tidak tertutup
kemungkinan penafsirannya diwarnai subjektivitas penafsir, baik latar belakang
keilmuan maupun aliran mazhab yang diyakininya. Sehingga menyebabkan adanya
kecenderungan khusus yang teraplikasikan dalam karya mereka.[22]
Metode
tahlili atau yang dinamai oleh Baqir al-Shadr sebagai metode tajzi’iy
menguraikan segala segi yang dianggap perlu oleh seorang mufasir, bermula dari
arti kosa kata, asbab nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan
teks atau kandungan ayat. Metode ini walaupun dinilai sangat luas, namun tidak
menyelesaikan satu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan
diuraikan sisinya atau kelanjutannya pada ayat yang lain.[23]
Uraiannya melebar sehingga terhidang aneka hidangan yang bisa jadi sebagian di
antaranya tidak diperlukan oleh pembacanya.[24]
2.
Wujud
Tafsir Tahlili
Metode
tahlili kebanyakan dipergunakan para ulama masa-masa klasik dan pertengahan. Di
antara mereka, sebagian pola pembahasan secara panjang lebar (ithnab), sebagian
mengikuti pola singkat (ijaz) dan sebagian mengikuti pola secukupnya (musawah).
Mereka sama-sama menafsirkan dengan metode tahlili, namun dengan corak yang
berbeda-beda.
Para
ulama membagi wujud tafsir tahlili kepada tujuh macam, yaitu: tafsir bil
ma’sur, tafsir bil ra’yu, tafsir sufi, tafsir fiqhi, tafsir ilmi, tafsir
falsafi dan tafsir adabi.
a.
Tafsir
bil ma’sur
Tafsir
bil ma’sur adalah penafsiran ayat dengan ayat, penafsiran ayat dengan hadis
yang menjelaskan makna sebagian ayat yang dirasa sulit dipahami para sahabat
atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat atau penafsiran ayat
dengan hasil ijtihad para tabi’in.
Di
antara kitab tafsir bil ma’sur adalah kitab jami’al bayan fi tafsir Al-Quran
karya Ibnu Jarir Ath-Thabary dan tafsirul Quranul Karim karya Ibnu Katsir.[25]
Contoh tafsir bil ma’sur Ibnu Katsir QS. Ibrahim ayat 1, 2 dan 3:
الر
كتب أنزلنه إليك لتخرج الناس من الظلمت إلى النور بإذن ربّهم إلى صرط العزيز
الحميد ﴿1﴾ الله الذى له مافى السموت وما فى الأرض وويل للكفرين من عذاب شديد ﴿2﴾
الذين يستحبّون الحيوة الدنيا على الأخرة ويصدّون عن سبيل الله ويبغونها عوجا
أولئك فى ضلل بعيد ﴿3﴾
Artinya : Alif lam ra. Kitab
yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan
kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka kepada jalan dari Yang
Mahaperkasa lagi Maha Terpuji. (1) Allah yang memiliki apa yang ada di langit
dan apa yang ada di bumi. Dan kecelakaanlah bagi kaum kafir karena azab yang
sangat keras.(2) Orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia daripada
kehidupan akhirat, menghalang-halangi dari jalan Allah dan menginginkannya
bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh. Pembicaraan mengenai
huruf yang terputus-putus telah dikemukakan pada beberapa awal surat.
"Kitab yang Kami turunkan kepadamu" yakni kitab ini Kami
menurunkannya kepadamu, hai Muhammad, Kitab itu ialah al-Quran yang agung. Ia
merupakan kitab yang paling mulia di antara kitab yang diturunkan Allah dari
langit; diturunkan kepada Rasul yang paling mulia. Dia diutus Allah di muka
bumi ke seluruh penghuninya baik bangsa Arab maupun asing. "supaya kamu
mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya", yakni dari gelapnya
kesesatan dan penyimpangan kepada petunjuk dan kelurusan. Hal ini sebagaimana
Allah berfirman, "Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman. Dia
mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Pelindung-pelindung kaum
kafir adalah thagut yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan."
Firman
Allah Ta'ala, "Dengan izin Tuhan mereka."yakni, Dialah Yang
menunjukkan orang yang telah ditetapkan baginya hidayah melalui RasulNya yang
diutus atas perintahNya. Dia menunjukkan mereka "kepada jalan dari Yang
Mahaperkasa lagi Maha Terpuji." Yang Mahaperkasa artinya Zat yang tidak
dapat dibantah dan dikalahkan. Dia Mahaperkasa dalam segala perkara selain-Nya.
Yang Maha Terpuji artinya dalam seluruh perbuatan, perkataan, syariat,
perintah, dan larangan-Nya, Yang Mahabenar berita-Nya. Firman Allah Ta'ala,"Allah
yang memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan
kecelakaanlah bagi kaum kafir karena azab yang sangat keras". Yakni,
kecelakaanlah bagi mereka pada hari kiamat lantaran mereka menyalahimu, hai
Muhammad, dan mendustakanmu. Kemudian Allah menyifati mereka bahwa mereka lebih
menyukai kehidupan dunia atas akhirat. Yakni, mereka mendahulukan dan
memprioritaskan kehidupan dunia atas akhirat, "mereka
menghalang-halangi" para pengikut Rasul "dari jalan Allah dan menginginkannya
bengkok." Yakni, mereka menyukai keberadaan jalan Allah itu bengkok dan
condong. Sesungguhnya jalan itu lurus dengan sendirinya. Jalan itu tidak
ternoda oleh orang yang menyalahi dan menyia-nyiakannya. Keinginan mereka yang
demikian itu menunjukkan bahwa mereka berada dalam kebodohan dan kesesatan yang
jauh dari kebenaran. Tiada harapan akan ada kebaikan dari mereka.
b.
Tafsir
bil Ra’yi
Tafsir
bil ra’yi adalah penafsiran Al-Quran dengan ijtihad dan penalaran. Tafsir bil
ra’yi muncul sebagai sebuah metodologi pada periode akhir pertumbuhan tafsir
al-ma’sur, meskipun telah terdapat upaya sebagian kaum muslimin yang
menunjukkan bahwa mereka telah melakukan penafsiran dengan ijtihad, khususnya
zaman sahabat sebagai tonggak munculnya ijtihad dan istinbath dan periode tabi’in.
Tafsir
bil ra’yi tidak semata-mata didasari pada penalaran akal dengan mengabaikan
sumber-sumber riwayat secara mutlak. Dalam konteks ini, penafsiran dengan
metode ra’yi bersifat lebih selektif terhadap riwayat, sehingga secara
kuantitas porsi riwayat di dalam tafsirnya jauh lebih kecil disbanding dengan
kadar ijtihad. Begitu pula halnya dengan tafsir metode riwayat, tidak sama
sekali terlepas dari penggunaan rasio meskipun jumlahnya sangat kecil.[26]
Ketika
kaum muslimin memasuki era kebudayaan dan peradaban, ilmu agama dan pengetahuan
berkembang mencapai puncak kejayaannya, alat-alat percetakan telah ditemukan
dan produksi kertas telah dilakukan, hal itu memungkinkan dilakukan penerbitan
karya-karya ilmiah dan memperbanyak kitab-kitab tafsir yang wujud dan metodenya
berbeda-beda, banyak timbul golongan-golongan dalam Islam, ada di antara ulama
yang fanatic terhadap mazhab yang diikuti kemudian berusaha menafsirkan
Al-Quran sesuai dengan mazhabnya serta melegitimasi mazhabnya dengan ayat-ayat
Al-Quran, dan lahir kitab-kitab tafsir yang mempunyai karakteristik tertentu
sesuai dengan bidang ilmu pengarangnya, maka lahirlah bermacam-macam corak
tafsir.
Para
ulama menegaskan bahwa tafsir bil ra’yi ada yang diterima dan ada yang ditolak.
Tafsir bil ra’yi dapat diterima apabila mufasirnya mengetahui ungkapan-ungkapan
arab, lafaz-lafaz arab dan cara penunjukkannya (dilalah) atas maknya yang
dikehendaki, sebab turun ayat, nasikh dan mansukh, benar aqidahnya dan
menjadikan sunnah Rasulullah Saw sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah
Al-Quran. Selain itu ia harus berpegang kepada apa yang diriwayatkan oleh Rasul
dan para sahabat serta menguasai ilmu-ilmu yang dibutuhkan sebagai mufasir,
yaitu ilmu bahasa arab, nahwu, sharaf, ma’any, bayan, qiraah, ushul ad-din, ushul
fiqh, ulum al-hadis serta ilmu al-mawhibah yaitu ilmu yang Allah karuniakan
kepada hamba-hambanya yang ‘alim yang mengamalkan apa yang diketahuinya.[27]
Selain
dari aspek intelektual di atas, para ulama juga membuat kualifikasi dari aspek
moral. Penafsir yang menggunakan metode ra’yi juga harus dituntut memiliki
aspek mental dan moral terpuji, jujur, ikhlas, loyal dan bertanggung jawab
serta terhindar dari pengaruh hawa nafsu duniawi dan kecenderungan terhadap
aliran mazhab tertentu.
Di
antara kitab-kitab tafsir yang mengikuti metode ini adalah Mafatih al-Ghaib
karya Fakhruddin al-Razi, Anwar al-Tanzil karya al-Baidhawi.[28] Salah
satu contoh penafsiran bil ra’yi adalah penafsiran yang dikemukakan oleh Imam
al Mahalli dan Imam as Sayuthi dalam kitab tafsir kolaborasi mereka “ tafsir
jalalain “, mengenai surat al-isra’ ayat 85:
ويسأ
لو نك عن ا لروح قل ا لروح من امر ربى وما
اوتيتم من العلم الا قليلا
Imam
Mahalli menafsirkan kata “ ruh “ bahwa sesungguhnya ruh itu adalah jasad atau
jisim halus (jism al-lathif), yang dengan masuknya ia ke dalam diri manusia,
maka manusia bisa hidup. Kemudian Imam Suyuthi memberikan penafsiran bahwa
perkara ruh itu termasuk ilmu Allah Ta’ala. Sebab itu menahan diri dari
memberikan defenisinya adalah lebih baik.
Karena
tafsir ini termasuk tafsir bi al-ra’yi yang ringkas maka kedua mufassir
tersebut memberikan penjelasan yang singkat dengan pendapatnya dan menafsirkan
ayat tersebut dengan mempertimbangkan maksud ayat dan syari’at.
c.
Tafsir
Sufi
Tafsir
sufi identik dengan tafsir al-isyari, yaitu suatu metode penafsiran Al-Quran
yang lebih menitikberatkan kajiannya pada makna batin. Penafsir yang mengikuti
kecenderungan ini biasanya berasal dari kaum sufi yang lebih mementingkan
persoalan-persoalan batin dibandingkan masalah zahir dan batin.[29]
Terdapat
dua wujud tafsir sufi, yaitu teoritis dan praktis:
1.
Tasawwuf
Teoritis
Imam
Al-Alusy dalam kitab tafsirnya mengemukakan: apa yang dikemukakan oleh
tokoh-tokoh shufi tentang Al-Quran adalah termasuk ke dalam bab isyarat
terhadap pengertian-pengertian rumit yang berhasil diungkapkan oleh orang-orang
yang menguasai cara yang harus ditempuh untuk sampai kepada Allah dan
pengertian-pengertian itu dapat dipadukan dengan pengertian-pengertian tekstual
yang dikehendaki. Hal ini termasuk kesempurnaan iman dan pengetahuan yang
sejati.[30]
Al-Alusi
berkata tentang isyarat yang diberikan oleh firman Allah QS. 2: 45), sebagai
berikut:
وَاسْتَعِينُوا
بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلا عَلَى الْخَاشِعِينَ (٤٥)
Artinya : “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi
orang-orang yang khusyu'. (q.s. Al
Baqarah : 45)
Jadikanlah
sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh
berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’ bahwa shalat adalah sarana untuk
memusatkan dan mengkonsentrasikan hati untuk menangkap tajalli (penampakan
diri) Allah dan hal ini sangat berat, kecuali orang yang luluh dan lunak
hatinya untuk menerima cahaya tajalli Allah. Merekalah orang yang yakin, bahwa
mereka benar-benar berada di hadapan Allah,dan hanya kepada-Nyalah mereka
kembali, dengan menghancurkan sifat-sifat kemanusiaan mereka dan meleburkannya
ke dalam sifat-sifat Allah (baqa).[31]
Tidak
pernah karya yang lahir dari aliran ini. Hanya karya-karya penafsiran ayat-ayat
Al-Quran secara acak yang dinisbatkan kepada Ibnu Arabi yang bernama kitab
al-Futuhat al Makkiyah dan al-Fushush.[32]
2.
Tasawwuf
Praktis
Tasawuf
praktis adalah cara hidup yang berdasarkan atas hidup sederhana, zuhud, menjaga
diri dari segala kenikmatan, memutuskan jiwa dari segala macam syahwat dan
menghancurkan diri dalam taat kepada Allah.[33]
3.
Di
antara kitab tafsi tasawuf praktis ini adalah tafsir Al-Quranul karim oleh
Tutsuri dan Haqaiq al-tafsir oleh as-Sulami.[34]
d.
Tafsir
Fiqhi
Penafsiran
Al-Quran yang dilakukan oleh tokoh suatu mazhab untuk dapat dijadikan sbagai
dalil atas kebenaran mazhabnya. Tafsir fiqhi banyak ditemukan oleh kitab-kitab fiqhi
karangan imam-imam dari berbagai mazhab yang berbeda. Salah satu kitab tafsir
fiqhi adalah kitab ahkam Al-Quran karangan al-Jasshash. Dalam tafsir
al-Jasshash nampak menganut paham mu’tazilah, misalnya ia mengatakan mengenai
firman Allah, ia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata (QS. Al-An’am:103).
Makna ayat ini adalah ia tidak dapat dilihat oleh penglihatan mata. Ini
merupakan pujian dengan peniadaan penglihatan mata seperti firman-Nya: … tidak
mengantuk dan tiak tidur… (QS. Al-Baqarah: 255). Apa yang ditiadakan Allah
untuk memuji diri-Nya maka penetapan kebalikannya adalah celaan dan penghinaan,
karena itu tidak diperkenankan menetapkan kebalikan tersebut, oleh karena itu
memuji-Nya dengan peniadaan dari-Nya penglihatan mata, maka menetapkan kebalikannya
tidak diperkenankan karena hal demikian berarti menetapkan sifat aib dan kurang
bagi Allah.
e.
Tafsir
Ilmi
Aliran
tafsir ini mencoba menafsirkan ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam Al-Quran
dengan mengaitkannya dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern yang timbul pada masa
sekarang ini. Di antara kitab tafsir ilmi adalah al-Islam yatahadda karangan
Allamah Wahid al-Din Khan.
Contoh
tafsir ilmi dalam penafsiran M. Abduh terhadap QS. Al-Fil ayat 3-4 yang
menafsirkan kata thayran ababil (burung ababil) diartikan dengan mikroba dan
kata al-hijarah (batu) diartikan dengan kuman penyakit. Contoh yang lain
penafsiran dari Abdul al-Ruzq Nawfal pada QS. Al-A’raf ayat 189:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا قُلْ
إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي لا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلا هُوَ ثَقُلَتْ فِي
السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ لا تَأْتِيكُمْ إِلا بَغْتَةً يَسْأَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ
عَنْهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
(١٨٧)
Abdul
al-Ruzq Nawfal menafsirkan kata (diri
yang satu) dengan proton dan السَّمَاوَاتِ dengan
pasangannya elektron dan masing-masing
keduanya membentuk unsur atom.
f. Tafsir Falsafi
Aliran
ini menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan menggunakan teori filsafat.
Penafsiran ini berupaya mencari titik temu antara filsafat dan agama serta berusaha menyingkirkan segala pertentangan di
antara keduanya.[35]
Pada
masa khalifah Abbasiyah, buku-buku asing diterjemahkan ke dalam bahasa arab, di
antaranya buku karangan para filosof seperti Aristoteles dan Plato. Menyikapi
hal ini, ulama terbagi menjadi 2 golongan:
Golongan
pertama, menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan para filosof.
Mereka tidak mau menerimanya, mereka memahami ada di antaranya yang
bertentangan dengan aqidah dan agama. Mereka menyerang faham-faham yang ada di
dalamnya, membatalkan argument-argumennya, mengharamkannya untuk dibaca dan
menjauhkannya dari kaum muslimin. Di antara yang menyerang filosof dan filsafat
adalah hujjah al-Islam imam Abu Hamid Al-Ghazaly. Karena itu ia mengarang kitab
Al-Isyarat dan kitab-kitab lain untuk menolak paham mereka, Ibnu Sina, Ibnu
Rusy, demikian pula imam al-Fakhr Al-Razy di dalam kitab tafsirnya mengemukakan
paham mereka dan kemudian membatalkan teori-teori filsafat mereka, karena
dinilai bertentangan dengan agama dan Al-Quran.
Golongan
kedua, sebagian ulama justru mengagumi filsafat. Mereka menekuni dan dapat
menerima sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma (dasar Islam),
berusaha memadukan antara filsafat dengan agama serta menghilangkan
pertentangan yang terjadi di antara keduanya. Golongan ini hendak menafsirkan
ayat-ayat Al-Quran berdasarkan teori-teori filsafat, akan tetapi mereka gagal,
karena nash Al-Quran tidak mengandung teori-teori mereka.
Dr.
Muhammad Husain Al-Dzahabi menanggapi sikap golongan ini, beliau berkata: kami
tidak pernah mendengar ada seorang filosof yang mengarang satu kitab tafsir
Al-Quran yang lengkap. Yang kami temukan dari mereka tidak lebih hanya sebagian
pemahaman-pemahaman mereka terhadap Al-Quran yang dikemukakan dalam buku-buku
filsafat karangan mereka.[36]
g.
Tafsir
Al-Adab Al-Ijtima’i
Penafsiran
dengan corak ini cenderung kepada persoalan sosial kemanusiaan dan mengutamakan
keindahan gaya bahasa. Tafsir jenis ini lebih banyak mengungkapkan hal-hal yang
ada kaitannya dengan perkembangan kebudayaan yang sedang berlangsung.[37]
Dr.
Muhammad Husain Al-Dzahabi dalam kitabnya alTafsir wa al-Mufassirun menerangkan
sifat kitab-kitab tafsir yang lahir dengan corak adaby dan menekankan segi
kemasyarakatan sebagai berikut:
Kelompok
ulama yang menafsirkan Al-Quran dengan corak ini mampu mengungkapkan segi balaghah Al-Quran dan
kemu’jizatannya, menjelaskan makna-makna dan sasaran yang dituju oleh Al-Quran,
mengungkapkan hokum-hukum dan tatanan kemasyarakatan yang dikandungnya, mampu
memecahkan problematika umat dengan mengedepankan petunjuk Al-Quran, memadukan
Al-Quran dengan teori ilmiah yang benar, menegasjan bahwa Al-Quran mampu
mengikuti perkembangan waktu dan manusia. Di antara kitab-kitab tafsir yang
ditulis dengan corak ini yaitu tafsir al-Manar karya Syaikh Muhammad Abduh dan
Syaikh Rasyid Ridha, Tafsir Al-Quran karya syaikh Al-Maraghy, Tafsir Alquranul
Karim karya Syaikh Mahmud Syaltut, tafsir al-Wadlih karya Syaikh Muhammad
Mahmud Hijazy.[38]
Contoh
tafsir Al-Maraghy pada QS. Al-Bayyinah: 1:
لم يكن
الّذين كفروا من أهل الكتب والمشركين منفكين حتّى تأتيهم البيّنة
Penjelasan:
Orang-orang
yang mengingkari risalah Muhammad saw dan meragukan kenabiannya, yakni kaum
musyrikin dan Nasrani, selamanya tidak akan mau meninggalkan pegangan mereka
karena kekafiran yang sudah keterlaluan. Mereka telah meninggalkan kebenaran
dan lebih menyukai pegangan yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Sekalipun
pada kenyataannya nenek moyang itu tidak mengerti sama sekali permasalahan
agama. Rasulullah hadir di tengah-tengah mereka dengan membawa ajaran yang
menggoncangkan terhadap ajaran yang sudah berakar di dalam keyakinan mereka,
disamping sudah menjadi kebiasaan yang membudaya. Karenanya, mereka berupaya
terus mencari alasan karena didorong oleh sikap ingkar mereka. Mereka
mengemukakan hujjah yang mengatakan bahwa apa yang didatangkan Muhammad adalah
sama dengan yang ada di tangan mereka dan bukan merupakan kebaikan jika apa
yang didatangkan itu diikuti. Menurut mereka, dengan berpegang pada apa yang
ada pada mereka dan berjalan sesuai dengan tata aturan nenek moyang mereka
adalah lebih baik dan patut, bahkan lebih disukai oleh perasaan mereka karena
dianggap akan membawa keselamatan.
3.
Kitab
Tafsir Tahlili
Di
antara contoh kitab tafsir yang menggunakan metrode tahlili ialah:
a.
Jami’
al-Bayan an takwil Ayi Al-Quran, karangan Ibnu Jarir ath-Thabari.
b.
Tafsir
Al-Quran al-Azhim, karya al-Hafizh imam al-Din Abi al-Fida Ismail bin Katsir
al-Quraisy al-Dimasyqi.
c.
Tafsir
al-Samarqandi, karya Nashr bin Muhammad bin Ahmad Abu al-Laits al-Samarqandi.
d.
Al-asyif
wa al-Bayan an tafsir Al-Quran, karya Abi Ishaq.[39]
4.
Kelebihan
dan Kekurangan
Di
antara kelebihan tafsir tahlili adalah:
a.
Pembahasannya
luas.
b.
Corak
tafsir yang bervariasi.
Di
antara kekurangan tafsir tahlili adalah:
a.
Penafsiran
tidak tuntas disebabkan pembahasan yang melebar.[40]
b.
Bertele-tele.[41]
c.
Terdapat
hal-hal yang dirasa tidak perlu dibaca oleh pembaca.[42]
d.
Peluang
masuknya cerita ista’illiyat lebih besar
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Pengertian
tafsir ijmali adalah penafsiran Al-Quran yang dilakukan dengan cara
mengemukakan isi kandungan Al-Quran melalui pembahasan yang bersifat umum
(global), tanpa uraian apalagi pembahasan yang panjang dan luas, juga tidak
dilakukan secara rinci.
2.
Sedangkan
pengertian tafsir tahlili adalah metode penafsiran ayat-ayat Al-Quran yang
dilakukan dengan cara mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung dalam
ayat-ayat Al-Quran dengan mengikuti tertib susunan/ urut-urutan surat-surat dan
ayat-ayat Al-Quran itu sendiri denagn sedikit banyak melaukan analisis di
dalamnya
3.
Ciri-ciri
tafsir ijmali adalah sebagai berikut
a.
Urutannya
sesuai dengan urutan mushaf.
b.
Mufassir
langsung menafsirkan ayat al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan
dan penetapan judul.
c.
Setiap
surat dibagi menjadi kelompok-kelompok ayat, lalu ditafsirkan secara ringkas
dan global.
d.
Sebagian
lafal dari ayat menjadi pengait antara nash ayat dengan tafsirnya.
e.
Lafal
dan bahasanya tidak jauh dari nash Al-Quran.
f.
Mufasir
tidak banyak mengemukakan pendapat dan idenya.
4.
Kitab
Tafsir Metode Ijmali
Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ijmali yaitu:
a.
Tafsir
al-Jalalayin, karya Jalal ad-Din as-Suyuthy dan Jalal ad-Din al-Mahally.
b.
Tafsir
Al-Quran al-‘Adhim, karya ustadz Muhammad Farid Wajdy.
c.
Shafwah
al-Bayan li Ma’any Al-Quran, Karya Syaikh Husanain Muhammad Makhlut.
d.
Tafsir
Al-Quran, Karya Ibn Abbas yang dihimpun oleh Al-Fayruz Abady.
e.
Tafsir
al-Wasith, produk Lembaga Pengkajian Universitas Al-Azhar, Mesir, karya suatu
Commite Ulama.
f.
Tafsir
al-Muyassar, karya Syaikh Abd al-Jalil Isa.
g.
Tafsir
al-Mukhtasar, produk Majlis Tinggi Urusan Umat Islam, karya suatu Commite
Ulama.
5.
Kelebihan
dan Kekurangan Tafsir Ijmali
a. Kelebihan
1)
Pesan-pesan
dari Al-Quran mudah dipahami.
2)
Bebas
dari penafsiran isra’iliyat.
3)
Akrab
dengan bahasa Al-Qur’an (mengedepankan makna sinonim).
b.
Kekurangan
1)
penafsirannya
dangkal
2)
berwawasan
sempit
3)
tidak
komprehensif
6.
Wujud
tafsir tahlili dibagi menjadi 7 macam, yaitu tafsir bil ma’sur, tafsir bil
ra’yu, tafsir sufi, tafsir fiqhi, tafsir ilmi, tafsir falsafi dan tafsir adabi.
7.
Kitab
Tafsir Tahlili
Di antara contoh kitab tafsir yang menggunakan metrode tahlili
ialah:
a.
Jami’
al-Bayan an takwil Ayi Al-Quran, karangan Ibnu Jarir ath-Thabari.
b.
Tafsir
Al-Quran al-Azhim, karya al-Hafizh imam al-Din Abi al-Fida Ismail bin Katsir
al-Quraisy al-Dimasyqi.
c.
Tafsir
al-Samarqandi, karya Nashr bin Muhammad bin Ahmad Abu al-Laits al-Samarqandi.
d.
Al-asyif
wa al-Bayan an tafsir Al-Quran, karya Abi Ishaq.
8.
Kelebihan
dan Kekurangan
a.
Kelebihan
1)
Pembahasannya
luas.
2)
Corak
tafsir yang bervariasi.
b.
Kekurangan
1)
Penafsiran
tidak tuntas disebabkan pembahasan yang melebar.
2)
Bertele-tele.
3)
Terdapat
hal-hal yang dirasa tidak perlu dibaca oleh pembaca.
4)
Peluang
masuknya cerita ista’illiyat lebih besar
B.
Penutup
Demikian makalah ini kami susun. Semoga para pembaca dapat memahami
metode penafsiran al Qur’an Tafsir Ijmali dan Tahlili dengan baik. Permohonan maaf penulis
atas segala kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna
memperbaiki penyusunan makalah selanjutnya.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis maupun pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Aridi,
Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1994).
Anwar,
Rosihan, Ulum Al-Quran, (Bandung:Pustaka Setia, 2003).
Ash
Shiddieqy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang
Indonesia, 1992).
Baidan,
Nashruddin, Metode Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
Nawawi,
Rif’at Syauqi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, (Jakarta: Paramadina, 2002).
Rohimin,
Metodologi Ilmu Tafsir & Aplikasi Model Penafsiran, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007).
Salim,
Abd. Muin, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: TERAS, 2010).
Shihab,
M. Quraish, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013).
Suma,
M. Amin, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, (Jakarta: Pustaka Frdaus, 2001).
____________,
Ulumul Quran, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013).
[2] Rosihan Anwar, Ulum Al-Quran,
(Bandung:Pustaka Setia, 2003), Cet. Ke-5, h. 209
[3] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar
Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang Indonesia, 1992), h. 152
[4] Rosihon Anwar, Op.Cit, h. 211
[5] M. Amin Suma, Ulumul Quran, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2013), Cet. Ke-1, h. 381
[6] Ali Hasan Al-Aridi, Sejarah dan Metodologi
Tafsir, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), Cet, Ke-2, h. 73
[8] Ibid, h. 45
[9] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang:
Lentera Hati, 2013), Cet. Ke-2, h. 381
[10] M. Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran,
(Jakarta: Pustaka Frdaus, 2001), Cet. Ke-1, h. 113
[12] Rif’at Syauqi
Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, (Jakarta: Paramadina, 2002), Cet.
Ke-1
[13] M. Amin Suma,
Metodologi Ilmu Tafsir, Op.Cit, h. 40
[14] Nashruddin
Baidan, Metode Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet.
Ke-1, h. 41
[15] Nashruddin Baidan, Op.Cit, h. 41
[16] Ali Hasan Al-‘Aridi, Op.Cit, h. 74
[17] M. Amin Suma, Ululul Qur’an, Op.Cit,
h. 383
[18] M. Amin Suma, Ulumul Qur’an, Op.Cit,
h. 383
[19] M. Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, Op.Cit,
h. 110
[20] Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir &
Aplikasi Model Penafsiran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Cetakan
pertama, h. 67
[21] M. Quraish Shihab, Op.Cit, h. 378
[22] Abd. Muin Salim, Op.Cit, h. 42
[23] Rohimin, Op.Cit, h. 68
[24] M. Quraish Shihab, Op.Cit, h. 381
[25] Rohimin, Op.Cit, h. 70
[26] Abd. Muin Salim, Op.Cit, h. 43
[27] Ali Hasan Al-Aridi, Op.Cit, h. 49
[28] Abd. Muin Salim, Op.Cit, h. 44
[29] Abd. Muin Salim, Op.Cit, h. 44
[30] Ali Hasan Al-Aridi, Op.Cit, h. 55
[31] Ibid, h. 56-57
[32] Rohimin, Op.Cit, h. 72
[33] Ali Hasan Al-Aridi, Op.Cit, h. 57
[34] Rohimi, Op.Cit, h. 72
[35] Ibid, h. 72-73
[36] Ali Hasan Al-Aridi, Op.Cit, h. 61-62
[37] Abd. Muin Salim, Op.Cit, h. 45
[38] Ali Hasan Al-Aridi, Op.Cit, h. 71-72
[39] M. Amin Suma, Ulumul Quran, Op.Cit, h. 380
[40] M. Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, h. 112
[41] M. Quraish Shihab, Op.Cit, H. 379
[42] Ibid, h. 381
Tidak ada komentar:
Write comments