Minggu, 14 Februari 2016

SEJARAH PEMIKIRAN MAZHAB FRANKFURT


Generasi pertama dari Mazhab Frankfurt selain Horkheimer, Marcuse dan Adorno juga adalah Walter Benjamin, Erich Fromm, Leo Lowental, Franz Neumann, Otto Kirchheimer dan Frederick Pollock. Dengan demikian, sebagai program multidisiplin dari filsafat hingga sejarah dan ilmu sosial pemikiran Teori Kritis mendapat banyak pengaruh dari Immanuel Kant dan Neo-kantianisme, Georg Wilhelm Friedrich Hegel dan idealisme Jerman, Marx Weber serta Sigmund Freud. Hanya saja Teori Kritis lebih dipahami sebagai pembaruan gagasan Marxisme yang terinspirasi dari tulisan-tulisan Georg Lukács dan Karl Korsch.
 
Pengertian Tentang Teori Kritis dan Sejarah Pemikiran Mazhab Frankfurt
          Istilah Teori Kritis sudah lama diterapkan dalam rentang yang sangat luas terhadap beberapa teori dan disiplin ilmu yang berbeda. Dalam arti sempit, Teori Kritis merujuk kepada pandangan yang diusung oleh Mazhab Frankfurt terutama tulisan-tulisan awal yang dibuat oleh Max Horkheimer, Theodor W Adorno dan Herbert Marcuse. Teori Kritis sendiri didefinisikan sebagai jenis teori sosial yang berasal dari para pemikir Marxis Barat di Institut Riset Sosial, Universitas Frankfurt. Itulah sebabnya gagasan Teori Kritis juga disebut sebagai gagasan Mazhab Frankfurt. Marxisme yang diperbaharui ini berangkat dari perubahan realitas sejarah dalam kapitalisme modern dan integrasi wilayah keilmuan yang sudah sepenuhnya ditinggalkan oleh Marxisme tradisional seperti filsafat dan teori politik, studi budaya dan psikologi sosial. Menjelang Perang Dunia II berlangsung seraya dengan kebangkitan Sosialisme Nasional di Jerman, tahun 1933 Institut pindah ke Jenewa dan kemudian tahun 1934 pindah Amerika Serikat hingga akhirnya kembali ke Jerman pada tahun 1950.
          Gagasan awal Teori Kritis dililhami oleh tulisan Karl Marx yakni Theses on Feuerbach. Dalam tulisan tersebut Marx menyatakan bahwa para “filsuf memberi banyak interpretasi yang berbeda terhadap dunia, namun yang terpenting adalah bagaimana mengubah dunia”. Dalam hal ini Teori Kritis menolak upaya positivisme logis untuk menemukan atau menerapkan hukum universal ke dalam ilmu sosial. Positivisme logis menyatakan bahwa ilmu pengetahuan atau sains modern telah direduksi secara total menjadi sistem administrasi yang semata-mata bersifat rasional dan teknologi murni.
          Berbeda dengan Marx, untuk menghadapi hal tersebut Teori Kritis lebih berfokus kepada suprastruktur dibandingkan basis ekonomi dari masyarakat. Selain itu Teori Kritis juga menekankan pandangan terhadap nilai-nilai moral, politik dan agama. Di sini dipahami bahwa Teori Kritis memiliki klaim bahwa pengetahuan bersifat relatif terhadap kepentingan manusia dan oleh sebab itu diperkenalkan suatu rentang yang luas dari kritisisme budaya ke dalam teori sosial Marxis. Teori Kritis bermaksud menelanjangi pemahaman yang keliru dan melekat tentang persepsi akal budi ideal pada kondisi sosial politik masyarakat kapitalis. Dengan demikian Teori Kritis berupaya untuk mengidentifikasi kemungkinan perubahan sosial, sekaligus mempromosikan bentuk refleksi diri dan masyarakat yang bebas dari dominasi. Dengan demikian, Gagasan dasar Teori Kritis adalah untuk menjembatani jurang antara riset substantif dan filsafat. Teori Kritis ingin menggabungkan kedua cabang pengetahuan tersebut ke dalam satu bentuk refleksi yang mengambil model filsafat sejarah Hegel. Untuk bisa mencapai hal tersebut, maka sangat diperlukan teori sejarah yang mampu menjelaskan kekuasaan efektif dari akal budi yang bersandar kepada prosesnya sendiri. Asumsi dasar dari konsep filsafat sejarah semacam itu berasal dari gagasan Max Horkheimer dan Herbert Marcuse yang memiliki akar tradisi pemikiran Marxis.
          Menjadi catatan bahwa yang membedakan Teori Kritis dengan gagasan Marxis pada awalnya adalah bukan prinsip-prinsip teoritis, melainkan obyektif atau tujuan secara metodologis yakni semacam pengakuan terhadap ilmu empiris. Itulah sebabnya adalah satu tujuan Teori Kritis juga berupa penggabungan kerja secara sistematis dari seluruh riset disiplin ilmu-ilmu sosial ke dalam teori masyarakat yang bersifat materialistis. Hal ini dianggap akan mampu memfasilitasi percampuran antara ilmu sosial yang bersifat akademis dengan teori Marxis.
Masa Awal Pemikiran Teori Kritis: Horkheimer, Marcuse dan Adorno
          Hingga tahun 1930-an Horkheimer  dan Marcuse  masih mempertahankan versi klasik teori sejarah Marxis, yang mempercayai bahwa pembangunan kekuatan produktif adalah menjadi mekanisme sentral dari kemajuan sosial. Dengan sendirinya Teori Kritis harus bergabung ke dalam suksesi historis semacam itu sebagai sarana pengetahuan masyarakat. Baik Horkheimer maupun Marcuse, masih menempatkan Teori Kritis sebagai sarana untuk kemungkinan dimana situasi sejarah akan matang dengan sendirinya.
          Ternyata pada saat yang sama, Horkheimer dan Marcuse ternyata sudah tidak percaya bahwa rasionalitas yang melekat pada kekuatan produksi masyarakat kontemporer juga terekspresikan di dalam kesadaran revolusioner para proletariat. Kerja mereka berdua dipengaruhi oleh fakta bahwa naiknya integrasi kelas pekerja ke dalam sistem kapitalis modern seperti yang dibayangkan Marx telah membuat kehilangan target sosialnya. Bagi Horkheimer, tujuan dari semua aktivitas riset institutnya adalah pertanyaan bagaimana mekanisme fisik menjadi mungkin di antara ketegangan antar kelas sosial dan bagaimana mekanisme fisik semacam itu menjadi konflik karena situasi ekonomi yang berlarut-larut. Pencapaian yang dibuat oleh Horkheimer adalah membuat program riset Institut atas dasar pertanyaan terhadap bentuk kapitalisme baru yang terintegrasi di dalam terminologinya secara spesifik dan berhubungan dengan disiplin ilmu empiris. Program itu menjadi panduan kerja Institut yang berakar kepada tiga disiplin ilmu yakni (1) analisis ekonomi dari fase posliberal kapitalisme yang digagas olef Friedrich Pollock, (2) investigasi psikologi sosial dari integrasi individu melalui sosialisasi oleh Erich Fromm dan (3) analisis budaya dari dampak kebudayaan massa berkonsentrasi kepada industri kebudayaan yang baru tumbuh oleh Theodor W Adorno dan Leo Lowenthal.
          Kemudian Hoirkheimer masih berupaya meyakinkan kerja riset Institut sebagai refleksi bentuk intelektual yang berkaitan dengan gerakan buruh. Ini dilakukannya karena Horkheimer yakin terhadap konsepsi positif tentang kondisi emansipasi yang membuat kekuatan produksi bebas dari bentuk kapitalistik di dalam organisasi mereka. Pada akhir tahun 1930-an, gagasan ini sepenuhnya runtuh karena dalam politik praktis yang terjadi adalah kebudayaan massa kapitalis bergabung dengan fasisme atau Stalinisme untuk membentuk kekuatan yang sepenuhnya totaliter. Dalam perspektif teori, hal ini berarti perubahan konsepsi positif yang diyakini Horkheimer menjadi model negatif dari tenaga kerja sosial. Oleh karena itu menjadi pertanyaan selanjutnya tentang bagaimana kemungkinan mengubah relasi sosial yang ada dengan sarana berupa revolusi politik.
          Barulah Theodor W Adorno  yang kemudian melahirkan konsep baru dari Teori Kritis. Gagasan Adorno diawali dengan pengalaman historis yakni fasisme sebagai produk gagal dari kebudayaan yang membuatnya begitu skeptis atas gagasan materialisme historis. Hal ini dipertajam pula oleh keraguannya terhadap rasionalisme sempit dari tradisi teori Marxis, sehingga Adorno berupaya untuk menghasilkan metode interpretasi yang bersifat estetis dari filsafat sejarah materialisme. Pada tahun 1947, Adorno bersama Horkheimer menulis The Dialectic of Enlightenment sebagai ekspresi motif intelektual baru dalam filsafat negatif dari sejarah. Mereka menyatakan bahwa totalitarianisme tidak dapat dijelaskan sebagai hasil dari konflik antara kekuatan dan hubungan produksi. Totalitarianisme merupakan hasil dari dinamika internal bentuk kesadaran manusia. Pendapat Adorno dan Horkheimer berangkat dari kerangka bahwa teori kapitalisme dan proses peradaban seluruhnya adalah merupakan sebuah sistem referensi yang menyatu. Dalam konteks ini fasisme muncul sebagai tahapan sejarah akhir dari logika pembusukan (logic of decay) yang bersifat inheren pada bentuk awal mula eksistensi spesies itu sendiri.
          Proses peradaban  mengambil bentuk spiral yang bergerak sebagai tindakan asli manusia yang berupaya menaklukan alam dan mencapai konsekuensi logis di dalam fasisme. Salah satu kesimpulan yang ditulis di dalam The Dialectic of Enlightenment adalah penyangkalan dari setiap dimensi kemajuan peradaban termanifestasi dalam bentuk intensifikasi kekuatan produksi. Selain itu, dinyatakan pula bahwa setiap bentuk praktek politik praksis adalah tindakan yang berorientasi kepada kontrol sehingga praktek politik harus dikeluarkan dari ranah alternatif yang bersifat positif. Dengan demikian terlihat bahwa aktivitas lingkaran terdalam dari para periset Institut mengabaikan sebagai kemungkinan situasi aktivitas mereka di dalam politik yang bersifat nyata.
          Dapat dilihat bahwa Horkheimer dan Adorno sebagai generasi awal Teori Kritis memiliki pandangan yang pesimis terhadap sejarah akal budi. Meski dipengaruhi oleh kecenderungan Weberian yang menekankan rasionalitas sebagai bentuk instrumental, mereka masih mengakui evaluasi positif ala Marx terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan tersebut dilihat sebagai inti dominiasi yang menyebar ke segala penjuru kehidupan dan pada prosesnya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah melumpuhkan agen potensial dari perubahan sosial. Istilah yang digunakan Horkheimer dan Adorno adalah masyarakat yang diatur secara total (totally administered society) yang kemudian oleh Marcuse disebut sebagai manusia satu dimensi (one-dimensional man). Perluasan analisis Marx berupa pemujaan tubuh atau fetisisme disini bertujuan untuk menggugah kesadaran kritis manusia yang dianggap sudah redup oleh komersialisme pasca perang. Pada tahap ini Teori Kritis menjadi sarana yang tepat untuk memperlihatkan hal-hal yang menutupi penalaran manusia seperti reifikasi, hegemoni dan dominasi tanpa menawarkan alternatif positif darinya.
Pemikiran Teori Kritis Generasi Selanjutnya: Jürgen Habermas
          Selain Karl-Otto Apel dan Albrecht Wellmer, adalah  Jürgen Habermas  yang menjadi generasi kedua Mazhab Frankfurt. Ambisi Habermas adalah menggantikan rasionalitas teknologi yang menguasai masyarakat modern dengan rasionalitas komunikatif yang mencapai konklusinya melalui diskusi dan dialog. Tujuan seperti ini berusaha diraih Habermas dengan cara mengubah penekanan filosofis dari hubungan subyek-obyek menjadi proses komunikasi intersubyektivitas. Habermas yakin bahwa dengan tindakan komunikasi semacam itu akan mencapai cita-cita teori kritis dan juga sekaligus membangun etika diskursus universal sebagai dasar evaluatif dari kritik sosial.
          Berbeda dengan gagasan ‘masyarakat atau dunia yang diatur secara total’ oleh para pendahulunya, Habermas memiliki perbedaan teoritis dan orientasi secara mendasar. Karya-karya Habermas secara perlahan membentuk formasi teori yang merujuk kepada aksi sosial intersubyektivitas linguistik dengan gagasan antropologi filsafat dan hermeneutika yang dulunya dianggap asing oleh generasi pertama mazhab Frankfurt. Habermas kemudian sampai kepada premis yang dipengaruhi oleh filsafat hermeneutika dan analisis bahasa Wittgenstein, bahwa subyek manusia selalu terikat satu sama lain dengan sarana pengertian melalui bahasa.
          Dengan demikian bahasa menjadi sebuah kebutuhan fundamental yang mereproduksi kehidupan sosial. Melalui cara itulah Habermas mengkritik Marxisme yakni hasil konsepsi sejarah yang diperluas kedalam aksi teori. Jika bentuk kehidupan manusia dibedakan dengan sarana pengertian seperti bahasa, maka reproduksi sosial tidak dapat direduksi hanya menjadi dimensi tunggal ketenagakerjaan seperti yang ditulis Marx. Sebaliknya, dalam upaya mendominasi alam maka praktek bahasa yang menjembatani interaksi harus dilihat sebagai dimensi dasar yang setara dari perkembangan sejarah. Meski demikian, langkah Habermas dalam membangun teorinya tentang masyarakat baru terbentuk utuh ketika dua konsep aksi yakni ‘buruh’ dan ‘interaksi’ diasosiasikan dengan kategori yang berbeda dari rasionalitas. Dalam subsistem tindakan rasional di mana tugas tenaga kerja sosial dan administrasi politik diorganisasi, manusia beranjak melalui akumulasi pengetahuan teknis dan strategis. Dalam kerangka institusi itulah norma-norma terintegrasi secara sosial dan direproduksi. Manusia berkembang melalui pembebasan dari segala hal yang menghambat komunikasi.
          Teori tersebut dikembangkan Habermas tahun 1970-an dan baru tahun 1981 dalam tulisannya Theory of Communicative Action, Habermas kembali mengembangkan gagasannya dalam bentuk yang sistematis untuk pertama kalinya. Gagasan Habermas itu merupakan hasil dari berbagai studi yang berwujud ke dalam teori tunggal yang menyebutkan bahwa rasionalitas komunikatif direkonstruksi dalam kerangka berupa tindakan yang dibangun atas dasar teori masyarakat. Hal ini dilakukan dengan mengkaji ulang teori masyarakat yang dikembangkan sejak Max Weber hingga Talcott Parsons dan akhirnya terangkum menjadi diagnosa kritis dari masyarakat kontemporer.
          Dengan demikian apa yang dikerjakan Habermas merupakan usaha untuk mengubah paradigma secara mendasar dari filsafat subyek menuju teori komunikasi dan dari rasionalitas sarana-tujuan menuju rasionalitas yang komunikatif. Habermas secara jeli melihat penyakit modernitas tidak bersumber kepada rasionalisasi semata tetapi pada satu sisi yang dikendalikan oleh kekuatan ekonomi dan administratif. Itulah sebabnya alternatif obat yang ditawarkan adalah demokratisasi opini publik yang akan membentuk ruang publik (public sphere) di mana isu-isu umum akan diperdebatkan secara kritis dan rasional.
Kritik Terhadap Teori Kritis
          Teori kritis Habermas di satu sisi secara ideal menawarkan demokratisasi opini publik dalam menuju rasionalitas komunikatif. Dalam masyarakat modern hal tersebut secara sederhana bisa diterima sebagai upaya dalam memperoleh kesetaraan melalui proses dialog dan diskursus sehingga pada satu titik menghasilkan juga konsep baru seperti demokrasi deliberatif. Akan tetapi dalam realitasnya ternyata tidak semudah itu. Ada beberapa argumen keberatan yang menjadi kritik terhadap teori kritis yang diusung oleh Habermas. Pertama, dalam masyarakat modern seperti sekarang ini, proses komunikasi sudah berjalan dalam ranah hiperealitas sehingga bentuk rasionalitas komunikatif yang dibayangkan Habermas menjadi sulit diwujudkan. Masyarakat mampu bertindak irasional karena anonimitas yang terjadi dan identitas ditengah ruang publik menjadi sesuatu yang bersifat semu. Dalam model seperti ini yang terjadi adalah pemiskinan imajinasi sehingga sangat sulit untuk bisa menjadi rasional dan obyektif.
          Keberatan yang kedua adalah, ruang publik dalam pemahaman masyarakat modern adalah ajang diskursus yang setara dan dialogis. Pada kenyataannya dialog yang terjadi di dalam ruang publik yang nyata adalah sesuatu yang tidak setara dan tidak juga bersifat dialogis. Ini terjadi tidak saja di negara-negara berkembang melainkan juga di negara maju. Dominasi yang dibayangkan oleh generasi pertama Teori Kritis rupanya masih tetap terjadi. Alhasil, proses dialog yang macet menyebabkan publik tidak lagi memanfaatkan ruangnya secara nyata. Kemajuan teknologi seperti internet dan komunikasi virtual menjadi katarsis publik dalam menggelombangkan wacananya sebagai pembentukan opini yang tidak lagi bersifat dialogis tetapi menjadi tandingan terhadap kekuasaan.
          Keberatan yang ketiga adalah, dengan demikian faktor teknologi yang menyebabkan pesimisme akan ketergantungan manusia terhadap sarana-sarana ekonomi seperti yang dibayangkan oleh generasi pertama Teori Kritis juga masih tetap terjadi. Di sini dapat dilihat bahwa apa yang dikemukakan oleh Habermas masih belum dapat memberikan alternatif jawaban yang memuaskan mengingat perkembangan Teori Kritis masih harus berkompetisi dengan realitas masyarakat, terutama dari aspek kemajuan teknologi, perubahan dimensi ruang publik dan juga harapan terhadap rasionalitas komunikatif yang ideal bagi manusia itu sendiri. Kemajuan teknologi jelas memberi kontribusi berupa akselerasi penerimaan dan juga cara manusia mengekspresikan kehendaknya. Ruang publik tidak lagi semata berkutat kepada masalah penggunaannya yang ideal tetapi juga bagaimana pergeseran dimensi dari sesuatu yang bersifat fisik menuju dunia maya juga menjadikan rasionalitas sebagai faktor yang tidak lagi dengan mudah dapat diperhitungkan. Sementara rasionalitas komunikatif yang dibayangkan Habermas dengan demikian menjadi jauh untuk bisa direalisasikan dengan mudah.

Jumat, 12 Februari 2016

PENGUMUMAN HASIL SELEKSI PETUGAS EKONOMI 2016 KOTA SEMARANG

 
Semarang - Proses rekrutmen calon Petugas Ekonomi 2016 Kota Semarang sampai hari ini (Jum'at, 12 Februari), sudah pada tahap pengumuman hasil seleksi tes tertulis dan wawancara yang dilakukan pada akhir bulan Januari kemaren. Siapa saja ya yang lolos? yang pastinya saya ucapkan selamat menjadi Petugas Sensus Ekonomi 2016. Di samping menambah pengalaman, honornya juga lumayan lo meski hanya 1 bulan kontrak kerjanya.
        Perlu diketahui bahwa dalam rangka mengadakan kegiatan Sensus Ekonomi 2016, BPS membutuhkan banyak tenaga sebagai petugas sensus. Ini bisa menjadi kesempatan bagi masyarakat yang sedang membutuhkan lapangan pekerjaan. Di Kota Semarang dibutuhkan sekitar 1.400 orang yang akan disebar ke 16 Kecamatan. Sensus Ekonomi ini dilaksanakan setiap 10 tahun sekali dan tahun 2016 adalah tahun yang ke-4.
 
 
 
        Sensus Ekonomi ini lebih berat dari pada sensus yang lainnya yang dilaksanakan oleh BPS. Sensus Ekonomi 2016 akan dilakukan pada 16 sektor: perindustrian, pertambangan, listrik, gas dan air bersih, konstruksi, perdagangan, restoran, komunikasi, keuangan, dan jasa-jasa lainnya. Maka tak heran, jika di Kota Semarang dibutuhkan kurang lebih 1.400 petugas sensus dengan honor selama 1 bulan kontrak, antara 2,8 juta sampai dengan 3,2 juta.Selain itu, petugas juga akan diberi transport selama pelatihan dilaksanakan.
 
 
 
        Berikut hasil Pengumuman Lolos Seleksi Tertulis dan Wawancara Petugas Ekonomi 2016 Kota Semarang, adalah sebagai berikut;
1. Hasil Seleksi Petugas Ekonomi 2016 Kecamatan Semarang Tengah download
2. Hasil Seleksi Petugas Ekonomi 2016 Kecamatan Semarang Utara download
3. Hasil Seleksi Petugas Ekonomi 2016 Kecamatan Semarang Barat download
4. Hasil Seleksi Petugas Ekonomi 2016 Kecamatan Semarang Timur download
5. Hasil Seleksi Petugas Ekonomi 2016 Kecamatan Semarang Selatan download
6. Hasil Seleksi Petugas Ekonomi 2016 Kecamatan Pedurungan download
7. Hasil Seleksi Petugas Ekonomi 2016 Kecamatan Tembalang download
8. Hasil Seleksi Petugas Ekonomi 2016 Kecamatan Gayamsari download
9. Hasil Seleksi Petugas Ekonomi 2016 Kecamatan Gunungpati download
10. Hasil Seleksi Petugas Ekonomi 2016 Kecamatan Ngaliyan download
11. Hasil Seleksi Petugas Ekonomi 2016 Kecamatan Mijen download
12. Hasil Seleksi Petugas Ekonomi 2016 Kecamatan Gajah Mungkur download
13. Hasil Seleksi Petugas Ekonomi 2016 Kecamatan Tugu download
14. Hasil Seleksi Petugas Ekonomi 2016 Kecamatan Banyumanik download
15. Hasil Seleksi Petugas Ekonomi 2016 Kecamatan Genuk download
16. Hasil Seleksi Petugas Ekonomi 2016 Kecamatan Candisari download
 
        Demikian informasi yang dapat saya berikan, semoga bermanfaat. Sekali lagi saya ucapkan selamat bagi lolos menjadi Petugas Ekonomi 2016. Bravoooo...

Kamis, 11 Februari 2016

MENGINGAT KEMBALI UPAYA LIBERALISASI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

          Fenomena merebaknya pemikiran sekularis, pluralis dan liberalis (sipilis) di sejumlah lembaga pendidikan agama Islam bukanlah hal baru. Sejak awal berdirinya, berbagai aliran pemikiran dan paham ideologi tumbuh subur di dalamnya. Bahkan pemikiran ini telah mengilhami berbagai perbuatan nyleneh; mulai dari kasus penyebutan asma Allah dengan, Allahirrajam (Allah terkutuk) dan setan dengan, syaithon subhannahu wa ta'ala (setan mahasuci dan mahatinggi); kasus penginjakan lafal Allah, kasus penghinaan terhadap Islam, Al-Quran dan Rasulullah saw.; kasus tuntutan penglepasan kewajiban berjilbab;  kasus aborsi, kasus perbuatan mesum dan zina sampai kasus pemakaian obat-obatan terlarang.

          Tak hanya terjadi di lembaga pendidikan formal, pemikiran sipilis pun telah merasuk ke pondok pesantren. KH Khalil Ridwan pernah menyampaikan peringatannya yang dimuat di surat pembaca Harian Republika (27/3/2006) terkait dengan adanya  upaya infiltrasi paham sekularisme-liberalisme ke pondok-pondok pesantren yang dilakukan oleh lembaga pengasong ide liberal: International Center for Islam and Pluralism (ICIP). Lembaga ini didanai oleh The Asia Foundation (TAF). Fakta lain, pada 18-28 September 2002, Institute for Training and Development (ITD), sebuah lembaga Amerika, telah mengundang 13 pesantren pilihanan di Indonesia (dari Jawa, Madura, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi) untuk berkunjung ke AS. Agenda ini terkait dengan kampanye liberalisasi pemikiran Islam ke pondok pesantren. 
Konspirasi Barat di Balik Agenda Liberalisasi Pendidikan Islam
          Berawal dari pidato Nurcholish Madjid (3/1/1970) di Jakarta dengan judul, Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat, liberalisasi terhadap ajaran-ajaran dan pandangan Islam dianggap penting. Pidoto ini telah menjadi momentum penting bagi Gerakan Pembaruan (baca: liberalisasi) Islam di Indonesia.  Gerakan ini bukan sekadar pemuasan hasrat intelektual belaka, tetapi merupakan gerakan sistemik konspiratif. Arahnya jelas, yakni menyebarkan ide liberalisme Barat ke Dunia Islam. Hal ini sinergis dengan pernyataan Bush seperti yang dimuat Kompas (6/11/2004), “Jika kita mau melindungi negara kita dalam jangka panjang, hal terbaik yang dilakukan adalah menyebarkan kebebasan dan demokrasi.

          Pasca runtuhnya Uni Soviet, Barat telah menjadikan Islam sebagai ancaman utama bagi keberlangsungan ideologi kapitalis-liberal. Hal ini dapat disimpulkan dari ungkapan Willi Claes, mantan Sekjen NATO, Muslim fundamentalis setidak-tidaknya sama bahayanya dengan Komunisme pada masa lalu. Harap jangan menganggap enteng risiko ini. Itu adalah ancaman yang serius karena memunculkan terorisme, fanatisme agama, serta eksploitasi terhadap keadilan sosial dan ekonomi.

          Berbagai kasus pemikiran dan perilaku nyleneh yang terjadi ternyata tidak terlepas dari upaya westernisasi (pem-Barat-an) negeri-negeri Islam yang dipromotori oleh Amerika, Inggris dan sekutunya. Melalui badan dunia PBB dan yayasan-yayasan internasional, Barat beserta para kapitalis melancarkan serangannya dengan menyusun program dan strategi liberalisasi pendidikan ke negara target maupun langsung ke lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan Islam. Konspirasi liberalisasi pendidikan ini merupakan kelanjutan dari upaya Barat menghapuskan peradaban Islam dan mencegah tegaknya kembali syariah dan Khilafah. Selanjutnya Barat berharap akan tetap mampu menancapkan hegemoninya di dunia, termasuk di negeri-negeri Islam. 
Modus Intervensi Barat dalam Liberalisasi Pendidikan Islam
          Dalam upaya liberalisasi pendidikan Islam, termasuk pondok pesantren di Indonesia, dengan gencar Barat melancarkan modus berikut: 

Pertama: intervensi kurikulum pendidikan Islam dan pondok pesantren. Kurikulum sebagai panduan untuk membentuk produk pemikiran dan perilaku pelajar/mahasiswa menjadi salah satu sasaran intervensi. Kurikulum bidang akidah, konsep wahyu maupun syariah Islam menjadi obyek liberalisasi yang tersistemkan.

          Liberalisasi akidah Islam diarahkan pada penghancuran akidah Islam dan penancapan paham pluralisme agama yang memandang semua agama adalah benar. Liberalisasi konsep wahyu ditujukan untuk menggugat otentisitas (keaslian) al-Quran Mushaf Utsmani dan as-Sunnah. Adapun liberalisasi syariah Islam diarahkan pada penghancuran hukum-hukum Islam dan penghapusan keyakinan umat terhadap syariah Islam sebagai problem solving bagi permasalahan kehidupan manusia. Contoh kasus: Kajian Orientalisme terhadap al-Quran dan Hadits adalah mata kuliah yang diajarkan di Program Studi Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, di sebuah Perguruan Tinggi Agama Islam di Jakarta. Tujuan mata kuliah ini adalah agar mahasiswa mampu memahami dan menerapkan kajian orientalis terhadap al-Quran dan as-Sunnah.

          Empat buku referensinya sangat kental dengan ide-ide orientalis. Salah satunya adalah buku Rethingking Islam karya Mohammed Arkoun. Dalam buku ini, Arkoun mengajak umat Islam untuk memikirkan kembali dan membongkar hal-hal yang sudah pasti dalam Islam. Ia pun menyayangkan, mengapa kaum Muslim tidak mau mengikuti jejak kaum Yahudi-Kristen dalam mengkritik kitab sucinya. Terdapat juga mata kuliah Hermeneutika dan Semiotika di Program Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Tujuan mata kuliah ini adalah agar mahasiswa mampu memahami dan menerapkan ilmu Hermeneutika dan Semiotika terhadap kajian al-Quran dan as-Sunnah. Implikasinya, mahasiswa dituntut untuk bersikap skeptis, selalu meragukan kebenaran al-Quran dan as-Sunnah, termasuk meragukan kebenaran tafsir para mufassirin terdahulu karena kebenaran dinilai relatif, sangat bergantung pada konteks zaman dan tempat.

          Dalam upaya intervensi kurikulum ini, The Asia Foundation (TAF) tercatat sebagai pengucur dana untuk reformasi kurikulum pendidikan kewarga-negaraan di empat universitas Islam yang membawahi 625 institusi dan kurang lebih 215.000 pelajar. Sejak tahun 2000, TAF bekerjasama dengan beberapa Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia mengubah kurikulum untuk memperkuat reformasi demokrasi dan liberalisasi. Di samping intervensi kurikulum pendidikan Islam di Indonesia, Barat pun berupaya mengintervensi kurikulum pondok-pondok pesantren dengan kucuran dana 157 juta dolar AS lewat Departemen Agama RI. Menyikapi hal itu, KH Kholil Ridwan dari Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI) menyerukan kepada para kiai pesantren agar menolak pemberian dana Amerika sebesar Rp 50 juta lewat Departemen Agama kalau disuruh mengubah kurikulum pesantren model mereka.

Kedua: bantuan pendidikan dan beasiswa kepada lembaga pendidikan Islam dan pelajar/mahasiswa di Indonesia.  The Asia Foundation telah mendanai lebih dari 1000 pesantren untuk berpartisipasi dalam mempromosikan nilai-nilai pluralisme, toleransi dan masyarakat sipil dalam komunitas sekolah Islam di seluruh Indonesia. Tahun 2004, TAF memberikan pelatihan kepada lebih dari 564 dosen yang mengajarkan pelatihan tentang pendidikan kewarganegaraan yang kental dengan ide liberalis-sekular untuk lebih dari 87.000 pelajar. Fakta lain, AS dan Australia juga membantu USD 250 juta dengan dalih mengembangkan pendidikan Indonesia. Padahal, menurut sumber diplomat Australia yang dikutip The Australian (4/10/2003), sumbangan tersebut dimaksudkan untuk mengeliminasi madrasah-madrasah yang menghasilkan para teroris dan ulama yang membenci Barat. Di samping bantuan pendidikan, pemberian beasiswa untuk melanjutkan kuliah ke negeri Barat sudah menjadi modus operandi lama. 

          Sejarah awal terjadi pada tahun 1950-an, saat sejumlah mahasiswa Indonesia belajar di McGill Institute of Islamic Studies (MIIS) yang didirikan oleh orientalis Cantwell W. Smith. Di antara mahasiswa itu adalah Harun Nasution, Rasyidi dan Mukti Ali. Pasca pulang dari belajar Islam gaya orientalis, Harun Nasution menjadi penggerak proses liberalisasi di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Sosok ini juga menjadi tokoh kunci terjadinya liberalisasi di seluruh Indonesia. Bukunya, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, yang banyak berisi liberalisme pemikiran Islam menjadi buku rujukan wajib seluruh IAIN di Indonesia. Adapun Mukti Ali menggawangi Departemen Agama; ia banyak berperan menciptakan iklim kondusif secara kebijakan untuk percepatan liberalisasi Islam. Kerjasama beasiswa ini dilakukan dengan Australia, Jerman, Belanda dan AS. Sosok kontroversial Nurcholish Madjid juga hasil dari cuci otak di Chichago University. Modus beasiswa ini bagaikan mafia agen liberalisasi. Apabila dalam liberalisasi ekonomi ada Mafia Berkeley, dalam liberalisasi pemikiran Islam kita kenal Mafia McGill dan Mafia Chichago.

Ketiga: pembentukan jaringan intelektual Muslim yang menyuarakan liberalisasi pemikiran Islam. Jaringan intelektual ini diwakili oleh Jaringan Liberal yang berlabelkan Islam, bekerjasama dengan para intelektual, penulis dan akademisi dalam dan luar negeri.  Jaringan ini gencar menyuarakan kampanye dan pengopinian reorientasi pendidikan Islam menuju pendidikan Islam yang pluralis melalui berbagai media propaganda. Khamami Zada di Jurnal Tashwirul Afkar edisi II/2001 menuliskan:

          Filosofi pendidikan Islam yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa mau menerima kebenaran agama lain, mesti mendapat kritik untuk selanjutnya dilakukan reorientasi.  Konsep iman, kafir, muslim-non-muslim dan baik-benar (truth claim), yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang Islam terhadap agama lain, mesti dibongkar, agar umat Islam tidak lagi menganggap agama lain sebagai agama yang salah dan tidak ada jalan keselamatan.

Target Akhir : Liberalisasi Pemikiran Islam dan Muslim Moderat
          Target akhir dari upaya liberalisasi pendidikan Islam dan pondok pesantren di Indonesia adalah liberalisasi pemikiran Islam dan menciptakan Muslim moderat yang pro Barat. Dari merekalah selanjutnya agenda liberalisasi pemikiran Islam akan disebarluaskan di tengah-tengah masyarakat. Sasaran pembentukan Muslim moderat diprioritaskan dari kalangan intelektual Muslim dan ulama. Alasannya, karena intelektual Muslim dinilai memiliki peran strategis, baik dalam menentukan kebijakan pemerintah maupun peluang memimpin masyarakat; sedangkan ulama dinilai memiliki pengaruh di tengah-tengah masyarakat akar rumput, di samping sebagai pelegitimasi hukum terhadap berbagai fakta baru yang berkembang. Dari sini dapat dipahami mengapa Barat begitu getol mengontrol dan mengarahkan sistem pendidikan Islam pencetak para intelektual Muslim dan ulama.

          Demikianlah proses sistematik-konspiratif dalam liberalisasi pendidikan Islam di Indonesia. Selama dendam Barat masih menyala terhadap Islam, konspirasi akan terus berlanjut. Tidak ada cara lain bagi umat Islam, selain waspada, adalah merapatkan barisan dan menyusun strategi ke depan, agar serangan-serangan semacam ini tidak menghancurkan harapan kebangkitan Islam dan kaum Muslim.

MEMAHAMI METODE HERMENEUTIKA SOSIAL


Jurgen Habermas
 
        Sesuai dengan makna asal katanya “hermeneutik” berarti ”penafsiran” atau “interpretasi”. Hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidak tahuan menjadi mengerti.  Secara agak khusus problem hermeneutik sebenarnya terkait dengan proses pemahaman, penafsiran dan penerjemahan atas sebuah pesan (lisan atau tulis) untuk selanjutnya disampaikan kepada masyarakat yang hidup dalam dunia yang berbeda. Dengan demikian tugas pokok hermeneutik ialah bagaimana menafsirkan sebuah teks klasik atau teks yang asing sama sekali menjadi milik (terpahami atau dimengerti) oleh kita yang hidup dizaman dan tempat serta suasana kultural yang berbeda. Istilah hermeneutik ini mulai dipergunakan baru dalam abad 17 dan ke 18 yakni untuk menunjukkan ajaran tentang aturan-aturan yang harus diikuti dalam mengerti dan menafsirkan dengan tepat suatu teks dari masa lampau, khususnya kitab suci dan teks-teks klasik (Yunani dan Romawi).
       Dalam filsafat dewasa ini, istilah “hermeneutik” dipakai dalam arti yang amat luas yang meliputi  hampir semua tema filosofis yang tradisional sejauh berkaitan dengan masalah “bahasa”.   Dengan demikian hermeneutik ini sangat erat kaitannya dengan pembahasan tentang cara “memahami” atau “mengerti” (verstehen) di satu sisi dengan “bahasa”  di sisi yang lain.
       Hubungan antara “mengerti” di satu sisi dengan “bahasa” disisi yang lain memang sangat erat kaitannya. Bahasa adalah totalitas ekspresi perasaan dan pikiran yang dituangkan dalam simbol, gerak dan huruf namun untuk mengetahui secara persis maksud pembicaraan masih diperlukan penafsiran. Kita hidup tidak bisa keluar dari jaring-jaring bahasa dan setiap peristiwa komunikasi bahasa mesti memerlukan penafsiran. Bahasa adalah medium yang tanpa batas, yang membawa segala sesuatu didalamnya tidak hanya kebudayaan yang telah disampaikan kepada kita melalui bahasa, melainkan juga segala sesuatu tanpa ada kecualinya  -  sebab segala sesuatu itu sudah termuat dalam lapangan pemahaman. Dengan kata lain memahami bahasa memungkinkan kita untuk berpartisipasi pada pemakaian bahasa di masa-masa yang akan datang. Bahasa adalah perantara yang nyata bagi hubungan umat manusia.
       Tradisi dan kebudayaan kita segala warisan nenek moyang kita sebagai suatu bangsa, semua itu terungkap di dalam bahasa, baik yang terukir pada batu prasasti maupun yang ditulis pada daun lontar. Oleh karena sedemikian urgen keberadaan bahasa dalam kehidupan manusia, sehingga Gadamer mengabstraksikan keberadaan bahasa sampai pada tingkat ontologis bahwa bahasa merupakan modus operandi dari cara kita berada di dunia dan merupakan wujud yang seakan-akan merangkul seluruh konstitusi tentang dunia ini. Dengan demikian menurut wawasan Gadamer  -  dengan sekedar meminjam istilah kaum strukturalisme  -  bahwa semua realitas hidup manusia baik dirinya sendiri maupun hal-hal yang mengelilinginya adalah teks yang bisa dibaca dan ditafsirkan olehnya.
        Mengingat tradisi hermeneutik ini pada awalnya sangat erat kaitannya dengan kajian filologi, yakni, ilmu yang membahas tentang asal-usul bahasa dan teks yang bertujuan untuk menafsirkan dan memahami teks tersebut, maka metode ini tampaknya sangat sesuai untuk tujuan pengkaijan  terhadap hal-hal yang berkaitan dengan fenomena kesejarahan (historiografi).    Oleh karena itu wajar jika dalam perkembangnnya lebih lanjut, yakni tepatnya pada abad ke 18, hermeneutik  mulai diaplikasikan ke dalam lapangan ilmu pengetahuan budaya (Geistewissenschaften). Dalam hal ini peranan Friederich Schleiermacher (1768-1834) sangat menentukan. Ia hendak merancang suatu metode ilmiah yang membahas fakta-fakta historis, sambil menyisihkan historisitas sang sejarahwan.  Untuk memahami  fakta-fakta histotisitas tersebut, maka diperlukan metode hermeneutis. Hanya saja Schleiermacher  segera membedakan antara hermeneutik sebagai ilmu atau seni memahami dengan hermeneutik sebagai studi tentang memahami itu sendiri.   Dengan kata lain, Schleiermacher masih membedakan antara hermeneutik sebagai metode ilmiah dan sebagai kajian filosofis.
       Adapun untuk mengerti atau memahami  suatu teks dari masa lampau, menurutnya kita harus keluar dari jaman dimana kita hidup sekarang, merekonstruksi jaman si pengarang dan menampilkan kembali keadaan dimana pengarang berada pada saat ia menulis teks. Dengan demikian proses pemahaman menuntut pembaca untuk mampu menempatkan diri pada posisi kehidupan, pemikiran dan perasaan dari sang pengarang agar memperpendek jarak antara dunia pembaca dan  dunia pengarangnya.   Ia menganggap bahwa hermeneutik sebagai studi tentang memahami.
    Sementara Wilhelm Dilthey (1833-1911), meneruskan dan meneguhkan hermeneutik Schleiemacher. Dilthey menaruh perhatian pada metode hermeneutik  ketika ia  mencoba memecahkan persoalan tentang bagaimana membuat segala pengetahuan tentang individu atau pengetahuan tentang singularitas eksistensi manusia menjadi ilmiah.   Dengan kata lain, hermeneutik bagi Wilhelm Dilthey adalah suatu metode ilmiah yang dianggap paling sesuai untuk kajian-kajian ilmu kemanusiaan. Pendapat ini rupanya muncul ketika ia menjumpai sejumlah fenomena tentang eksistensi manusia, dimana ia dikejutkan oleh banyak variabel yang relatif  tidak dapat digeneralisir begitu saja. Sistem individual pada dasarnya merupakan produk dari sistem eksternal yang telah menstruktur kondisi eksistensi  manusia. Jadi, hanya pengetahuan tentang aspek individual yang terstruktur oleh sistem eksternal sajalah yang akan mampu meraih interpretasi  obyektif  tentang situasi historis setiap individu.
       Dengan kata lain yang ingin dicari oleh Dilthey adalah pemahaman dan interpretasi atas kegiatan-kegiatan individu yang dengan sendirinya tersituasikan dalam sistem-sistem eksternal. Individu merupakan produk dari lingkungan eksternalnya seperti, sejarah, keluarga dan peraturan-peraturan kemasyarakatannya. Kenyataan inilah yang kemudian membawanya kepada pemisahan yang serius antara lapangan dan metode Naturwissenschaften (ilmu pengetahuan alam) dan Geistewissenschaften (ilmu pengetahuan tentang bhatin manusia). Dilthey, menganggap perbedaan itu sangat penting mengingat pada kenyataannya kedua jenis ilmu pengetahuan itu mempergunakan metode atau metodologi pembahasan yang berbeda satu dengan lainnya.
       Ilmu-Ilmu pengetahuan tentang alam fisik mempergunakan metode ilmiah yang hasil penemuannya dapat dibuktikan dengan menggunakan metode yang ketat. Di sisi lain, yang disebut ilmu-ilmu pengetahuan  tentang hidup tidak dapat diterapi dengan metode-metode ilmiah seperti pada ilmu-ilmu alam dan eksakta sebab ilmu-ilmu ini berhubungan dengan hidup manusia.   “Hidup” penuh dengan  makna. Untuk dapat memahami orang lain dan ungkapan-ungkapan hidupnya, maka pemahaman terhadap diri sendiri adalah mutlak. Pemahaman tentang Geistewissenschaften  (ilmu pengetahuan tentang hidup) tergantung pada pengalaman-pengalaman batin kita, yaitu pengalaman yang tidak dapat dijangkau oleh metode ilmiah. Dengan demikian,  menurut Dilthey perlu dibedakan dua kecenderungan metodis, yakni metode yang berorientasi pada upaya “menjelaskan” (erklaren) dan metode untuk  “mengerti” (verstehen).
        Sementara bagi Hans-George Gadamer, hermeneutik bukanlah sebuah metode sekedar alat untuk “memahami” sesuatu (teks) tetapi hermeneutik sendiri adalah pemahaman yang oleh karenanya ia merupakan fakta ontologis. Dengan demikian , tampaknya yang ingin ditekankan oleh Gadamer adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Bagi Gadamer,”memahami” atau “mengerti” mempunyai struktur lingkaran. Supaya orang mengerti sudah harus ada prapengertian. Untuk mencapai pengertian satu-satunya cara ialah bertolak dari pengertian. Misalnya, untuk mengerti suatu teks, sebelumnya sudah mesti ada prapengertian tertentu tentang apa yang dibicarakan dalam teks itu, kalau tidak maka sekali-kali tidak pernah akan mungkin memperoleh pengertian tentang hal tersebut.  Tetapi dilain pihak dengan membaca teks itu prapengertian terwujud menjadi pengertian yang sungguh-sungguh. Proses inilah yang dinamakannya sebagai “lingkaran hermeneutis”. Lingkaran ini menurutnya sudah terdapat pada taraf yang paling fundamental . Lingkaran ini menandai eksistensi kita sendiri.
       Sedangkan, Jurgen Habermas meskipun tidak secara eksplisit menggunakan gagasan hermeneutik namun dalam beberapa tulisannya ia menyinggung permasalah yang berkaitan dengan masalah hermeneutik. Hal ini terutama terlihat dari karyanya yang berjudul “Knowledge and Human Interest”,  yang didalamnya ia banyak menyinggung masalah penjelasan dan pemahaman. Menurutnya, penjelasan menuntut penerapan proposisi teoritis terhadap fakta yang terbentuk secara bebas melalui pengamatan sistematis. Sedangkan pemahaman adalah suatu kegiatan dimana pengalaman dan pengertian teoritis berpadu menjadi satu.   Dalam hal ini ia ingin menegaskan bahwa penjelasan haruslah berupa penerapan secara obyektif sesuatu hukum atau teori terhadap fakta, sedangkan pemahaman menjadi bagian subyektifnya. Sebab pemahaman melibatkan juga pengalaman penafsir. Namun yang menarik dari konsep Habermas adalah dibedakannya pemahaman pada umumnya dengan pemahaman hermeneutik. Pemahaman hermeneutik tidak menganalisis struktur sebagaimana pemahaman pada umumnya, tetapi pemahaman tentang makna yang mampu mengartikan hubungan simbol-simbol sebagai hubungan antar fakta.
        Adapun Paul  Ricoeur  menyatakan bahwa hermeneutik adalah teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap teks.  Dengan demikian, hermeneutik dalam pandangan Ricoeur bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung daya-daya (makna) yang belum diketahui dan tersembunyi di dalam simbol-simbol  tersebut.
       Seperti halnya Gadamer, Jacques Derrida pun meski  tidak secara eksplisit menampilkan gagasan hermeneutik dalam konsep-konsepnya, namun dalam beberapa hal ia menyinggung persoalan hermeneutik. Gagasan hermeneutik terutama disinggung ketika ia mempersoalkan masalah pemahaman tentang makna. Menurutnya, untuk menemukan makna yang tersembunyi orang harus membuka selubungnya melihat isi  secara terpisah, membuang semua hubungan yang sudah ada antara kata dan konsep. Ini merupakan cara untuk menghapus prasangka. Sumber utama timbulnya kesalahpahaman atau salah pengertian.
       Dari uraian tentang pemikiran para tokoh hermeneutik tersebut diatas, maka dapat  disimpulkan bahwa hermeneutik pada dasarnya sangat terkait dengan proses pemahaman (verstehen) terhadap realitas (makna) apapun terutama yang berkaitan dengan teks yang bernilai historis. Kalau dicari akarnya, hermeneutik terutama pada abad ke 19, yakni sejak jaman Wilhelm Dilthey sebenarnya berfungsi sebagai metodologis yang mandiri. Sebagai metode tentunya ia memiliki alasan epistemologis tersendiri. Hal ini misalnya tampak dalam gagasan Dilthey yang memilah fakta fisis yang menjadi obyek ilmu pengetahuan alam dengan fakta hidup yang menjadi obyek bagi ilmu pengetahuan kemanusiaan.
       Jika dalam ilmu pengetahuan alam obyek yang dihadapinya cenderung konstans dan konsisten, sehingga memungkinkan untuk dapat dijelaskan dan diabstraksikan menuju perumusan hukum dan teori. Namun akan lain halnya dengan realitas kemanusiaan berikut produk-produknya sangat bersifat relatif sekali. Bagi Dilthey sebagaimana tokoh hermeneutik lainnya menganggap bahwa realitas hidup itu sangat unik dan relatif memiliki makna yang beragam. Setiap individu tentu mengalami dan memahami makna hidupnya tersendiri. Oleh karena pengalaman dan pemahaman setiap individu berbeda antara satu dengan yang lainnya, maka tidak ada kesatuan abstraksi yang bersifat universal tentang fakta-fakta kehidupan manusia. Disinilah letak signifikasi metode hermeneutik dalam kajian-kajian ilmu kemanusiaan. Dengan demikian, berbeda dengan metodologis ilmu pengalaman alam yang secara sadar dan tegas membuat jarak senetral mungkin antara subyek dan obyek, maka dalam metode hermeneutik justru subyek meleburkan diri dan memperbanyak dialog dan partisipasi dalam wilayah tradisi dan jaringan teks.
         Dalam perspektif sejarah filsafat ilmu tampaknya kehadiran hermeneutik memberikan alternatif  lain bagi perkembangan metodologis keilmuan pada umumnya. Hal ini dapat dipahami mengingat sejak awal abad 19 hingga awal abad 20 pertumbuhan metodologis keilmuan senantiasa didominasi oleh semangat neo-positivisme. Semangat metodis ini untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Lingkaran Wina (Wiener Kreis). Dalam operasi metodisnya Wiener Kreis ini memberikan pengutamaan pada pengolahan secara logika terhadap bahan-bahan empirik. Cara kerja yang berwatak empirik-logis ini untuk pertama kalinya diintrodusir oleh Rudolf Carnap (1891-1970). Ia selalu menyatakan bahwa kita tidak dapat bekerja dengan memakai logika lama, sebaliknya logika baru mengandung segala kemungkinan untuk mengolah bahan-bahan empirik yang tersedia.  
       Selain bersifat empirik-logis, prinsip metodis yang paling ditonjolkan adalah verifikasi. Verifikasi berarti pengukuhan oleh pangamatan empirik. Sebagai akibat dari prinsip metodis ini maka setiap tanggapan yang pada dasarnya tidak dapat dikukuhkan oleh pengamatan empirik dianggap tidak bermakna. Dengan demikian yang bermakna ialah apa yang dapat dikukuhkan oleh fakta-fakta.
 Kalau tanggapan yang diperoleh melalui pengamatan empirik senantiasa berupa bahasa, yakni pernyataan-pernyataan yang disusun berdasarkan logika. Maka, sebagaimana ditekankan oleh Morizt Schlick (1882-1936), hanya pernyataan-pernyataan logis yang dapat diverifikasi secara empiriklah yang dapat disebut sebagai pernyataan yang bermakna (benar).
       Meskipun demikian Lingkaran Wina sendiri masih mengakui adanya pernyataan-pernyataan logis yang tidak dapat diverifikasi secara empirik. Pernyataan-pernyataan ini lazim dinamakan sebagai tautologis. Tautologis ini hanya menunjukkan apa yang dikandung dalam praanggapan-praanggapan tertentu dalam bentuk aksioma.
       Tampaknya prinsip-prinsip metodis dari Lingkaran Wina tersebut bukan suatu kebetulan jika kemudian memperoleh kesesuaiannya dengan tradisi berpikir neo-realisme (analitika bahasa) Inggris. Hal ini dapat dimaklumi, karena setelah bubarnya Lingkaran Wina sejumlah anggotanya mengungsi ke Inggris. Sehingga wajar jika dalam jangka waktu tertentu neo-realisme memperlihatkan kesesuaian pemikiran yang sangat besar dengan neo-positivisme.
     Pengaruh neo-positivisme tidak akan begitu besarnya seandainya tokoh Austria, Ludwig Wittgenstein (1889-1951) tidak semenjak masa hidupnya sebagai mahasiswa berhubungan erat dengan Russell dengan lingkungan Cambridge, baik Lingkaran Wina maupun neo-realisme Inggris kemudian sangat terpengaruh oleh Wittgenstein.
     Pada awalnya yakni sebagaimana tertuang dalam karyanya “Tractatus Philosophicus”, pemikirannya sangat dipengaruhi oleh picture theory-nya Bertrand Russell. Menurutnya, antara dunia dan bahasa ada paralel mutlak.  Bahasa mencerminkan dunia dan pemakaian bahasa menurut struktur yang tepat, dapat memberikan pemahaman tentang struktur dunia. Di dalam pikiran awalnya ini,  ia berpendirian bahwa bahasa terdiri dari kalimat-kalimat atom atau atom-atom logis, yaitu ungkapan-ungkapan yang paling sederhana, dan tidak dapat direduksi lagi. Dan ucapan-ucapan itu terdiri dari tanda-tanda atau nama-nama sederhana yang langsung menunjukkan obyek. 
       Dengan demikian  menurutnya seluruh tugas filsafat ialah menjelaskan dan menepatkan bahasa, sebab dengan jalan demikian juga dunia sendiri menjadi jelas.  Dalam pendirian ini  tersirat  bahwa ungkapan bahasa tidak dapat melampaui batas-batas riil dunia. Batas-batas bahasa juga merupakan batas-batas dunia.    Sehingga ungkapan bahasa yang tidak memiliki kesesuaian dengan dunia riel dianggap tidak bermakna. Prinsip inilah  yang kemudian dikembangkan oleh neo-positivisme menjadi operasionalisasi metodis empirik-logis, dimana verifikasi menjadi satu-satunya alat metodis yang dianggap paling sahih untuk menentukan bermakna tidaknya suatu pernyataan-pernyataan.
         Pada masa kedua pemikirannya, yakni dalam karyanya “Philosophical Investigation”, ia tidak lagi menggunakan kerangka pendekatan picture theory, yang menunjuk pada kesesuaian antara bahasa dan dunia riil (external consistency). Menurutnya pikiran dan bahasa tidak dapat dipisahkan. Pikiran bukanlah suatu proses dibalik bahasa, melainkan terjadi dalam dan terdiri dari linguistic behaviour. Bahasa tidak dapat dikembalikan hanya kepada satu struktur logis saja, seperti misalnya ada dalam ucapan-ucapan yang bersifat kognitif atau deskriptif belaka.
       Bahasa bukan hanya memberikan informasi tetapi mempunyai fungsi dan makna yang bermacam-macam, misalnya bersumpah, berdoa, membicarakan warna atau penyakit; ada bahasa ilmiah, bahasa puisi dan seni, bahasa etis, keserbaragaman itu harus diterima sebagai fakta dan diungkapkannya dengan istilah language games.  Dalam berbagai macam language games, kata-kata tidak mempunyai arti apriori. “Arti” itu bukan sesuatu dibelakang bahasa: tidak ada arti “pokok”. Arti kata-kata tergantung dari pemakaiannya. Arti itu seluruhnya tergantung dari tempatnya di dalam salah satu “permainan bahasa” itu, dalam konteks hidup dan kegiatan.  
        Prinsip tentang relatifitas makna yang terdapat pada teks inilah yang nantinya dikembangkan ke dalam tradisi hermeneutik. Dimana untuk “memahami”  (verstehen) makna suatu teks dalam arti luas (termasuk fakta-fakta kemanusiaan pada khususnya ) diperlukan upaya “mengalami”  terlebih dahulu dengan konstelasi teks yang hendak dipahami. Dengan kata lain, sebagaimana dalam dalam metode ilmu pada umumnya, hermeneutik berusaha menemukan gambaran dari sebuah bangunan makna yang benar , yang terjadi dalam sejarah yang dihadirkan kepada kita  oleh teks.   Namun berbeda dengan metode keilmuan lainnya, terutama dengan ilmu pengetahuan alam, dalam proses pemahaman dan penafsiran ini tidak dengan menggunakan pola bernalar  induksi dan tidak pula deduksi melainkan dengan pola bernalar alternatif yang disebut abduksi, yaitu: menjelaskan data berdasarkan asumsi dan analogi penalaran serta hipotesa-hipotesa yang memiliki berbagai kemungkinan kebenaran. Disini pra-konsepsi dan pra-disposisi seorang penafsir dalam memahami  teks memiliki peran yang besar dalam membangun makna.
           Dari keseluruhan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa apabila tradisi neo-positivisme yang menggunakan prinsip-prinsip metodis seperti empiris-logis dan verifikasi memiliki akar filosofis ke dalam pemikiran awal Wittgenstein, maka tradisi hermeneutik yang menggunakan prinsip-prinsip metodis seperti verstehen, abduksi memiliki akar filosofisnya ke dalam pemikiran kedua Wittgenstein. Dengan demikian, kedua tradisi ini sebenarnya saling melengkapi satu dengan lainnya.
 
 

DAFTAR KEPUSTAKAAN

  1.  Bauman, Zygmunt. Hermeneutics and Social Science (New York: Columbia University Press,1978)
  2.  Bertens, Kees. Filsafat Barat Abad XX (Inggris-Jerman) (Jakarta: PT. Gramedia,1983)
  3.  Charlesworth, M.J.Philosophy and Linguistic Analysis (Pitsburgh: Duquesne University,1959)
  4.  Delfgaauw, Bernard. Filsafat Abad 20, terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya,1988)
  5.  Edward (ed), The Encyclopedia of Philosophy (New York: MacMillan co.,1972),8-336-338
  6.  Gadamer, Hans-Georg. Truth and Method (New York: Crossroad Publishing Co.,1986)
  7.  Habermas, Jurgen .Knowledge And Human Interest (Boston: Connecticut Greenwood Press,1972),144
  8.  Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina,1996),18
  9.  Kreemer, Angele – Marietti,Dilthey (Paris: Seghers,1971)
  10.  Montefiore, Alan. Philosophy in France today (Cambridge: Cambridge University Press,1983)
  11.  Palmers, Richard F.,Hermeneutics(Evanston:Northwestern University Press,1969)
  12.  Ricoeur, Paul. Hermeneutics And The Human Sciences (Cambridge: Cambridge University Press,1985)
  13.  Schleiermacher F.D.F.,Hermeneutics: The Handwritten Manuscript, Heinz Kimmerle (New York: Montana Scholar Press,1977)
  14.  Sumaryono, E.Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius,1993)
  15.  Thiselton, Antony C..New Horizon in Hermeneutics (Michigan: Zondervan Publishing House,1992)
  16.  Weinberg, J.R.An Examination of Logical Positivism (London: Routledge-Kegan Paul,1950)

PEMBAHARUAN SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN


I. PENGERTIAN PESANTREN
       Istilah Pesantren di dalam kalangan santri berpendapat bahwa pesantren yang mendapat awalan “pe” dan ”an” yang berarti tempat tinggal para santri, sedang istilah santri berasal dari bahasa Tamil yaitu “Sattiri” yang memiliki arti yaitu orang yang tinggal di sebuah rumah miskin atau bangunan keagamaan secara umum.
Seseorang yang bernama Manfred memberi arti bahwa pesantren berasal dari masa sebelum masa islam serta mempunyai kesamaan dengan Bhuda dalam bentuk asrama. Menurut pendapat yang lain bahwa pesantren itu merupakan pranata pendidikan asli islam yang lahir dari pola kehidupan tasauf yang berkembang di beberapa wilayah islam seperti Timur Tengah dan Afrika Utara, yang dikenal dengan sebutan Zawiyat.
 II. KARAKTERISTIK PENDIDIKAN PESANTREN
     Termasuk salah satu dari bukti kebutuhan masyarakat Indonesia pada pesantren yaitu akan pendidikan agama yang diberikannya. Keberadaan Pesantren di tengah-tengah masyarakat Indonesia selama berabad-abad sampai sekarang. Apalagi kalau diingat bahwa pesantren-pesantren yang bertebaran di Indonesia semua atau hampir semua kepunyaan Kyai dan rakyat Indonesia sendiri, bukan kepunyaan Pemerintah. Semua dapat hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Ada diantaranya telah berumur ratusan tahun, seperti pesantren salafiah Darus Salihin di Tempelsari, Kali Jajar Jawa Timur yang berdiri tahun 1364. Pondok Al-Kahfi di Sumberadi Kebumen Jawa Tengah tahun 1600, dan pesantren Darul Muttaqin di Losari Jawa Tengah berdiri tahun 1648.
III. KEKUATAN DAN KELEMAHAN PENDIDIKAN PESANTREN

A. KEKUATAN/KELEBIHAN PENDIDIKAN PESANTREN
1. Pesantren merupakan lembaga pendidikan tempat memperdalam ilmu agama islam, agar dapat melestraikan ilmu – ilmu tersebut dengan tujuan menjadi kader ulma’, pemimpin umat dan pemimpin Bangsa.
2. Pesantren menggunakan sorogan dan halaqoh (ceramah) dengan metode tersebut menyimpulkan bahwa kemampuan akan menghafal sekian banyak ayat, hadits, dan pelajaran-pelajaran lainnya di luar kepala.
3. Dapat melestarikan kitab-kitab klasik tersebut, juga setidak-tidaknya mampu memahami bahasa aslinya (bhs Arab).
4. Dapat menerima (ikhlas) dengan kekurangan sarana dan prasarana yang dimiliki pesantren serta semangat juang yang menggabu-gebu untuk menutupi kekurangan dan berusaha untuk mengatasinya, dan keberadaanya yang dibutuhkan masyarakat.
5. Lebih memudahkan pengorganisasian dan dalam menata administrasinya.
6. Pesantren juga sangat dibutuhkan oleh sebagian besar Bangsa Indonesia sebagai alternatif pendidikan yang diminatinya.
7. Tradisi keagamaan pada pesantren terlihat sangat kuat dan tidak mudah untuk dimasuki oleh paham2 dari luar yang akan merusak sendi-sendi tradisi kegamaan tersebut.
B. KEKURANGAN/KELEMAHAN PENDIDIKAN PESANTREN
1. Pola kehidupannya mencontoh orang – orang tasauf, sehingga dalam pandangan kebanyakan orang, terlihat kumuh dan tidak terawat dengan baik serta kurangm memperhatikan unsure keduniawian.
2. Kurangnya kemampuan dalam menalar, karena doktrin harus menghafal sehingga juga banyak yang kurang memahami pelajaran yang dihafalnya.
3. Kurang mengikuti perkembangan kitab-kitab terbaru dengan problematika yang terjadi di masyarakat.
4. Umumnya Pesantren tidak memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk menunjang kegiatan belajar mengajar.
5. Lebih dominant, karena memunculkan sikap otoriter, tidak proposional dalam pengelolaannya, tidak mudah menerima pembaharuan dari luar, dan terkesan eksklusif.
6. Tidak semua pondok pesantren memiliki kualitas yang sama didalam mendidik santrinya.
7. Fanatik terhadap salah satu pendapat (mdzhab) tertentu dengan tanpa mempelajari madzhab lainnya, sehingga kita tidak ada persoalan dalam masalah fiqih terjadi pertentangan dan saling menyalahkan.
IV. PENUTUP / KESIMPULAN
     Dari berbagai uraian di atas, hendaknya kita dapat mempelajari sekaligus mempraktekkannya dan memahami sebagian yang sudah tertera diatas ya’ni yang disimpulkan sebagai berikut :
1. Pengertian Pesantren
2. Karakteristik Pendidikan Pesantren
3. Kelebihan – kelebihan yang ada pada pesantren
4. Beberapa lekurangan atau Kelemahan dalam pesantren

TINGGALKAN KATA "JANGAN" TERHADAP ANAK

Kawan...
        Tahukah kita, disaat kondisi terjaga atau tidak, lagi stabil atau sedang dirundung amarah, ucapan kita ternyata berpengaruh besar terhadap perkembangan anak yang kita sayangi. Ucapan yang kurang baik kang menuntun anak berperangai kurang baik pula, begitu pula sebaiknya. Bahkan kadang kadang maksud kita baik, ternyata ditanggapi kurang baik menurut anak. Yang jelas dunia psikologis kita dengan anak berbeda. Sebagai contoh sederhana saja sering kali kita menyematkan ucapan "JANGAN" terhadap anak. Dalam kondisi apapun dan keadaan bagaimanapun. Disadari atau tidak kata itu berdampak negatif terhadapnya. Diantaranya adalah menumbuhkan sifat keragu raguan, kepercayaan diri berkurang, mental tidak berkembang sebagaimana mestinya, dan yang jelas potensi diri terkungkum yang mengakibatkan jalan pikiran anak terhambat dan anak cenderung emosional dan sensitif.
       Nah, coba bayangkan jika keadaan demikian berlangsung tiap hari. Jika kita menemui anak marah, kita justru menyalahkannya. Padal justru kita sendiri yang menanam dan memupuknya. Kenapa waktu masa memanen kita yang susah? Oleh karena itu, kita harus tegas mulai dari sekarang dengan cara ganti kata "JANGAN" dengan kata kata dibawah ini. Semoga sukses, semoga kedepan kita menjumpai anak anak kita lembut budi pekertinya, santun dalam sikapnya, jujur dalam perilakunya, taat pada Agamanya, membanggakan orang tuanya dan yang jelas menjadi anak anak diharapkan oleh Rasulullah SAW.