Minggu, 26 Mei 2019

PENGARUH KEPERCAYAAN UMAT ISLAM TERHADAP PERKEMBANGAN AS SUNNAH


oleh : Miftahudin
Guru SMP Negeri 1 Semarang
Mahasiswa Pascasarjana Unwahas Semarang


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
As Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam, maka akan menuai sebuah kesesatan. Ayat-ayat al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran as Sunnah, ini sebagai sumber hukum Islam.
Semenjak Nabi Muhammad SAW wafat, para sahabat kehilangan tempat bertanya secara langsung. Meski demikian, kegiatan penafsiran Al-Quran tidak berhenti. Munculnya persoalan-persoalan baru mendorong umat Islam generasi awal tersebut untuk mencurahkan perhatiannya dalam menjawab persoalan umat. Dalam memahami Al-Quran pada masa itu, pegangan utama para sahabat adalah riwayat-riwayat yang dinukilkan dari Nabi. Upaya memahami al Qur’an pun juga dimulai dengan memahami as Sunnah supaya penjelasan yang ada di dalam al Qur’an ada bukti refrentifnya dari sikap dan perilaku nabi Muhammad Saw.
Untuk fokus pada materi pengaruh kepercayaan umat terhadap perkembangan as Sunnah ini diperlukan adanya tiga alasan, yaitu; Pertama, Sebagian besar ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an masih bersifat global, yang masih memerlukan penjelasan dalam implementasinya. Kedua, hukum yang terkandung di dalam al-Sunnah sejalan dengan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an adalah undang-undang yang harus di ikuti.
Mengingat pentingnya alasan diatas, maka pemahaman mengenai perkembangan as Sunnah ini menjadi sangat penting. Dalam makalah ini, pemakalah berusaha menyajikan bagaimana kepercayaan umat Islam terhadap as Sunnah itu sendiri, apakah dinamis ataukah statis?
B.  Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dibatasi pembahasannya dengan rumusan masalahnya sebagai berikut :
1.    Apakah yang dimaksud As Sunnah?
2.    Bagaimanakah kedudukan as Sunnah sebagai sumber hukum Islam?
3.    Bagaimanakah pengaruh kepercayaan umat Islam  terhadap perkembangan As Sunnah?
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian As Sunnah
1.    Pengertian
As Sunnah berasal dari bahasa arab yang secara etimologis berarti’ jalan yang biasa dilalui” atau “cara yang senantiasa dilakukan “ , atau “kebiasaan yang selalu dilaksanakan”, apakah kebiasaan atau cara itu sesuatu kebiasaan yang baik atau buruk. Secara terminologis, as Sunnah bisa dilihat dari tiga bidang ilmu, yaitu dari ilmu hadist, ilmu fiqh dan ushul fiqih.[1]
As Sunnah menurut para ahli hadist identik dengan hadist, yaitu: seluruh yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan ataupun yang  sejenisnya (sifat keadaan atau himmah). Sedangkan menurut  ahli ushul fiqh adalah  segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, berupa perbuatan, perkataan , dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum. Menurut mereka, di samping pengertian yang dikemukakan para ulama’ ushul fiqh di atas, juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taqlifih, yang mengandung pengertian perbuataan yang apabila dikerjakan mendapat pahaladan apabila ditinggalkan tidak medapat siksa (tidak berdosa).
Akan tetapi para ulama Ushul Fiqh, membatasi pengertian hadits  hanya pada ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum, sedangkan bila mencakup, pula perbuatan dan taqrir yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai dengan Sunnah.
Dalam kondisi yang lain terkadang dengan perbuatan, beliau menerangkan maksudnya. Seperti pelajaran shalat yang beliau ajarkan kepada mereka (para sahabat) secara praktek dan juga cara-cara ibadah haji. Dan kadang para sahabatnya brbuat sesuatu di hadiratnya atau sampai berita-berita berupa ucapan atau tindakan mereka kepada beliau, tetapi hal ini tidak di ingkarinya, bahkan didiamkannya saja, padahal beliau sanggup untuk menolaknya(kalau tidak dibenarkan) atau nampak padanya setuju dan senang.
2.    Perbedaan Hadist dengan Sunnah
Menurut Nur Cholis Majid, Sunnah  lebih  luas  daripada  hadits,  termasuk  yang  sahih. Berarti,  sunnah  tidak  terbatas hanya pada hadits. Sekalipun pengertian ini cukup jelas, namun masih juga sering mengundang kekaburan.  Memang,  antara sunnah dan hadits terbentang garis kontinuitas yang tidak terputus, namun mencampuradukkan antara keduanya tidak dapat dibenarkan.
Jika disebutkan oleh Nabi bahwa sunnah merupakan pedoman kedua setelah Kitab Suci bagi kaum muslim dalam memahami agama, maka sesungguhnya  Nabi  hanya  menyatakan sesuatu yang amat logis. Yaitu, dalam memahami agama dan melaksanakannya,  orang  Islam tentu  pertama-tama  harus  melihat  apa  yang ada dalam Kitab Suci, kemudian, kedua, harus  mencari  contoh  bagaimana  Nabi sendiri  memahami dan melaksanakannya. Sebab, Nabi-lah sebagai utusan Tuhan, yang secara logis paling  paham  akan  apa  yang dipesankan Tuhan pada manusia melalui beliau, juga yang paling tahu bagaimana melaksanakannya. Pengertian lain yang menyalahi hal itu mustahil dapat diterima.
Pemahaman  Nabi  terhadap  pesan  atau wahyu Allah itu teladan beliau dalam melaksanakannya membentuk "tradisi" atau "sunnah" kenabian (al-sunnah al-Nabawiyyah). Sedangkan hadits merupakan bentuk reportase atau penuturan tentang  apa  yang  disebabkan Nabi  atau  yang  dijalankan dalam praktek tindakan orang lain yang "didiamkan" beliau (yang dapat  dapat  diartikan  sebagai
"pembenaran").  Itulah  makna  asal kata hadits, yang sekarang ini definisinya makin luas batasannya dan komprehensif.  Namun demikian,   tidak   berarti  bahwa  hadits  dengan  sendirinya mencakup seluruh sunnah.
Jika sunnah merupakan keseluruhan  perilaku  Nabi,  maka  kitadapat  mengetahui  dari  sumber-sumber  yang  selama ini tidak dimasukkan sebagai  hadits,  seperti  kitab-kitab  sirah  atau biografi Nabi. Sebab, dalam lingkup sunnah sebagai keseluruhan tingkah laku Nabi,  harus  dimasukkan  pula  corak  dan  ragam tindakan  beliau,  baik sebagai pribadi maupun pemimpin. Dalam kedudukan beliau sebagai  pemimpin  itulah  Kitab-kitab  sirah banyak memberi gambaran.
Di antara kitab-kitab sirah, termasuk yang sangat dini ditulis ialah Sirah Ibn Ishaq yang kemudian disunting oleh Ibn  Hisyam (berturut-turut  wafat pada tahun 151 dan 219 Hijri). Meskipun wafat di Baghdad, Ibn Ishaq lahir di Madinah  (pada  tahun  85 H),  dan tumbuh sebagai sarjana terkemuka di kota Nabi. Dan ia
telah mengumpulkan bahan untuk kitab sirah-nya  beberapa  lama sebelum usaha-usaha pengumpulkan hadits.
Sebelum  Ishaq,  telah  muncul  berbagai  karya  tulis tentang riwayat  peperangan  Nabi  yang  lazim   disebut   kitab-kitab al-Maghazi.   Kitab-kitab   itu,  bersama  dengan  kitab-kitab biografi Nabi yang lain amat penting, karena  memuat  gambaran tentang perjalanan hidup Nabi khususnya dalam kapasitas beliau sebagai pemimpin. Maka, kitab-kitab itu juga merupakan  sumber yang baik untuk memahami sunnah, khususnya, jika yang dimaksud selain tindakan-tindakan Nabi atau sabda beliau yang  bersifat terpisah dan ad hoc seperti umumnya tema catatan hadits.
Dalam sejarah terbukti bahwa pembacaan biografi Nabi, khususnya yang
berkaitan dengan riwayat peperangan beliau yang dikena sebagai al-Maghazi   tersebut,   berhasil    membangkitkan    semangat perjuangan  Islam,  karena  ilham  teladan  baik  dari beliau. Inilah  "eksperimen"  Sultan  Shalah  al-Din  al-Ayyubi  dalam menghadapi tentara Salib, yang ternyata berhasil gemilang. Dan
dengan  "eksperimen"  itu  pemimpin  Islam  dari  Mesir   yang kemudian   terkenal   dengan   sebutan  "Sultan  Saladin"  itu mewariskan pada Umat Islam seluruh dunia tradisi Maulid, yaitu upacara  memperingati  kelahiran  Nabi  dengan membaca riwayat hidup beliau.
Sunnah  Nabi   harus   pula   dipahami   sebagai   keseluruhan kepribadian Nabi dan akhlak beliau, yang dalam kepribadian dan akhlak beliau disebutkan dalam Kitab Suci sebagai teladan yang baik   (uswah  hasanah)  bagi  kita  semua  "yang  benar-benar berharap pada Allah pada Hari  Kemudian,  serta  banyak  ingat kepada Allah"   (Q.S.   al-Ahzab  33:32).    Dan  beliau  juga dilukiskan dalam Kitab Suci  sebagai  seorang  yang  berakhlak amat  mulia  (Q.S. al-Qalam 68:4). Dengan demikian Nabi, dalam hal ini tingkah laku dan kepribadian  beliau  sebagai  seorang yang  berakhlak  mulia,  menjadi  pedoman  hidup kedua setelah
Kitab Suci bagi seluruh kaum beriman. Tetapi justru karena itu maka memahami sunnah Nabi tidak dapat lepas  dari  memahami  Kitab  Suci sendiri. Sebab sesungguhnya akhlak Nabi yang mulia itu tidak lain  adalah  semangat  Kitab
Suci  al-Qur'an  itu  sendiri, sebagaimana dilukiskan A'isyah, isteri beliau. Dari Kitab Suci kita  mengetahui  lebih  banyak perkembangan  kepribadian  Nabi  yang menggambarkan pengalaman Nabi, baik yang menyenangkan atau tidak,  yang  keseluruhannya menampilkan   sosok   Nabi  yang  berkeprlbadian  mulia.  Dari pengamatan atas  gambaran  itu  kita  dapat  memperoleh  ilham tentang  peneladanan  pada  beliau,  dan  keseluruhan  sasaran peneladanan itu tidak lain ialah sunnah nabi

B.  As Sunnah Sebagai Sumber Hukum
Sebagai sumber hukum Islam, ayat-ayat Al-Qur’an menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-Hadits. Di dalam al-Quran dijelaskan umat Islam harus kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.[2]
Diantara ayat-ayatnya adalah sebagai berikut:
1.    Setiap Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah.

(Al-Anfal: 20, Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah: 92).
2.    Patuh kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah. (An-Nisa: 80, Ali ‘Imran: 31)

3.    Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5, An-Nisa: 115)

4.    Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65)

Kemudian bagaimana jika ada suatu masalah yang belum dibahas di dalam al Qur’an? Nah, pada alasan inilah selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah.
Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.[3]
Imam-imam pembina mazhab semuanya mengharuskan kita umat Islam kembali kepada As_sunnah dalam menghadapi permasalahannya.
Asy-Syafi’i berkata;
إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله ص م فقولوا بسنة رسول الله ص م ودعوا ما قلت
Artinya :  “apabila kamu menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlawanan dengan sunnah Rasulullah Saw. Maka berkatalah menurut Sunnah Rasulullah Saw, dan tinggalkan apa yang telah aku katakan.”

Perkataan imam Syafi’I ini memmberikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus kita tinggalkan apabila dalam kenyataannya berlawanan dengan hadits Nabi Saw. Dan apa yang dikat erikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus kita tinggalkan apabila dalam akan Asy-Syafi’I ini juga dikatakan oleh para ulama yang lainnya.[4]
Tetapi Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya. Untuk mengetahui  sejauh mana kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam, dapat dilihat dalam beberapa dalil, baik dalam bentuk naqli ataupun aqli.

C.  Pengaruh Kepercayaan terhadap As Sunnah
Kondisi sosial-politik dan orientasi umat Islam yang terus berubah sangat mempengaruhi perspektif dan pola pemikiran dalam menggali, mengkaji, dan memahami Sunnah nabi Muhammad Saw. Berbagai metode dapat dilakukan, seperti reinterpretasi, takwil dan tekstual. Seharusnya dua aspek Sunnah Nabi (metode Nabi dan contoh prakteknya) dipelajari secara seimbang, jangan mengkaji aspek praktek yang bersifat harfiyah-teknis-sektoral, dan kurang memperhatikan aspek metode dan pola pikir Nabi yang bersifat substansi-komprehensif. Akibatnya Sunnah Nabi pun menjadi hadis dan didefinisikan sekarang ini. Padahal hadis hanya media teks dan informasi yang dibawa periwayat dan ditransmisi dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan belum tentu menjadi Sunnah Nabi.
Kajian dan dan penerapan hadis Nabi pada era modern menghadapi tantangan berat, yang ditandai dengan munculnya spirit rasional, positivisme, dan paradigma pluralisme atas dasar sikap inklusifitas kemanusiaan. Problem kajian bukan saja bersifat klasik seperti Inkarussunnah dan sebagian Orientalis-Islamolog yang subyektif, tetapi persoalan tersebut juga bersumber dari internal muhaddisin sendiri yang mengembangkan pola kajian hadis secara stagnan dan rigid.
Pada era kejayaan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam masa klasik, kajian hadis merupakan ilmu yang dianggap paling awal berkembang dan mencapai puncak kematangan. Metode ilmiah  pertama dalam bangunan ilmu-ilmu keislaman klasik justru ditemukan  dalam ilmu hadis. Di dalamnya telah dipadukan epistemologi bayani dan burhani dengan struktur pemikiran deduksi dan induksi. Melalui teknik verifikasi data yang populer dalam logika empiris ilmu sejarah, maka kajian hadis banyak menghasilkan temuan-temuan baru yang orisinal dan dinamis.
Dalam kondisi diatas, muncul dialektika keilmuan dan suasana kebebasan, bukan saja di wilayah institusi pendidikan tetapi juga dalam  ranah keseharian umat Islam. Masterpiece yang telah diciptakan oleh imam al-Bukhari berupa kitab Sahih al-Bukhari sangat dihargai dan dihormati, tetapi ilmuan lain seperti Muslim, al-Nasai, al-Hakim dan al-Daruqutni, tidak segan-segan untuk mengkritik, merevisi dan lalu mengembangkannya.
Dampak dialektika ini luar biasa, sebagaimana ditegaskan oleh imam al-Zarkasyi, ilmu hadis menjadi ilmu paling siap dan dinamis saat itu. Namun suasan politik dan orientasi umat Islam yang berubah dalam perkembangan selanjutnya sangat mempengaruhi perspektif dan pola pemikiran dalam menggali, mengkaji, dan memahami hadis. Pembekuan dan pembakuan kajian hadis dengan standar ortodoks, kaku dan irrasional (tidak logis) merupakan faktor utama kemunduran ilmu tersebut

BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
1.    Pengertian  As Sunnah adalah seluruh yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan ataupun yang  sejenisnya (sifat keadaan atau himmah). Sedangkan menurut  ahli ushul fiqh adalah  segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, berupa perbuatan, perkataan , dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum.
2.    As Sunnah sebagai sumber hukum Islam bertujuan untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah.
3.    Kepercayaan umat Islam  terhadap perkembangan As Sunnah pada era modern menghadapi tantangan berat, yang ditandai dengan munculnya spirit rasional, positivisme, dan paradigma pluralisme atas dasar sikap inklusifitas kemanusiaan. Problem kajian bukan saja bersifat klasik seperti Inkarussunnah dan sebagian Orientalis-Islamolog yang subyektif, tetapi persoalan tersebut juga bersumber dari internal muhaddisin sendiri yang mengembangkan pola kajian hadis secara stagnan dan rigid

B.  Penutup
Demikian  makalah  ini kami susun. Semoga para pembaca dapat memahami materi pengaruh kepercayaan umat Islam terhadap as Sunnah dengan baik. Permohonan  maaf  penulis atas segala kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Kritik dan saran  yang membangun sangat kami harapkan guna memperbaiki penyusunan makalah  selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis maupun  pembaca pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Hasbi Ash-Shiddieqy, Prof.Dr.T.M. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits 2, Jakarta : Bulan Bintang, 1976
Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis, Semarang : RaSAIL Media Grup, Semarang, 2007.
Syuhudi Ismail, Prof. Dr. H. M, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta : Penerbit Bulan Bintang, 1995




[1]  Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis, Semarang : RaSAIL Media Grup, Semarang, 2007. Hal. 5
[2]  Prof.Dr.T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits 2, Jakarta : Bulan Bintang, 1976, hal.365
[3]  Syuhudi Ismail, Prof. Dr. H. M, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta : Penerbit Bulan Bintang, 1995
[4]  Ibid.,hal.357


Selamat Membaca

Tidak ada komentar:
Write comments