UPAYA MENANGKAL DIKOTOMISASI PENDIDIKAN
MELALUI PENDEKATAN HUMANISME RELIGIUS
Salah satu faktor kemunduran Islam adalah
upaya dikotomisasi ilmu pengetahuan. Akibatnya, ruang lingkup pendidikan islam
semakin terbatas. Pengetahuan Islam dihadapkan dengan protestan, Timur dengan
Barat, sains dengan agama, serta orientasi humanis dengan orientasi religious
hingga keduanya dianggap berbeda dan pantas untuk dibeda-bedakan.padahal semua
ilmu itu datang dari Allah Swt dan semuanya digunakan di jalan Allah Swt. Atas
dasar inilah, Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D menolak dengan tegas adanya
dikotomisasi pendidikan.
Berdasarkan masalah diatas, studi yang
dilakukan penulis mampu menjawab pokok masalahnya. Bahasanya
lugas, diksi mudah dipahami, namun tidak mengaburkan substansi. Pemikirannya bebas
dan mendasar, namun tidak mengingkari paradigma pendidikan Islam. Terlebih lagi
karakter ilmu-ilmu pesantren begitu kuat semakin menambah khasanah penulisan
buku ini. Lebih tepatnya, buku ini menunjukkan moderasi pendidikan Islam yang
sesungguhnya.
Untuk mengejawantahkan ide format
pendidikan nondikotomik, penulis menjadikan buku ini menjadi enam bab. Diawali
dengan bab pendahuluan, kemudian sebagai dasar kajian atau latar belakang pentingnya
pendidikan nondikotomik dijelaskan landasan ideologis pendidikan Islam. Tidak
hanya itu, sejak kapan dan bagaimana pendidikan dikotomik dan nondikotomik itu
terjadi juga dibahas dalam kajian ini. Lebih tepatnya pada bab ketiga yang
membahas munculnya era nondikotomik dan dikotomik. Kemudian solusi apa yang
diketengahkan, sudah dijelaskan pada bab selanjutnya, yaitu bab empat
memperkenalkan Humanisme Religius dan kemudian dijelaskan pula bagaimana
implikasinya dalam pendidikan Islam. Kalam akhir menempati bab terakhir dan
dijadikan sebagai penutup serta mempertegas posisi buku ini dalam menentang
dikotomisasi pendidikan.
Sebagai pembuka, penulis menilai
keberagamaan di Indonesia masih jauh dari nuansa humanisme. Setidaknya, apa
yang dikehendaki dengan humanisme dalam pendidikan Islam mencakup 3 aspek
penting, yaitu manusia sebagai makhluk sosial, manusia sebagai makhluk
religious dan manusia sebagai individu yang dipercaya oleh Tuhan untuk
mengembangkan potensi-potensi yang ada pada dirinya untuk kehidupan dunia dan
akhiratnya. Humanisme tidak memberi batasan pada individu untuk mempunyai satu
pandangan hidup saja, akan tetapi memberi kebebasan dan ikhtiar apapun yang
harus dilakukan. Meski demikian, pada akhirnya tanggung jawab dunia dan akhirat
teretak pada manusia sebagai individu juga. Sebagaimana firman Allah Swt yang
dikutip berbunyi, “Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib (kondisi) sebuah
kaum (individu/masyarakat), hingga kaum itu merubah apa yang ada dalam diri
mereka.” Jadi, manusia sebagai makhluk individu harus juga adapat berpikir
secara rasional.
Secara umum buku Menggagas Format
Pendidikan Nondikotomik ini berusaha menjelaskan bagaimana pendidikan Islam
memandang manusia, bagaimana kedudukan manusia dengan ilmu pengetahuan dan
bagaimana kualitas lulusan pendidikan Islam. Sebagai sudah dijelaskan
sebelumnya, peran aktif individu dengan penekanan tanggung jawabnya sebagai
Khalifatullah adalah central ideology yang harus ditanamkan. Ideologi
tersebut menjadi inti dari pengembangan humanisme dalam pendidikan Islam. Nah,
dalam perspektif ini penulis konsiten menggunakan istilah “humanisme religus”
bukan “Islam Liberal” atau “Islam Fundamentalis”.
Format pendidikan Islam nondikotomik yang
dikehendaki penulis adalah pendidikan yang tidak berkonotasi semata-mata pada
nilai-nilai pendidikan yang terkait dengan al-ulum al-dunyawiyah atau
juga tidak semata-mata berkonotasi pada al-ulum al-kauniyah.
Implementasi di masyarakat sebenarnya sudah mengintegrasikan keduanya, namun
belum semuanya formal. Oleh karena itu, pendidikan yang memisahkan antara ilmu
agama dengan ilmu umum menurut penulis belum dikatakan sebagai pendidikan Islam
yang komprehensif (kaffah). Lembaga pendidikan yang menyelenggarakan
dikotomisasi pendidikan Islam cenderung menciptakan jumlah pengangguran baru
dan menjadikan masalah sosial di masyarakat.
Beberapa catatan penulis mengenai lembaga
pendidikan keagamaan antara lain :
1. Pendidikan keagamaan tidak sejalan dengan perkembangan dunia ilmu
pengetahuan
2. Lulusan sarjana baru sulit memperoleh pekerjaan dan lemah dalam bersaing
dengan sarjana luar negeri
3. Pendidikan Islam cenderung eksklusif dan tertutup dengan tantangan
kekinian
4. Pendidikan Islam kurang mampu merelevansikan hubungan dan pengaruhnya
antar manusia, masyarakat, alam dan perkembangan ilmu pengetahuan
Inilah beberapa alasan pentingnya buku ini
harus dikaji dan dijadikan sebagai pedoman dalam implementasi pendidikan Islam
dimasyarakat yang seharusnya. Pendidikan Islam yang mampu berjalan beriringan
dengan dunia ilmu pengetahuan dan sigap dalam menghadapi tantangan perubahan
zaman.
Dalam mengawali ide dasar gagasan
pendidikan nondikotomik ini, penulis menegaskan bahwa pada empat abad pertama
sejak munculnya Islam (7-11 M) tidak ditemukan dikotomi antara ilmu agama
dengan ilmu-ilmu umum, namun setelah munculnya dikotomi pada abad ke 12, umat
Islam lebih puas pada pendalaman ilmu-ilmu agama. Sebagai buktinya, Imam AL
Ghazali saat itu mengkategorisasikan ilmu sains dan teknologi sebagai fardlu
kifayah. Bahkan di madrasah imam Al Ghazali mengajar, yaitu di madrasah
Nizamiyah selama 25 tahun tidak menawarkan ilmu-ilmu non-agama sama sekali. Hal
ini menjadi salah satu indikator kemunduran suatu peradaban. Umat Islam di masa
itu, terjangkit virus kelesuan intelektualisme. Setidaknya menurut Isma’il
Raji’ al Faruqi ada empat faktor yang menyebabkannya, yaitu penyempitan makna
fikih, pertentangan wahyu dan akal, keterpisahan antara kata dan perbuatan dan
berpandangan sekulerisme dalam memahami budaya dan agama.
Pada akhirnya umat Islam mengalami
kemunduran dan mengalami penderitaan intelektual sebagai akibat dari pola pikir
dikotomis ini. Contoh sederhana santri versus non-santri. Dekade 80-an terkesan
bahwa yang santri ada mereka yang hanya medalami ilmu agama, sedangkan non
santri adalah mereka yang mendalami ilmu-ilmu sekuler. Pandangan dikotomisasi
ini berbeda jauh dengan konsep pendidikan masa klasik. Sebagaimana apa yang
dikatakan oleh Ibnu Hazm (w.1064 M) yang menganjurkan pendidikan dimasa
anak-anak lebih didekatkan pada pendidikan dasar Islam (al Qur’an, tauhid,
& syari’at Islam) sebagai landasan perkembangan anak. Kemudian diikuti oleh
ilmu-ilmu alam, matematika, ilmu bumi, sejarah dan sebagainya pada usia-usia
selanjutnya dalam memperkuat Islam dan pengagungan Ilahi. Begitu juga dengan al
Mas’udi (W. 956 M) yang dikenal sebagai ahli filsafat, musafir keliling dunia,
ahli geografi, tetapi beliau dikenang dengan spesialisasinya sebagai sejarawan.
Untuk memahami sejarah dikotomisasi ilmu
pengetahuan, maka harus diketahui landasan ideologis pendidikan Islam. Ajaran
dasar tentang transmisi ilmu pengetahuan adalah wahyu pertama yang diturunkan
kepada Nabi, yaitu Q.S. al Falaq ayat 1 – 5 tentang perintah membaca. Islam
menempatkan Ilmu pengetahuan pada status yang istimewa. Allah akan meninggikan
derajat mereka yang beriman diantara kaum muslim dan mereka yang berilmu. Untuk
bisa membaca setidaknya membutuhkan dua elemen, yaitu basar “penglihatan” dan
basira “kekuatan persepsi mental atau ketajaman pikiran”. Pada ayat
selanjutnya, terdapat kata al Qalam, pena. Allah mengajar manusia bagaimana dan
apa yang belum diketahui. Ayat ini menunjukkan arti penting membaca dan menulis
yang dilambangkan dengan al Qalam. Qalam adalah simbol transformasi ilmu
pengetahuan, nilai dan keterampilan dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
Disamping itu, pendidikan dalam memandang Islam adalah agama yang
sudah sempurna, lebih tepatnya dalam buku tersebut penulis menggunakan istilah
“satu peradaban sempurna”. Peradaban islam merupakan peradaban baru yang
esensinya berbeda dengan peradaban sebelumnya. Peradaban yang ditinggalkan
Nabi, jelaslah sangat berbeda dengan peradaban Arab jahiliyah. Dengan demikian,
Islam telah melahirkan revolusi kebudayaan dan peradaban. Letak perbedaaannya
pada kokohnya landasan budaya dan peradaban itu berdiri dan bersandar. Menurut
penulis, perbedaaan itu ada lima point, yaitu konsep tauhid yang kuat, pesan
universalitas al Qur’an, penegakan prinsip moral, budaya toleransi yang tinggi
dan keutamaan belajar dan memperoleh ilmu.
Peradaban Islam yang dimaksud penulis ini telah banyak memberikan
kontribusi dan cukup signifikan dalam bidang pendidikan pada dunia Barat,
antara lain :
1.
Sepanjang
abad ke -12 dan sebagian abad ke-13, karya-karya muslim dari bidang filsafat,
sains, dan sebagainya telah diterjemahkan kedalam bahasa latin, khususnya dari
Spanyol.
2.
Muslim
telah memberi sumbangan eksperimental mengenai metode dan teori sains ke dunia
Barat.
3.
Sistem
notasi dan desimal Arab dalam waktu yang sama di kenalkan ke dunia Barat.
4.
Karya
terjemahan, khususnya dari Ibnu Sina bidang kesehatan dipakai sebagai teks di
lembaga-lembaga pendidikan tinggisampai pertengahan abad ke-17.
5.
Ilmuwan
muslim dengan karyanya telah merangsang kebangkitan Eropa dan memperkaya
kebudayaan Romawi kuno serta literatur klasik yang pada gilrannya melahirkan Renaissance.
6.
Lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang telah didirikan jauh sebelum Eropa bangkit, dalam bentuk
ratusan madrasah adalah pendahulu-pendahulu universitas-universitas Eropa.
7.
Para
ilmuwan muslim berhasil melestarikan pemikiran dan tradisi ilmiah Romawi-Persia
sewaktu Eropa dalam kegelapan.
8.
Sarjana-sarjana
Eropa banyak belajar di berbagai lembaga pendidikan tinggi dunia Islam dan
mentransfer ilmu pengetahuan ke dunia Barat.
9.
Ilmuwan-ilmuwan
muslim telah menyumbangkan pengetahuan
tentang rumas sakit, sanitasi, serta makanan ke Eropa.
Selama abad pertengah Islam, sejak abad ke-7 sampai abad ke-11,
Islam tidak mengenal dikotomisasi pendidikan. Peran abi Muhammad sebagai Nabi
dan Rasul sekaligus sebagai pendidik mewariskan tradisi intelektual yang begitu
luar biasa sehingga nabi Muhammad menjadi role model atau uswatun
hasanah bagi umat muslim dunia. Nabi Muhammad sangat peduli terhadap
pendidikan umat. Disamping beliau sangat menggerakkan umatnya untuk belajar
baca tulis, beliau juga mengangkat beberapa sahabat nabi untuk menjadi pengajar
di sekolah Suffa di kota Madinah, khususnya pelajaran menulis dan studi
al Qur’an. Semangat mencari ilmu pengetahuan sangat digencarkan, sehingga umat
muslim saat itu sangat termotivasi. Sebagaimana anjuran nabi, “ballighu ‘anni
walau ayah”.
Dinamika perkembangan umat Islam abad pertengahan sebagai
dijelaskan diatas menunjukkan kegairahan mencari ilmu yang luar biasa.
Disamping itu, umat Islam konsisten melaksanakan sabda nabi dan betul-betul
mengaplikasikan pada kehidupan sehari-hari. Pada abad ini, nampak hubungan yang
harmonis dan dialogis antara ilmu agama dan umum. Pada masa ini, keduanya
saling melengkapi. Muncul diera pertama, yaitu ilmu-ilmu tentang tafsir al
Qur’an, ilmu hadits, hukum Islam dan tauhid. Di masa ini, lahirlah para pendiri
empat imam Madzhab, yaitu Imam Abu Hanifah (w.767 M), Imam Malik (w.795 M),
Imam Syafi’i (w.820 M) dan Imam Ahmad Ibn Hanbal (W.855 M). Dari keempat imam
inilah, framework Islam begitu kuat hingga sekarang ini. Pengaruh
pemikiran mereka menyebar hingga ke penjuru dunia karena semasa hidup secara
total dikerahkan untuk mencari ilmu, pengembangan dan penyebarannya dengan
penuh komitmen.
Berikut akan disajikan beberapa contoh keuletan ulama dalam mencari
dan mengembangkan ilmu pengetahuan di masa klasik oleh penulis, sebagai berikut
:
1.
Ibn
Hanbal berkata pad amurid-muridnya, “jikakalian melihat orang yang berlari-lari
di jalan, maka akan ada dua kemungkinan yang perlu kalian simpulkan, yakni dia
adalah orang gila atau pecinta hadis.” Kebetulan sutau hari guru ini
berlari-lari menuju ke kelas agar bisa mengajar tepat pada waktunya dan
diketahui oleh seseorang. Orang yang terakhir tahu ini semakin heran ternyata
yang berlari itu adalah seorang ulama besar dimasanya. Bertanyalah dia pada
tokoh tersebut, “Apakah Anda tidak malu berlari-lari seperti anak kecil? Sampai
kapan Anda bersikap seperti itu?” Ibn Hanbal menjawab,”Sampai saya menghadap
Allah nanti.”
2.
Pada
suatu hari murid-murid Imam Syafi’i ingin menghiburnya dengan menghadiahinya
seorang budak perempuan yang elok. Slvae-girl yang sudah diamanatkan untuknya
itu ternyata tidak mendapatkan perhatiannya. Setelah bidadari cantik itu frustasi
karena bermalam-malam sendirian di rumah ilmuwan ini, akhirnya dia mengeluh
kepada mahasiswa-mahsiswanya di esok harinya. “kalian telah mengikat saya pada orang
gila.” Mendapatkan laporan dari mahasiswanya, Imam Syafi’i tidak terusik
dan menjawab dengan sederhana dan polos, “Orang gila adalah orang yang memahami
nilai ilmu, kemudian dia asyik dengan ilmu, menggugat sebuah penemuan
penelitian atau juga melengkapinya, hingga dia selalu bergelut dan asyik
bersamanya di mana saja, kapan saja.”
3.
Imam
Bukhari (W.870 M) meninggalan negerinya, Turkistan, menuju Baghdad, pusat
intelektual dimasanya, kemudian melanjutkan ke jantung Arab, Mekkah-Madinah,
kemudian Mesir, dan Syria. Selama 16 tahun perjalanan dia menyeleksi
hadis-hadis sehingga mampu merangkai 60.000 hadis sahih. Meski demikian, dengan
keuletannya 60.000 hadis tersebut diseleksi lagi menjadi 7.000 hadis yang
akhirnya menjadi kitab Sahih Bukhari.
4.
Dalam
bidang al Qur’an, kita dapatkan penafsir kenamaan,yaitu al-Tabari (W.923 M)
dengan tafsir al Qur’annya yang orisinir dan sizeable. Bidang tauhid ada
nama Hasan al Basri (W.728 M), yang juga terkenal sebagai tokoh sufi dan al
Asy’ari (W.935 M).
5.
Dalam
bidang ilmu umum, misal filsafat, fisika, kimia, matematika, dll, kita
mendapatkan nama al Farabi, al Kindi, dan Ibn Sina.
Dan perlu digaris bawahi, bahwa pad amasa ini ilmu pengetahuan
Islam semakin hari semakin berkembang.satu penemuan dilengkapi penemuan yang
lain sehingga bisa diwariskan secara turun temurun. Secara keilmuwan masih
belum menampakkan dikotomi antara ilmu agama dan non-agama. Keduanya saling
melengkapi dan mendukung. Meski pada masa dinastii Fatimiyyah, dinasti Syi’ah
yang berkuasa saat itu, terjadi gejolak yang akhirnya mengakibatkan beberpa
sekte-sekte Syi’ah, ini tidak memberikan dampak yang berarti. Gairah mencari
ilmu tetap bersinar, meski kondisi politik dan sosial berkecamuk.
Sampai akhirnya, hadirlah simtom dikotomik pada dunia Islam. bagaikan
sebuah wabah simtom, dikotomi menyerang ke seluruh penjuru kehidupan umat
Islam, dari pribadi ke komunitas Islam, dari raja sampai ke rakyat jelata, dari
luar lembaga ke dalam lembaga pendidikan, dan seterusnya. Era dikotomik ini
ditandai dengan polarisasi yang tajam antara Sunni dan Syi’ah, antara
faksi-faksi dalam Sunni sendiri, serta ekstrimitas fanatisme mazhab dan aliran
teologi yang berlebihan. Menurut penulis, awal dari dikotomisasi ini adalah
berdirinya Madrasah Nizamiyyah di Baghdad (459 H/1069 M). Lembaga
ini,berdasarkan kesimpulan dari George Maksidi bahwa Madrasah Nizamiyyah dirancang
sebagai lembaga pengajaran fikih an sich dan tidak mengajarkan mata
pelajaran agama lainnya. Berdirinya lembaga ini pun masih terbuka untuk
didiskusikan karena penelitian yang teraktual menyimpulkan sesungguhnya apa
yang diajarkan di lembaga pendidikan ini dan lembaga-lembaga semacamnya tidak
ada bukti langsung. Ini artinya, barangkali ada muatan politis untuk
mengimbangi kekuatan lembaga dari Syi’ah maupun Hanbaliyah. Hadirnya madrasah
ini, setidakny amelahirkan dua ulama terkemuka madzhab Syafi’iyah, yaitu Imam
al Ghazali dan Abu Ishaq al Shirazi.
Meski madrasah Nizamiyah diklaim sebagai awal mula hadirnya
dikotomi pendidikan, bukan serta merta Imam al Ghazali juga dikalim sebagai
Guru Besar yang dikotomik. Beliau datang tepat di zamannya(W.913 M). Sebelumnya al Asy’ari telah men-TKO
Mu’tazilah dalam ilmu kalam. Sementara itu, Imam al Ghazali dalam filsafat
Islam memberikan tadzkirah, warning
terhadap para pemikir Islam tersebut. Melalui madrasah Nizamiyah,
pikiran-pikiran teologis Imam al Ghazali semakin kokoh menemukan akarnya yang
kuat. Bahkan kekuatan pemikirannya sampai ke Indonesia, sejaka zaman Walisongo
abad ke-15 sampai 16. Mutiara-mutiara al Ghazali merupakan referensi penting
bagi sufisme yang berkembang di Indonesia.
Bagaimana mengatasi dikotomisasi pendidikan yang semakin merebak
ini? Penulis menawarkan sebuah format yang berhaluan pada filsafat humanisme.
Semestinya kita tahu, kultur humanisme ini adalah tradisi rasional dan empiris
yang sangat relevan dengan kehidupan manusia. Ada banyak jenis humanisme, yang
dikehendaki penuli adalah humanisme religius. Humanisme ini muncul dari etika
kebudayaan, unitarianisme, dan universalisme. Religius disini melengkapi kata
humanisme secara fungsional adalah agama yang berfungsi melayani kebutuhan personal
atau kelompok sosial yang terinternalisasikan dalam hati menjadi sebuah sebuah
keyakinan (iman).
Mengapa Humanisme Religius diperlukan? Untuk menjawab ini, penulis
memaparkan empat alasan yang utama, yaitu sebagai berikut.
1.
Keberagaman
di Indonesia cenderung menekankan kepad aaspek hubungan virtual dan kesemarakan
ritual
2.
Jauhnya
orintasi kesalehan sosial di masyarakat
3.
Potensi
anak didik belum dikembangkan secara proporsional dan belum berorientasi pada
pengembangan Sumber Daya Manusia
4.
Kemandirian
dan tanggung jawab anak didik masih jauh dalam capaian dunia pendidikan
Pada prinsipnya, penerapan Humanisme Religius akan memberikan
pengaruh dan berdampak positif terhadap perkembangan anak didik. Karena didalam
dunia pendidikan, dengan konsep ini, anak didik akan terfokus pada akal sehat
(common sense), individualisme menuju kemandirian dan tanggung jawab, thirts
for knowledge, pendidikan prularisme, kontekstualisme yang lebih
mementingkan fungsi dari pada simbol, serta keseimbangan antara reward
dan punishment.
Buku Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik yang setebal 240
halaman ini ternyata mampu mengilhami pandangan baru pendidikan Islam yang
lebih mengharagai sisi kemanusiaannya. Menurut saya, buku sangat komplek
dan genius dalam mengupas masalah. Kecerdasan buku ini, salah satunya
mampu mengungkap tabir sejarah madrasah Nizamiyah dan sosok Imam al Ghazali
yang dianggap sebagai pemikir nondikotomik dimasanya dan kemudian mengilhami
para pemikir Islam untuk hanya fokus pada ilmu-ilmu agama saja. Namun, keduanya
pertanyaan tersebut ditepis mentah-mentah dalam buku ini.
Manfaat lain dari buku ini
adalah seperti rangkuman dari banyak fan-fan disiplin ilmu. Ada filsafat,
sejarah, pendidikan, sosial, dan lain sebagainya. Jika dibaca dengan seksama,
pendekatan yang dipakai penulis sangatlah kuat sekali, terutama melandasi
pemikirannya dengan kaidah-kaidah ilmu-ilmu pesantren. Inilah yang
membedakannya dengan penulis manapun. Ini artinya, kaidah-kaidah pesantren
sejajar dengan pemikiran-pemikiran sekuler hellenistik atau bahkan
kebudayaannya lebih tinggi.
Kelebihan buku ini, dari segi karakter penulisan diksi yang
digunakan sangat kuat dan teratur, tidak tumpang tindih, sehingga pemahamannya
bisa utuh. Disamping itu, buku ini dilengkap 77 referensi, dalam dan luar
negeri, semakin menambah kosakata pemabacanya. Penggalan-penggalan kata atau
istilah yang umum seringkali ditulis dengan bahasa inggris.
Kekurangan buku ini, nyaris saya tidak menemukannya. Namun, dari
awal saya baca, saya tidak menemukan tulisan arab satupun, entah itu firman
ataupun maqolah. Bisa jadi, dalam aturannya tidak harus menampilkan font arab,
namun hemat saya akan lebih sempurna jika tulisan-tulisan inggris itu
disandingkan dengan tulisan-tulisan arab. Jadi, sempurnalah buku ini dari sudut
meteri maupun formatnya.
Untuk para pengkaji pendidikan Islam, dimanapun Anda berada, saya
menganjurkan, bahkan jika berkenan saya hendak mewajibkan untuk membaca buku
ini. Jika semula Anda meyakini pendidikan Islam jauh tertinggal dari Barat,
pastinya setelah membaca buku ini Anda akan menepis sendiri anggapan tersebut.
Justru anggapan tadi akan berbuah semangat dan motivasi diri untuk terus
berkarya, meneliti dan mengembangkan dunia pendidikan Islam. seharusnya
sekarang, pendidikan Islam lebih maju dari pada Barat. Jika bukan Anda yang
merealissasikannya, siapa lagi?
Selamat Membaca
Tidak ada komentar:
Write comments