Senin, 03 Juni 2019

Review Book : Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik

UPAYA MENANGKAL DIKOTOMISASI PENDIDIKAN 
MELALUI PENDEKATAN HUMANISME RELIGIUS


Salah satu faktor kemunduran Islam adalah upaya dikotomisasi ilmu pengetahuan. Akibatnya, ruang lingkup pendidikan islam semakin terbatas. Pengetahuan Islam dihadapkan dengan protestan, Timur dengan Barat, sains dengan agama, serta orientasi humanis dengan orientasi religious hingga keduanya dianggap berbeda dan pantas untuk dibeda-bedakan.padahal semua ilmu itu datang dari Allah Swt dan semuanya digunakan di jalan Allah Swt. Atas dasar inilah, Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D menolak dengan tegas adanya dikotomisasi pendidikan.
Berdasarkan masalah diatas, studi yang dilakukan penulis mampu menjawab pokok masalahnya. Bahasanya lugas, diksi mudah dipahami, namun tidak mengaburkan substansi. Pemikirannya bebas dan mendasar, namun tidak mengingkari paradigma pendidikan Islam. Terlebih lagi karakter ilmu-ilmu pesantren begitu kuat semakin menambah khasanah penulisan buku ini. Lebih tepatnya, buku ini menunjukkan moderasi pendidikan Islam yang sesungguhnya. 
Untuk mengejawantahkan ide format pendidikan nondikotomik, penulis menjadikan buku ini menjadi enam bab. Diawali dengan bab pendahuluan, kemudian sebagai dasar kajian atau latar belakang pentingnya pendidikan nondikotomik dijelaskan landasan ideologis pendidikan Islam. Tidak hanya itu, sejak kapan dan bagaimana pendidikan dikotomik dan nondikotomik itu terjadi juga dibahas dalam kajian ini. Lebih tepatnya pada bab ketiga yang membahas munculnya era nondikotomik dan dikotomik. Kemudian solusi apa yang diketengahkan, sudah dijelaskan pada bab selanjutnya, yaitu bab empat memperkenalkan Humanisme Religius dan kemudian dijelaskan pula bagaimana implikasinya dalam pendidikan Islam. Kalam akhir menempati bab terakhir dan dijadikan sebagai penutup serta mempertegas posisi buku ini dalam menentang dikotomisasi pendidikan.
Sebagai pembuka, penulis menilai keberagamaan di Indonesia masih jauh dari nuansa humanisme. Setidaknya, apa yang dikehendaki dengan humanisme dalam pendidikan Islam mencakup 3 aspek penting, yaitu manusia sebagai makhluk sosial, manusia sebagai makhluk religious dan manusia sebagai individu yang dipercaya oleh Tuhan untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada pada dirinya untuk kehidupan dunia dan akhiratnya. Humanisme tidak memberi batasan pada individu untuk mempunyai satu pandangan hidup saja, akan tetapi memberi kebebasan dan ikhtiar apapun yang harus dilakukan. Meski demikian, pada akhirnya tanggung jawab dunia dan akhirat teretak pada manusia sebagai individu juga. Sebagaimana firman Allah Swt yang dikutip berbunyi, “Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib (kondisi) sebuah kaum (individu/masyarakat), hingga kaum itu merubah apa yang ada dalam diri mereka.” Jadi, manusia sebagai makhluk individu harus juga adapat berpikir secara rasional.
Secara umum buku Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik ini berusaha menjelaskan bagaimana pendidikan Islam memandang manusia, bagaimana kedudukan manusia dengan ilmu pengetahuan dan bagaimana kualitas lulusan pendidikan Islam. Sebagai sudah dijelaskan sebelumnya, peran aktif individu dengan penekanan tanggung jawabnya sebagai Khalifatullah adalah central ideology yang harus ditanamkan. Ideologi tersebut menjadi inti dari pengembangan humanisme dalam pendidikan Islam. Nah, dalam perspektif ini penulis konsiten menggunakan istilah “humanisme religus” bukan “Islam Liberal” atau “Islam Fundamentalis”.
Format pendidikan Islam nondikotomik yang dikehendaki penulis adalah pendidikan yang tidak berkonotasi semata-mata pada nilai-nilai pendidikan yang terkait dengan al-ulum al-dunyawiyah atau juga tidak semata-mata berkonotasi pada al-ulum al-kauniyah. Implementasi di masyarakat sebenarnya sudah mengintegrasikan keduanya, namun belum semuanya formal. Oleh karena itu, pendidikan yang memisahkan antara ilmu agama dengan ilmu umum menurut penulis belum dikatakan sebagai pendidikan Islam yang komprehensif (kaffah). Lembaga pendidikan yang menyelenggarakan dikotomisasi pendidikan Islam cenderung menciptakan jumlah pengangguran baru dan menjadikan masalah sosial di masyarakat.
Beberapa catatan penulis mengenai lembaga pendidikan keagamaan antara lain :
1.    Pendidikan keagamaan tidak sejalan dengan perkembangan dunia ilmu pengetahuan
2.    Lulusan sarjana baru sulit memperoleh pekerjaan dan lemah dalam bersaing dengan sarjana luar negeri
3.    Pendidikan Islam cenderung eksklusif dan tertutup dengan tantangan kekinian
4.    Pendidikan Islam kurang mampu merelevansikan hubungan dan pengaruhnya antar manusia, masyarakat, alam dan perkembangan ilmu pengetahuan
Inilah beberapa alasan pentingnya buku ini harus dikaji dan dijadikan sebagai pedoman dalam implementasi pendidikan Islam dimasyarakat yang seharusnya. Pendidikan Islam yang mampu berjalan beriringan dengan dunia ilmu pengetahuan dan sigap dalam menghadapi tantangan perubahan zaman.
Dalam mengawali ide dasar gagasan pendidikan nondikotomik ini, penulis menegaskan bahwa pada empat abad pertama sejak munculnya Islam (7-11 M) tidak ditemukan dikotomi antara ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum, namun setelah munculnya dikotomi pada abad ke 12, umat Islam lebih puas pada pendalaman ilmu-ilmu agama. Sebagai buktinya, Imam AL Ghazali saat itu mengkategorisasikan ilmu sains dan teknologi sebagai fardlu kifayah. Bahkan di madrasah imam Al Ghazali mengajar, yaitu di madrasah Nizamiyah selama 25 tahun tidak menawarkan ilmu-ilmu non-agama sama sekali. Hal ini menjadi salah satu indikator kemunduran suatu peradaban. Umat Islam di masa itu, terjangkit virus kelesuan intelektualisme. Setidaknya menurut Isma’il Raji’ al Faruqi ada empat faktor yang menyebabkannya, yaitu penyempitan makna fikih, pertentangan wahyu dan akal, keterpisahan antara kata dan perbuatan dan berpandangan sekulerisme dalam memahami budaya dan agama.
Pada akhirnya umat Islam mengalami kemunduran dan mengalami penderitaan intelektual sebagai akibat dari pola pikir dikotomis ini. Contoh sederhana santri versus non-santri. Dekade 80-an terkesan bahwa yang santri ada mereka yang hanya medalami ilmu agama, sedangkan non santri adalah mereka yang mendalami ilmu-ilmu sekuler. Pandangan dikotomisasi ini berbeda jauh dengan konsep pendidikan masa klasik. Sebagaimana apa yang dikatakan oleh Ibnu Hazm (w.1064 M) yang menganjurkan pendidikan dimasa anak-anak lebih didekatkan pada pendidikan dasar Islam (al Qur’an, tauhid, & syari’at Islam) sebagai landasan perkembangan anak. Kemudian diikuti oleh ilmu-ilmu alam, matematika, ilmu bumi, sejarah dan sebagainya pada usia-usia selanjutnya dalam memperkuat Islam dan pengagungan Ilahi. Begitu juga dengan al Mas’udi (W. 956 M) yang dikenal sebagai ahli filsafat, musafir keliling dunia, ahli geografi, tetapi beliau dikenang dengan spesialisasinya sebagai sejarawan.
Untuk memahami sejarah dikotomisasi ilmu pengetahuan, maka harus diketahui landasan ideologis pendidikan Islam. Ajaran dasar tentang transmisi ilmu pengetahuan adalah wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi, yaitu Q.S. al Falaq ayat 1 – 5 tentang perintah membaca. Islam menempatkan Ilmu pengetahuan pada status yang istimewa. Allah akan meninggikan derajat mereka yang beriman diantara kaum muslim dan mereka yang berilmu. Untuk bisa membaca setidaknya membutuhkan dua elemen, yaitu basar “penglihatan” dan basira “kekuatan persepsi mental atau ketajaman pikiran”. Pada ayat selanjutnya, terdapat kata al Qalam, pena. Allah mengajar manusia bagaimana dan apa yang belum diketahui. Ayat ini menunjukkan arti penting membaca dan menulis yang dilambangkan dengan al Qalam. Qalam adalah simbol transformasi ilmu pengetahuan, nilai dan keterampilan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Disamping itu, pendidikan dalam memandang Islam adalah agama yang sudah sempurna, lebih tepatnya dalam buku tersebut penulis menggunakan istilah “satu peradaban sempurna”. Peradaban islam merupakan peradaban baru yang esensinya berbeda dengan peradaban sebelumnya. Peradaban yang ditinggalkan Nabi, jelaslah sangat berbeda dengan peradaban Arab jahiliyah. Dengan demikian, Islam telah melahirkan revolusi kebudayaan dan peradaban. Letak perbedaaannya pada kokohnya landasan budaya dan peradaban itu berdiri dan bersandar. Menurut penulis, perbedaaan itu ada lima point, yaitu konsep tauhid yang kuat, pesan universalitas al Qur’an, penegakan prinsip moral, budaya toleransi yang tinggi dan keutamaan belajar dan memperoleh ilmu.
Peradaban Islam yang dimaksud penulis ini telah banyak memberikan kontribusi dan cukup signifikan dalam bidang pendidikan pada dunia Barat, antara lain :
1.    Sepanjang abad ke -12 dan sebagian abad ke-13, karya-karya muslim dari bidang filsafat, sains, dan sebagainya telah diterjemahkan kedalam bahasa latin, khususnya dari Spanyol.
2.    Muslim telah memberi sumbangan eksperimental mengenai metode dan teori sains ke dunia Barat.
3.    Sistem notasi dan desimal Arab dalam waktu yang sama di kenalkan ke dunia Barat.
4.    Karya terjemahan, khususnya dari Ibnu Sina bidang kesehatan dipakai sebagai teks di lembaga-lembaga pendidikan tinggisampai pertengahan abad ke-17.
5.    Ilmuwan muslim dengan karyanya telah merangsang kebangkitan Eropa dan memperkaya kebudayaan Romawi kuno serta literatur klasik yang pada gilrannya melahirkan Renaissance.
6.    Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang telah didirikan jauh sebelum Eropa bangkit, dalam bentuk ratusan madrasah adalah pendahulu-pendahulu universitas-universitas Eropa.
7.    Para ilmuwan muslim berhasil melestarikan pemikiran dan tradisi ilmiah Romawi-Persia sewaktu Eropa dalam kegelapan.
8.    Sarjana-sarjana Eropa banyak belajar di berbagai lembaga pendidikan tinggi dunia Islam dan mentransfer ilmu pengetahuan ke dunia Barat.
9.    Ilmuwan-ilmuwan muslim telah menyumbangkan  pengetahuan tentang rumas sakit, sanitasi, serta makanan ke Eropa.
Selama abad pertengah Islam, sejak abad ke-7 sampai abad ke-11, Islam tidak mengenal dikotomisasi pendidikan. Peran abi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul sekaligus sebagai pendidik mewariskan tradisi intelektual yang begitu luar biasa sehingga nabi Muhammad menjadi role model atau uswatun hasanah bagi umat muslim dunia. Nabi Muhammad sangat peduli terhadap pendidikan umat. Disamping beliau sangat menggerakkan umatnya untuk belajar baca tulis, beliau juga mengangkat beberapa sahabat nabi untuk menjadi pengajar di sekolah Suffa di kota Madinah, khususnya pelajaran menulis dan studi al Qur’an. Semangat mencari ilmu pengetahuan sangat digencarkan, sehingga umat muslim saat itu sangat termotivasi. Sebagaimana anjuran nabi, “ballighu ‘anni walau ayah”.
Dinamika perkembangan umat Islam abad pertengahan sebagai dijelaskan diatas menunjukkan kegairahan mencari ilmu yang luar biasa. Disamping itu, umat Islam konsisten melaksanakan sabda nabi dan betul-betul mengaplikasikan pada kehidupan sehari-hari. Pada abad ini, nampak hubungan yang harmonis dan dialogis antara ilmu agama dan umum. Pada masa ini, keduanya saling melengkapi. Muncul diera pertama, yaitu ilmu-ilmu tentang tafsir al Qur’an, ilmu hadits, hukum Islam dan tauhid. Di masa ini, lahirlah para pendiri empat imam Madzhab, yaitu Imam Abu Hanifah (w.767 M), Imam Malik (w.795 M), Imam Syafi’i (w.820 M) dan Imam Ahmad Ibn Hanbal (W.855 M). Dari keempat imam inilah, framework Islam begitu kuat hingga sekarang ini. Pengaruh pemikiran mereka menyebar hingga ke penjuru dunia karena semasa hidup secara total dikerahkan untuk mencari ilmu, pengembangan dan penyebarannya dengan penuh komitmen.
Berikut akan disajikan beberapa contoh keuletan ulama dalam mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan di masa klasik oleh penulis, sebagai berikut :
1.    Ibn Hanbal berkata pad amurid-muridnya, “jikakalian melihat orang yang berlari-lari di jalan, maka akan ada dua kemungkinan yang perlu kalian simpulkan, yakni dia adalah orang gila atau pecinta hadis.” Kebetulan sutau hari guru ini berlari-lari menuju ke kelas agar bisa mengajar tepat pada waktunya dan diketahui oleh seseorang. Orang yang terakhir tahu ini semakin heran ternyata yang berlari itu adalah seorang ulama besar dimasanya. Bertanyalah dia pada tokoh tersebut, “Apakah Anda tidak malu berlari-lari seperti anak kecil? Sampai kapan Anda bersikap seperti itu?” Ibn Hanbal menjawab,”Sampai saya menghadap Allah nanti.”
2.    Pada suatu hari murid-murid Imam Syafi’i ingin menghiburnya dengan menghadiahinya seorang budak perempuan yang elok. Slvae-girl yang sudah diamanatkan untuknya itu ternyata tidak mendapatkan perhatiannya. Setelah bidadari cantik itu frustasi karena bermalam-malam sendirian di rumah ilmuwan ini, akhirnya dia mengeluh kepada mahasiswa-mahsiswanya di esok harinya. “kalian telah mengikat saya pada orang gila.” Mendapatkan laporan dari mahasiswanya, Imam Syafi’i tidak terusik dan menjawab dengan sederhana dan polos, “Orang gila adalah orang yang memahami nilai ilmu, kemudian dia asyik dengan ilmu, menggugat sebuah penemuan penelitian atau juga melengkapinya, hingga dia selalu bergelut dan asyik bersamanya di mana saja, kapan saja.”
3.    Imam Bukhari (W.870 M) meninggalan negerinya, Turkistan, menuju Baghdad, pusat intelektual dimasanya, kemudian melanjutkan ke jantung Arab, Mekkah-Madinah, kemudian Mesir, dan Syria. Selama 16 tahun perjalanan dia menyeleksi hadis-hadis sehingga mampu merangkai 60.000 hadis sahih. Meski demikian, dengan keuletannya 60.000 hadis tersebut diseleksi lagi menjadi 7.000 hadis yang akhirnya menjadi kitab Sahih Bukhari.
4.    Dalam bidang al Qur’an, kita dapatkan penafsir kenamaan,yaitu al-Tabari (W.923 M) dengan tafsir al Qur’annya yang orisinir dan sizeable. Bidang tauhid ada nama Hasan al Basri (W.728 M), yang juga terkenal sebagai tokoh sufi dan al Asy’ari (W.935 M).
5.    Dalam bidang ilmu umum, misal filsafat, fisika, kimia, matematika, dll, kita mendapatkan nama al Farabi, al Kindi, dan Ibn Sina.
Dan perlu digaris bawahi, bahwa pad amasa ini ilmu pengetahuan Islam semakin hari semakin berkembang.satu penemuan dilengkapi penemuan yang lain sehingga bisa diwariskan secara turun temurun. Secara keilmuwan masih belum menampakkan dikotomi antara ilmu agama dan non-agama. Keduanya saling melengkapi dan mendukung. Meski pada masa dinastii Fatimiyyah, dinasti Syi’ah yang berkuasa saat itu, terjadi gejolak yang akhirnya mengakibatkan beberpa sekte-sekte Syi’ah, ini tidak memberikan dampak yang berarti. Gairah mencari ilmu tetap bersinar, meski kondisi politik dan sosial berkecamuk.
Sampai akhirnya, hadirlah simtom dikotomik pada dunia Islam. bagaikan sebuah wabah simtom, dikotomi menyerang ke seluruh penjuru kehidupan umat Islam, dari pribadi ke komunitas Islam, dari raja sampai ke rakyat jelata, dari luar lembaga ke dalam lembaga pendidikan, dan seterusnya. Era dikotomik ini ditandai dengan polarisasi yang tajam antara Sunni dan Syi’ah, antara faksi-faksi dalam Sunni sendiri, serta ekstrimitas fanatisme mazhab dan aliran teologi yang berlebihan. Menurut penulis, awal dari dikotomisasi ini adalah berdirinya Madrasah Nizamiyyah di Baghdad (459 H/1069 M). Lembaga ini,berdasarkan kesimpulan dari George Maksidi bahwa Madrasah Nizamiyyah dirancang sebagai lembaga pengajaran fikih an sich dan tidak mengajarkan mata pelajaran agama lainnya. Berdirinya lembaga ini pun masih terbuka untuk didiskusikan karena penelitian yang teraktual menyimpulkan sesungguhnya apa yang diajarkan di lembaga pendidikan ini dan lembaga-lembaga semacamnya tidak ada bukti langsung. Ini artinya, barangkali ada muatan politis untuk mengimbangi kekuatan lembaga dari Syi’ah maupun Hanbaliyah. Hadirnya madrasah ini, setidakny amelahirkan dua ulama terkemuka madzhab Syafi’iyah, yaitu Imam al Ghazali dan Abu Ishaq al Shirazi.
Meski madrasah Nizamiyah diklaim sebagai awal mula hadirnya dikotomi pendidikan, bukan serta merta Imam al Ghazali juga dikalim sebagai Guru Besar yang dikotomik. Beliau datang tepat di zamannya(W.913 M).  Sebelumnya al Asy’ari telah men-TKO Mu’tazilah dalam ilmu kalam. Sementara itu, Imam al Ghazali dalam filsafat Islam memberikan  tadzkirah, warning terhadap para pemikir Islam tersebut. Melalui madrasah Nizamiyah, pikiran-pikiran teologis Imam al Ghazali semakin kokoh menemukan akarnya yang kuat. Bahkan kekuatan pemikirannya sampai ke Indonesia, sejaka zaman Walisongo abad ke-15 sampai 16. Mutiara-mutiara al Ghazali merupakan referensi penting bagi sufisme yang berkembang di Indonesia.
Bagaimana mengatasi dikotomisasi pendidikan yang semakin merebak ini? Penulis menawarkan sebuah format yang berhaluan pada filsafat humanisme. Semestinya kita tahu, kultur humanisme ini adalah tradisi rasional dan empiris yang sangat relevan dengan kehidupan manusia. Ada banyak jenis humanisme, yang dikehendaki penuli adalah humanisme religius. Humanisme ini muncul dari etika kebudayaan, unitarianisme, dan universalisme. Religius disini melengkapi kata humanisme secara fungsional adalah agama yang berfungsi melayani kebutuhan personal atau kelompok sosial yang terinternalisasikan dalam hati menjadi sebuah sebuah keyakinan (iman).
Mengapa Humanisme Religius diperlukan? Untuk menjawab ini, penulis memaparkan empat alasan yang utama, yaitu sebagai berikut.
1.    Keberagaman di Indonesia cenderung menekankan kepad aaspek hubungan virtual dan kesemarakan ritual
2.    Jauhnya orintasi kesalehan sosial di masyarakat
3.    Potensi anak didik belum dikembangkan secara proporsional dan belum berorientasi pada pengembangan Sumber Daya Manusia
4.    Kemandirian dan tanggung jawab anak didik masih jauh dalam capaian dunia pendidikan
Pada prinsipnya, penerapan Humanisme Religius akan memberikan pengaruh dan berdampak positif terhadap perkembangan anak didik. Karena didalam dunia pendidikan, dengan konsep ini, anak didik akan terfokus pada akal sehat (common sense), individualisme menuju kemandirian dan tanggung jawab, thirts for knowledge, pendidikan prularisme, kontekstualisme yang lebih mementingkan fungsi dari pada simbol, serta keseimbangan antara reward dan punishment.
Buku Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik yang setebal 240 halaman ini ternyata mampu mengilhami pandangan baru pendidikan Islam yang lebih mengharagai sisi kemanusiaannya. Menurut saya, buku sangat komplek dan genius dalam mengupas masalah. Kecerdasan buku ini, salah satunya mampu mengungkap tabir sejarah madrasah Nizamiyah dan sosok Imam al Ghazali yang dianggap sebagai pemikir nondikotomik dimasanya dan kemudian mengilhami para pemikir Islam untuk hanya fokus pada ilmu-ilmu agama saja. Namun, keduanya pertanyaan tersebut ditepis mentah-mentah dalam buku ini.
Manfaat lain dari buku ini adalah seperti rangkuman dari banyak fan-fan disiplin ilmu. Ada filsafat, sejarah, pendidikan, sosial, dan lain sebagainya. Jika dibaca dengan seksama, pendekatan yang dipakai penulis sangatlah kuat sekali, terutama melandasi pemikirannya dengan kaidah-kaidah ilmu-ilmu pesantren. Inilah yang membedakannya dengan penulis manapun. Ini artinya, kaidah-kaidah pesantren sejajar dengan pemikiran-pemikiran sekuler hellenistik atau bahkan kebudayaannya lebih tinggi.
Kelebihan buku ini, dari segi karakter penulisan diksi yang digunakan sangat kuat dan teratur, tidak tumpang tindih, sehingga pemahamannya bisa utuh. Disamping itu, buku ini dilengkap 77 referensi, dalam dan luar negeri, semakin menambah kosakata pemabacanya. Penggalan-penggalan kata atau istilah yang umum seringkali ditulis dengan bahasa inggris.
Kekurangan buku ini, nyaris saya tidak menemukannya. Namun, dari awal saya baca, saya tidak menemukan tulisan arab satupun, entah itu firman ataupun maqolah. Bisa jadi, dalam aturannya tidak harus menampilkan font arab, namun hemat saya akan lebih sempurna jika tulisan-tulisan inggris itu disandingkan dengan tulisan-tulisan arab. Jadi, sempurnalah buku ini dari sudut meteri maupun formatnya.
Untuk para pengkaji pendidikan Islam, dimanapun Anda berada, saya menganjurkan, bahkan jika berkenan saya hendak mewajibkan untuk membaca buku ini. Jika semula Anda meyakini pendidikan Islam jauh tertinggal dari Barat, pastinya setelah membaca buku ini Anda akan menepis sendiri anggapan tersebut. Justru anggapan tadi akan berbuah semangat dan motivasi diri untuk terus berkarya, meneliti dan mengembangkan dunia pendidikan Islam. seharusnya sekarang, pendidikan Islam lebih maju dari pada Barat. Jika bukan Anda yang merealissasikannya, siapa lagi?

Selamat Membaca

Tidak ada komentar:
Write comments