Senin, 04 April 2022

Sempitnya Lahan Pekerjaan Guru

Kegiatan Belajar Mengajar Guru
www.ruangguru.com

        Guru merupakan tonggak kemajuan suatu bangsa dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Ia pihak yang paling bertanggung jawab melaksanakan proses pendidikan dan pengajaran. Para guru besar, doktor dan pakar-pakar ilmu pengetahuan yang ahli dibidang masing-masing juga tidak lepas dari peran seorang guru. Bahkan presiden, MPR, DPR, Mahkamah Agung dan lainnya berkat jasa guru yang mendidiknya semenjak pendidikan dasar, menengah, perguruan tinggi hingga mencapai spesifikasi keahlian yang dikuasainya. itu semua adalah buah dari pengajaran guru-guru mereka. Melupakan jasa guru sama artinya dengan lupa akan kebodohan diri sendiri. Dasawarsa ini, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan formal seakan memudar. 
    Berbagai kasus tawuran, seks bebas, narkoba, penjarahan, bahkan pemerkosaan banyak yang dilakukan oleh generasi emas bangsa ini, peserta didik di sekolah. Memudarnya kepercayaan tersebut dinilai bias terhadap asumsi mereka bahwa pendidikan formal sekarang tidak lagi sepenuhnya mampu menghantarkan anak-anak mereka pada kehidupan masa depan yang diimpikan. Selain sukses dalam hal ekonomi, tentunya mereka mendambakan anak-anaknya berbudi luhur yang mampu membalas jasa orang tua di masa renta. 
    Disaat kepercaan itu memudar, para guru-guru bulus (baru lulus) ini justru beramai-ramai mendaftarkan diri di sekolah tersebut. saking banyaknya yang daftar, sebagian sekolah kebingungan menyeleksinya. Bingungnya bukan karena mereka pada pendaftar bagus-bagus dan ber-SDM tinggi, melainkan bingung karena semua yang diseleksi rata-rata standar dan tidak ada yang bisa dibanggakan dari mereka. tapi, meski bagaimana pun jika pembelajaran tanpa itu tidaklah mungkin. Akhirnya opsi acak pun dilakukan, mana yang kira-kira paling banyak kontribusinya itulah yang dipilih. Bahkan kadang-kadang money politic pun ikut-ikutan dalam arena ini. Jadi guru bulus yang berduit peluangnya lebih besar dari pada guru-guru yang mengandalkan ijazah, transkrip nilai dan akta IV saja. Sehingga sempitnya lahan pekerjaan guru sekarang ini hanyalah laku bagi guru-guru yang tak berduit saja. Harapan pada orang tua dengan menguliahkan anak-anaknya pada perguruan tinggi fakultas pendidikan adalah menjadi guru yang mampu mengajar masyarakat, bangsa dan Negara. 
        Harapan ini agaknya tersendat dengan semakin sempitnya lowongan yang dicari itu. Meskipun beratus-ratus sekolah yang ada di setiap daerah, namun itu tidaklah menjanjikan tempat bagi para guru-guru muda. Akhirnya, para orang tua pun kini menilai semakin tinggi mereka menyekolahkan anak-anaknya, semakin tinggi pula jumlah pengangguran terdidik yang menjadi beban masyarakat. Bahkan selain menjadi pengangguran, para pengangguran terdidik itu semakin jauh dari nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan sehari-harinya (Syamsul Ma’arif : 103). 
        Bahkan pola pikirnya cenderung pola pikirnya menjadi penyakit serta merusak tatanan masyarakat sekitarnya. Sepenggal cerita ini mungkin ada gunanya juga. “Percuma saja sekolah, paling ujung-ujungnya juga akan jadi kuli”. Itulah cemoohan seorang kuli pabrik kopra dalam film teaterikal laskar pelanginya Andrea Hirata kepada Ikal ketika mau diantar ayahnya (Mathias Muchus) dihari pertamanya ia mau sekolah. Yang ada dibenak sang ayah, kemungkinan besar sama dengan apa yang diangan-angankan para orang tua sekarang, yakni kelayakan hidup di masa depan. Kebahagiaan anak adalah kado terindah bagi orang tua. Namun, melihat realita sekarang ini, tak ada salahnya kita lebih sedikit merenungkan dalam-dalam kuli perkataan pabrik di atas. Buat apa sekolah tinggi-tinggi, gelar sarjana pendidikan di gondol dengan predikat camloude, jika ujung-ujungnya menjadi marketing, entah itu eksekutiflah, representatiflah, dan lain sebagainya. 
        Bahkan ada teman kampus saya dulu yang amat serius menekuni kuliahnya di jurusan Tadris Fisika sekarang menjadi tukang penarik kredit bermasalah di sebuah Bank Perkreditan Rakyat di Ungaran Kabupaten Semarang. Meski bahasanya agak diperhalus menjadi Collector Eksekutif (CE), namun tetap saja ia bak algojo yang siap mencekik leher masyarakat. Naasnya, jika masyarakat yang mempunyai tunggakan kredit itu masyarakat kecil yang rela menggadaikan BPKB motornya untuk membiayai anak-anaknya agar bisa terus sekolah. Ironis memang, sewaktu dulu masih kuliah ia sibuk mempelajari teori-teori pendidikan, termasuk bagaimana cara mendidik masyarakat, justru sekarang ia sangat sibuk mempelajari bagaimana masyarakat secepat mungkin bisa membayar tagihan supaya tidak nunggak di bulan berikutnya. 
        Suatu ketika saya sempat bersua dengannya tengah sibuk menganalisis tunggakan kredit yang bermasalah. Ternyata tak kurang dari puluhan orang yang nunggak bulan itu. Secara otomatis, ia pun menyusun strategi perencanaan yang matang, biasanya ia menelpon terlebih dahulu sebelum mendatangi rumahnya. Meski kadang-kadang telponnya di reject secara kasar karena jelas kedatangannya ke rumah pasti tidak disukai. Ironisnya lagi, padahal ia dulu setiap malam sibuk mempersiapkan RPP (rencana Pelaksanaan Pembelajaran) untuk mengajar di pagi harinya, tapi justru sekarang ia sibuk membuat RPP (Rencana Pelaksanaan Penagihan). Belum tahu pasti, seberapa banyak teman yang bernasib sama sepertinya. Seharusnya ia jadi guru di sekolah, akan tetapi karena sempitnya lahan pekerjaan guru sekarang memaksa ia beralih profesi sebagai CE. 
        Guru yang seharusnya ia di gugu lan di tiru karena nasib berkata lain, ia pun di sekarang di guyu lan di laru (ditertawakan dan digoda). Meski bagaimana pun juga, karena ia menganggap itu pekerjaan halal sampai sekarang dan mungkin selamanya ia akan tetap menjalaninya. Teman saya di atas merupakan salah satu tidak adanya transparansi dari pihak pengelola pendidikan, terutama sekolah-sekolah swasta. Era globalisasi ini mengakibatkan sistem pendidikan kita tidak bersih dan semakin tidak jelas arah dan tujuannya. Hal ini bisa dibuktikan ketika mau memasuki tahun ajaran baru, hampir setiap sekolah, terutama sekolah swasta saling mencari sensasi dan memikat masyarakat dengan memasang spanduk “Menerima Peserta Didik baru”di sana sini, baik di desa maupun kota dalam hal ini tidak ada bedanya. Banyak yang mereka unggulkan, seperti fasilitas terlengkap, bebas uang gedung, bebas biaya pendaftaran, dan program-program lainnya. 
        Bahkan sebagian mereka ada yang menjanjikan kualitas guru yang profesional dan bilingual. Meskipun ketika ada sertifikasi guru para guru-guru profesional tersebut pada kalang kabut bingung dengan sendirinya. Akhirnya pun masyarakat sama berbondong-bondong mendaftarkan putra putrinya yang dinilai unggul dalam spanduk tersebut. meski sebagian orang tua ada yang mengeluh karena anaknya disekolahkan semakin pintar justru semakin cerdas membantah orang tuanya sendiri. Tahun ajaran baru sama artinya dengan menambah keuangan sekolah. Nah, realita ini coba kita refleksikan dengan rekrutmen gurunya. Mana ada sekolah yang terang-terangan memasang spanduk “Menerima Guru Baru”. Kecuali sekolah yang mau di buka, spanduk tersebut bisa dipastikan tidak ada sama sekali. Hal ini atas pertimbangan terlalu repot, juga untuk meminimalisir anggaran sekolah. Padahal kalau dipikir secara positif, mestinya tidak ada masalah dengan mengeluarkan biaya sedikit, namun berpeluang mendapatkan kualitas guru yang benar-benar diharapkan. Terutama guru-guru muda yang masih kaya akan teori-teori pembelajaran yang konstruktif. Ibarat buku, tentu buku-buku terbitan baru yang paling diminati para pembacanya dibanding buku-buku lama yang mungkin isinya sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. 
        Dalam hal ini, banyak juga kan guru-guru yang menggunakan metode lama dalam mengajarnya sehingga membuat peserta didik jenuh dan membosankan. Transparansi rekrutmen guru selama ini masih belum Nampak. Meski sebagian sekolah sudah ada yang mau membuka lowongan di iklan-iklan kecik surat kabar atau di internet. Itu pun jika ada anggarannya. Kalau tidak, jalan satu-satunya adalah dari mulut ke mulut. Bahkan ada sekolah yang kebanyakan para gurunya masih ada tali kekerabatan. Kepala sekolah sebagai ketua besar, para pengurus dijabat oleh adik-adik atau kemenakannya dan para gurunya diisi anak sendiri atau anak dari saudara, dan seterusnya. Sehingga masyarakat sering menamai sekolah tersebut dengan sekolah keluarga. Padahal, sebenarnya pembangunan itu menggunakan uang masyarakat. 
        Untuk mengatasi masalah sempitnya lahan guru ini tentunya harus mengubah sistem yang ada, baik sistem pelaksanaan rekrutmen di perguruan tinggi maupun di sekolah. Di samping setiap perguruan tinggi harus membatasi jumlah mahasiswa yang diterima, pihak sekolah pun juga harus bersikap terbuka pada siapapun perihal informasi lowongan guru. Tidak kalah pentingnya, dalam hal ini sangat dibutuhkan semacam portal informasi lowongan guru karena selama ini portal lowongan tersebut hanya ada ketika pendaftaran calon pegawai negeri sipil (CPNS). Berkiatan dengan sempitnya lahan pekerjaan guru ini, sedikit para guru-guru muda menghela nafas lega. 
        Nampaknya, pemerintah mempunyai program merekrut ribuan sarjana untuk dijadikan guru di pelosok Indonesia. Terhitung sebanyak 12 LPTK yang ikut meramaikan program yang bertema ”maju bersama mencerdasakan Indonesia” ini. tidak kurang dari 3.500 sarjana se-Indonesia akan ditempatkan di daerah-daerah pelosok yang masuk dalam kategori 3 T, yakni terdepan, terluar dan tertinggal. Wilayah tersebut antara lain Provinsi Aceh, Kepulauan Riau, Papua, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara. Pendaftaran secara resmi dibuka tanggal 20 Oktober – 29 Oktober 2011. Kemudian diadakan penyeleksian tanggal 30 Oktober – 1 November 2011. Lama penempatan mengajar tersebut, menurut infonya hanya setahun kemudian sepulangnya dari tempat mengajar tersebut direkomendasikan untuk bisa mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) dengan dibiayai pemerintah. 
        Tentu ini sebuah tantangan, pertama, harus meninggalkan keluarga dan istri kalau sudah menikah. Kedua, mengorbankan aktivitas keseharian, entah di organisasi, pertokoan, dan lain sebagainya. Ketiga, mengajar anak didik yang berbeda adat, bahasa dan budaya. Keempat, mengajar peserta didik yang ber SDM rendah karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan. 
        Masih banyak lagi tantangan-tantangan lainnya dan kemungkinan para guru-guru muda yang sempat meliriknya pun jangan hanya berpikir sekali untuk mengikuti seleksinya. Pasalnya, persiapan yang dibutuhkan bukan hanya materi melainkan juga mental. Kekuatan mental dalam hal ini menjadi kuncinya. Apalagi dikabarkan dengan mengikutinya dapat bonus PPG. Padahal fakta di lapangan, pembinaan dan pelatihan guru di Indonesia terasa mandek, berjalan di tempat, bahkan cenderung mundur (SM,12/10/11). 
        Hal ini langsung disampaikan oleh ketua PGRI Dr. H. Sulistiyo, M.Pd saat memberi sambutan pada acara peringatan hari guru internasional tanggal 5 Oktober di gedung PB PGRI Jakarta. Pembinaan profesi guru ibarat barang langka yang sangat sulit dijumpai di daerah-daerah. Para guru tetap saja jarang memperolehnya, apalagi guru sekolah swasta dan guru honorer. Bahkan ini apalagi yang sebelumnya belum mengajar, kemudian diiming-imingi PPG jika mau berangkat mengajar di daerah tertinggal. Yang sudah ada saja tidak dijalankan, kok car peserta baru. Apa ini yang dimaksudkan pemerintah untuk mengurangi pengangguran terdidik tenaga kependidikan? Jika memang benar, khususnya warga Jawa Tengah agaknya sedikit berseberangan denga jargon Gubernurnya, “Bali Deso Mbangun Deso”. Para guru muda yang berharap setelah lulus kemudian ke desanya masing-masing ternyata belum ada kursi untuknya. Bagaimana mau Mbangun Deso? Sekian tahun menunggu kursi di desanya, tapi justru ini mau dikirim ke daerah tertinggal di luar pulau sana. Harusnya pemerintah, dalam hal ini, mengadopsi sistem yang sudah diterapkan oleh Unissula Semarang yang sudah menerapkan program cerdas sultraku (Sulawesi Tenggaraku) 2011. 
        Yang dilakukannya bukan para lulusannya untuk dikirim ke daerah terpencil, melainkan Unissula merekrut anak-anak Sulawesi kurang lebih 1.000 orang untuk kuliah di kampusnya di Semarang dengan beasiswa penuh. Harapannya, setelah mereka kembali nanti akan mampu membangun daerahnya sendiri. Bukan membangun yang cuma relatif dalam waktu satu tahun, kemudian ditinggal pergi. Hal ini rasa-rasanya menghambur-hamburkan uang Negara untuk hal yang tidak efektif. Jika Unissula mampu menjaga dan mengembangkan potensi anak didik keluarga miskin (anak nelayan dan anak sopir di sultra) untuk mengenyam pendidikannya di fakultas kedokteran, mengapa pemerintah tidak berbuat demikian. Inilah era otonomi daerah, yang seharusnya digunakan oleh stake holder daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya masing-masing yang belum tersentuh. Ternasuk mengenai pendidikan karena faktor inilah yang penting untuk dikembangkan.

Selasa, 22 Maret 2022

Nilai Mandiri dalam Program Guru Penggerak

Mandiri berarti seorang Guru Penggerak mampu senantiasa mendorong dirinya sendiri untuk melakukan aksi serta mengambil tanggung jawab atas segala hal yang terjadi pada dirinya. Segala perubahan yang terjadi di sekitar kita maupun pada diri kita, muncul dari diri kita sendiri. Ketika kita hanya menunggu sesuatu untuk terjadi, seringkali hal tersebut tidak pernah terjadi. Karena itu seorang Guru Penggerak diharapkan mampu mendorong dirinya sendiri untuk melakukan perubahan, untuk memulai sesuatu, untuk mengerjakan sesuatu terkait dengan perubahan apa yang diinginkan untuk terjadi. Guru Penggerak yang mandiri, berarti guru tersebut mampu memunculkan motivasi dalam dirinya sendiri untuk membuat perubahan baik untuk lingkungan sekitarnya ataupun pada dirinya sendiri. Hal ini terutama perlu muncul dalam aspek pengembangan dirinya. Seorang Guru Penggerak termotivasi untuk mengembangkan dirinya tanpa harus menunggu adanya pelatihan yang ditugaskan oleh sekolah ataupun dinas. Guru Penggerak mendorong dirinya untuk meningkatkan kapabilitas dirinya tanpa perlu dorongan dari pihak lain. Beberapa poin untuk menguatkan nilai Mandiri pada nilai Guru Penggerak adalah sebagai berikut: 1. Tentukan tujuan perubahan yang ingin dicapai dan dampak dari pencapaian tujuan tersebut. Apabila ada suatu perubahan yang ingin Anda lihat (baik pada diri Anda, maupun hal di sekitar Anda) mulailah dengan tujuannya terlebih dahulu. Setelah Anda tahu tujuannya, lalu susun rutenya dalam bentuk tujuan yang lebih kecil. contoh: Tujuannya, ingin meningkatkan kemampuan penggunaan perhitungan numerikal di microsoft excel, untuk membantu pekerjaan administrasi menjadi lebih mudah. Dari sini susunlah rute cara belajar Anda, sesuai dengan kapabilitas Anda. Contoh rute: dalam seminggu ini, sudah harus bisa perhitungan dengan menggunakan fungsi numerikal tambah dan kurang. Cara belajar dengan menggunakan youtube misalnya. Dengan penggambaran tujuan dan rute yang jelas kita akan semakin tahu apa yang harus kita lakukan dan bagaimana mencapai tujuan tersebut. Hal ini yang akan mendorong kita untuk lebih mandiri. 2. Rayakan keberhasilan dalam setiap pencapaian. Pencapaian tujuan tidak mudah, bahkan tujuan yang dirasa kecil sekalipun membutuhkan daya, waktu, dll. Apabila kita sudah mencapai tujuan tertentu, rayakan keberhasilan dengan sesuatu yang kita suka. Dengan begitu kita bisa memotivasi diri kita untuk mencapai tujuan selanjutnya. Reflektif berarti seorang Guru Penggerak mampu senantiasa merefleksikan dan memaknai pengalaman yang terjadi di sekelilingnya, baik yang terjadi pada diri sendiri serta pihak lain. Proses perwujudan Profil Pelajar Pancasila, juga perjalanan menjadi Guru Penggerak pastinya akan penuh dengan pengalaman-pengalaman yang bervariasi. Pengalaman-pengalaman ini bisa menimbulkan kesan positif maupun negatif. Dengan mengamalkan nilai reflektif, Guru Penggerak diajak untuk mengevaluasi kembali pengalaman-pengalaman tersebut, hingga bisa menjadi pembelajaran dan panduan untuk menjalankan perannya di masa mendatang. Guru Penggerak yang memiliki nilai reflektif mau membuka diri terhadap pengalaman yang baru dilaluinya, lalu melakukan evaluasi terhadap apa saja hal yang sudah baik, serta apa yang perlu dikembangkan. Apa yang dievaluasi tentu saja beragam, bisa terhadap kekuatan dan keterbatasan diri sendiri, pendapat yang dimiliki oleh diri sendiri, proses, dll. Guru Penggerak yang reflektif tidak hanya berhenti sampai berefleksi namun juga sampai melakukan aksi perbaikan yang bisa dilakukan. Mereka juga senantiasa terbuka untuk meminta dan menerima umpan balik dari orang-orang di sekelilingnya. Ada banyak model dalam melakukan refleksi, beberapa di antaranya adalah: • Model refleksi 4P merupakan model pertanyaan yang bisa kita gunakan untuk memaknai pengalaman yang sudah pernah kita rasakan sebelumnya. Keempat langkah ini merupakan terjemahan dari 4F yang dikembangkan oleh Dr. Roger Greenaway, yaitu: 1. Peristiwa (Facts): paparan obyektif berdasarkan pengalaman nyata atas apa yang sejauh ini telah dialami. Contoh pertanyaan: apa kendala yang saya hadapi? apa hal baik yang saya alami dalam proses tersebut? apa yang saya lakukan dalam mengatasi kendala tersebut? apakah tindakan tersebut berhasil? 2. Perasaan (Feelings): apa yang dirasakan kini setelah mengikuti proses tersebut. Contoh pertanyaan: Apa yang saya rasakan ketika menghadapi kendala tersebut? ketika saya mencoba mengatasi kendala tersebut bagaimana perasaan saya? 3. Pembelajaran (Findings): apa hal paling konkrit yang dapat diambil sebagai pembelajaran dan mungkin telah membawa makna baru. Contoh pertanyaan: apa yang saya pelajari dari proses ini? apa hal baru yang saya ketahui mengenai diri saya setelah proses ini? 4. Penerapan ke depan (Future): apa hal yang dapat segera diterapkan baik sebagai individu. Contoh pertanyaan: apa yang bisa saya lakukan ke depannya dari pembelajaran di proses ini? pada aspek apa? • Model refleksi 5M, yang diadaptasi dari model 5R (Bain, dkk, 2002, dalam Ryan & Ryan, 2013). 5M terdiri dari langkah-langkah berikut: 1. Mendeskripsikan (Reporting): menceritakan ulang peristiwa yang terjadi 2. Merespon (Responding): menjabarkan tanggapan yang diberikan dalam menghadapi peristiwa yang diceritakan, misalnya melalui pemberian opini, pertanyaan, ataupun tindakan yang diambil saat peristiwa berlangsung. 3. Mengaitkan (Relating): menghubungkan kaitan antara peristiwa dengan pengetahuan, keterampilan, keyakinan atau informasi lain yang dimiliki. 4. Menganalisis (Reasoning): menganalisis dengan detail mengapa peristiwa tersebut dapat terjadi, lalu mengambil beberapa perspektif lain, misalnya dari teori atau kejadian lain yang serupa, untuk mendukung analisis tersebut. 5. Merancang ulang (Reconstructing): menuliskan rencana alternatif jika menghadapi kejadian serupa di masa mendatang. Selamat Membaca

Minggu, 20 Maret 2022

Do'a Hari Lahir Sekolah

Gunungpati-Info_ Dalam beberapa kesempatan saya diminta untuk membacakan do'a. Supaya bacaan-bacaan doa yang telah saya buat bisa bermanfaat untuk orang lain, maka saya posting disini. Assalamualaikum Wr Wb Bapak/ibu hadirin dan tamu undangan yang berbahagia, marilah sejenak kita menunduk, berserah diri seraya menengadah, bermunajat, memohon petunjuk untuk keberkahan sekolah kita, lembaga kita, dan untuk kota Semarang yang kita cintai dan banggakan ini. Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillahi robbil alamin, hamdan syakirin, …. Allahumma sholli ala sayyidina muhammadin fil Awwalin… allahumma sholli ala sayyidina muhammadin fil akhirin… dst
Yâ Allâh, Ya Tuhan Kami Pagi ini Kami keluarga besar SMP Negeri 1 Semarang Berkumpul, menengadah dan bersimpuh di Hadap-Mu, dengan penuh cinta dan syukur, memperingati hari lahir sekolah yang ke 74 dengan tema Pembangunan Karakter melalui Jingle dan Tagline We Are Number One. Seraya menunduk, bermohon kehadirat-Mu, Perkenankanlah kami ber-munajat kepada-Mu. YA ALLAH YA GHAFFAR!! Dzat yang Maha Pemaaf! Kami memohon ampun atas segala khilaf, kesalahan dan dosa yang telah kami perbuat. Dosa-dosa orang tua kami, rekan-rekan kami, guru-guru kami dan pemimpin-pemimpin kami. YÂ ALLÂH YÂ QÂDHIYAL HÂJÂT! Dzat yang mengabulkan segala kebutuhan! Kabulkanlah segala kebutuhan, kegiatan Milad ini dan segala rencana kedepan kami, supaya dapat mewujudkan tempat belajar yang LUHUR BUDI CERDAS BERPRESTASI DAN BERWAWASAN LINGKUNGAN di hadapan-Mu dan hanya untuk memperoleh Ridlo-Mu semata. YÂ ALLÂH YÂ KÂFIYAL MUHIMMÂT! Dzat yang mencukupkan segala kepentingan! Cukupkanlah jiwa dan raga kami dengan kenikmatan mengabdi kepada-Mu. Cukupkanlah ya Allah, kekuatan jiwa dan raga kami, untuk menjadi pribadi yang luhur dalam budi pekerti, cerdas dalam bersikap dan berperilaku dan berintegritas dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab, bukan saja menjadi semboyan dan slogan saja, namun sampai mengurat nadi, dan mendarah daging pada sikap, perbuatan, dan pribadi kami. YÂ ALLÂH YÂ RÂFI'AD DARAJÂT! Wahai yang Maha Mengangkat Derajat! Luhurkanlah derajat kami dengan prestasi yang tinggi, dan akhlak yang mulia! Jadikanlah KEMULIAAN dihadapan-Mu adalah cita-cita tertinggi Kami. YÂ ALLÂH YÂ ARHAMAR RÂHIMÎN! Wahai Allah Yang Paling Maha Pengasih! Limpahkanlah kelembutan Kasih Sayang-Mu. Bimbinglah keluarga besar kami, para siswa di sekolah ini, pendidik, pengabdi, serta pemimpin kami, menjadi penerus bangsa yang bermanfaat, bermartabat, berintegritas, beriman dan bertaqwa. YÂ ALLÂH YÂ MUJÎBAD DA'WÂT! Wahai Dzat yang Mengabulkan Do’a! Perkenankanlah semua doa dan permohonan kami. Karena hanya Engkaulah tempat kami mengadu dan memohon pertolongan.