PEMIKIRAN KH. ABDUL HALIM ISKANDAR MAJALENGKA TENTANG PENDIDIKAN ISLAM
Oleh : Miftahudin
Guru SMP Negeri 1 Semarang
Mahasiswa Pascasarjana Unwahas Semarang
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam
perjuangannya menuju kehidupan yang lebih baik, manusia memerlukan nilai-nilai
luhur yang dianutnya sebagai pandangan hidup. Pandangan hidup berfungsi sebagai
kerangka acuan, baik untuk menata kehidupan pribadi, maupun untuk menata
hubungan antara manusia dan Tuhannya, hubungan dengan sesama manusia dan
masyarakat, serta hubungan dengan alam sekitarnya.
Dalam
pandangan Islam, perwujudan tersebut tidak terlepas dari misi kerasulan
Rasulullah Saw., yakni membentuk akhlak yang mulia. Pembentukannya bertumpu
pada lima prinsip dasar rukun Islam dengan rangkaian nilai-nilai imani (rukun
iman). Darinya, tergambar bagaimana seharusnya sosok muslim mempunyai
kepribadian yang berakhlak mulia serta memiliki etos keilmuan yang tinggi.
Indikatornya adalah kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, sehingga menjadi
seorang muslim yang berakhlak mulia dan berkualitas.[1]
Pendidikan
sebagai sebuah proses berada dan berkembang bersama dengan proses perkembangan
yang berlangsung dalam kehidupan manusia yang mencakup semua aspek kehidupan
manusia secara menyeluruh. Sebagai sebuah proses, maka pendidikan pada dasarnya
merupakan rangkaian aktivitas yang tersistem yang berhubungan erat dengan
sistem nilai kehidupan yang diwujudkan melalui aktivitas pendidikan.[2]
Pendidikan
Islam yang saat ini ada dalam praktiknya belum sepenuhnya islami. Karena
praktik pendidikan Islam belum dijiwai oleh nilai-nilai ajaran Islam. Banyak
lembaga pendidikan Islam yang justru berlomba-lomba mengadopsi sistem barat,
sementara system dan teori pendidikan Islam yang khas, mulai ditinggalkan.
Problem
pendidikan di dunia Islam tidak sekedar inferioritas di bawah bayang-bayang
dominasi pendidikan Barat. Lebih jauh, pendidikan Islam seharusnya dapat
menyelamatkan manusia (umat Islam) dari penindasan dan pencampakan sistem
materialisme modern, paham hedonism, serta degradasi moral belum sepenuhnya
berhasil menjalankan fungsi atau perannya. Oleh karenanya perlu mengkaji
pemikiran para tokoh pendidikan Islam dan merevitalisasi pemikiran mereka ke
konteks zaman kekinian, sehingga ditemukan solusi yang tepat untuk mengatasi
berbagai problem tersebut. [3]
Ada
banyak tokoh pendidikan Islam sejak zaman klasik sampai modern. Di antara para
pemikir klasik yang besar dan masyhur adalah Abu Hanifah, Ibnu Sahnun, Ibnu
Miskawaih, Al-Qabisi, Al-Mawardi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Az-Zarnuji, Ibnu
Jama’ah dan sebagainya. Sedangkan pada era modern tamillah tokoh seperti
Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, Hamka, Ismail Raji al-Faruqi, Imam Zarkasyi, KH.
Abdul Halim dan sebagainya. Tokoh-tokoh tersebut merupakan para cendekiawan dan
pemikir pendidikan Islam yang handal. Mereka berhasil melahirkan banyak karya
penting yang berkontribusi nyata bagi masyarakat muslim dunia.[4]
Dari
beberapa pemaparan di atas pada kesempatan ini kami akan mengkaji salah satu
tokoh pemikir pendidikan Islam Indonesia yaitu KH Abdul Halim Majalengka.
Kajian dan penelitian pada makalah ini tentang pemikiran-pemikiran emas beliau,
tindakan serta konsep-konsep kependidikan Islam yang pernah ada, semoga menjadi
sebuah iktiar ilmiyah yang diharapkan mampu menjadi acauan untuk mengembangkan
pendidikan Islam yang lebih maju dan bermartabat.
B.
Rumusan Masalah
Adapun dalam makalah ini rumusan masalah yang akan di saqjkikan
adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana riwayat hidup singkat KH. Abdul Halim Majalengka serta
karya-karyanya?
2.
Bagaimana Pemikiran KH. Abdul Halim Majalengka dalam bidang
pendidikan Islam?
3.
Bagaimana implementasi pemikiran KH. Abdul Halim Majalengka dalam
dunia pendidikan Islam kekinian?
C.
Riwayat Hidup Singkat
KH. Abdul Halim Iskandar
Abdul Halim
dilahirkan di desa Cibolerang kecamatan Jatiwangi, Majalengka (Jawa Barat) pada
tanggal 4 Syawal 1304 H, yakni bertepatan pada tanggal 26 Juni 1887 M, dan
wafat di desa Pasir Ayu kecamatan Sukahaji, Majalengka pada tahun 1381 H/1962
(berusia sekitar 75 tahun).
Otong syatori,
merupakan nama asli beliau. Setelah menunaikan ibadah haji, beliau berganti
nama menjadi Abdul Halim. Ayahnya bernama K.H. Muhammad Iskandar, penghulu
Kewedanaan Jatiwangi dan ibunya Hj. Siti Mutmainnah. Abdul Halim menikah dengan
Siti Murbiyah, putri K.H. Mohammad Ilyas.
Abdul Halim
tumbuh dan besar di pesantren. Hal ini dibuktikan sejak usia 10 tahun (1897)
beliau sudah nyantri di Pesantren K.H Anwar di desa Ranji Wetan, Majalengka.
Kemudian belajar kepada Kiai Abdullah di desa Lontangjaya. Berikutnya pindah ke
pesantren Bobos, Cirebon, dibawah asuhan K.H. Sujak. Kepada K.H.
Ahmad Saubari di Pesantern Ciwedas. Cilimus, Kuningan, beliau melanjutkan
penyantriannya. Beliau pun mesantren kepada K.H. Agus di Kenayangan,
Pekalongan. Kemudian kembali lagi k Ciwedas.
Pada tahun
1907, ketika berusia 22 tahun, beliau pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah
haji dan melanjutkan study. Selama 3 tahun belajar di Makkah,
beliau sempat mengenal pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afgani.
Di Mekkah beliau belajar –diantaranya- kepada Syeih Ahmad Khayyat.
Setelah tiga tahun belajar di Mekkah, Kiai Halim
kembali ke Indonesia untuk
mengajar. Pada tahun 1911, ia mendirikan lembaga pendidikan Majlis
Ilmi di Majalengka untuk
mendidik santri-santri di daerah tersebut.[2] Setahun
kemudian setelah lembaga pendidikan tersebut telah berkembang, Kiai Halim
mendirikan sebuah organisasi yang bernama Hayatul Qulub, yang
kemudian Majlis Ilmi menjadi bagian di dalamnya.
Hayatul Qulub (Hayat al-Qulub) yang didirikan
tahun 1912 tersebut
tidak hanya bergerak di bidang pendidikan saja, melainkan juga masuk ke bidang
perekonomian. Hal ini disebabkan Kiai Halim ingin memajukan lapangan
pendidikan sekaligus perdagangan. Maka anggota organisasinya bukan saja dari
kalangan santri, guru, dan kiai, tetapi juga para petani dan
pedagang. Namun organisasi yang bergerak di bidang dagang tersebut tentu
akan mempunyai saingan dagang, khususnya dengan pedagang Cina yang pada
masa itu cenderung lebih berhasil di bidang perdagangan. Karena pemerintah Hindia Belanda lebih
banyak membela kepentingan pedagang-pedagang Cina yang diberi status hukum
lebih kuat dibanding kelompok pribumi.
Persaingan tersebut memuncak ketika
pemerintah Hindia Belanda menuduh
organisasi Hayatul Qulub sebagai biang kerusuhan dalam peristiwa penyerangan
toko-toko milik orang Cina yang terjadi di Majalengka pada
tahun 1915. Akibatnya
pemerintah Hindia Belanda membubarkan Hayatul Qulub dan melarang meneruskan
segala kegiatannya. Setelah dibubarkannya organisasi tersebut, Kiai Halim
memutuskan untuk kembali ke Majlis Ilmi untuk tetap menjaga kepentingan
perjuangan Islam, terutama dalam bidang pendidikan.
Pada tanggal 16 Mei 1916, Kiai Halim
secara resmi mendirikan lembaga pendidikan baru yang ia beri nama Jam’iyah
al-I’anat al-Muta’alimin. Lembaga pendidikan ini lebih baik dari
sebelumnya, karena Kiai Halim menerapkan sistem klasikal dengan
lama kursus lima tahun dan sistem koedukasi. Dan bagi yang
sudah mencapai kelas tinggi akan menerima pelajaran bahasa Arab. Setahun
kemudian, HOS Cokroaminoto memberi
dukungan terhadap lembaga pendidikan tersebut, yang akhirnya dikembangkan dan
diubah namanya menjadi Perserikatan Ulama yang lebih dikenal
dengan PUI (Perserikatan Ulama Indonesia). Perserikatan tersebut meemiliki
panti asuhan, percetakan, dan sebuah pertenunan.[5]
Sekalipun aktif dalam berbagai organisasi itu,
Abdul Halim tetap mencurahkan perhatiannya untuk memajukan pendidikan. Hal itu
diwujudkannya dengan mendirikan Santi Asromo pada tahun 1932. Dalam lembaga
pendidikan ini, para murid tidak hanya dibekali dengan pengetahuan agama dan
pengetahuan umum, tetapi juga dengan keterampilan sesuai dengan bakat anak
didik, antara lain pertanian, pertukangan, dan kerajinan tangan.
Pada masa awal pendudukan Jepang, beberapa
partai dan organisasi politik dibekukan.
Organisasi keagamaan yang dibolehkan berdiri hanya Muhammadiyah dan Nahdlatul 'Ulama. PO pun dibekukan.
Namun, KH. Abdul Halim Iskandar tetap berusaha agar organisasi itu dihidupkan
kembali. Barulah pada tahun 1944 usahanya berhasil, tetapi namanya diganti
menjadi Perikatan Oemat Islam (POI). Kelak, pada tahun 1952, POI
mengadakan fusi dengan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII) yang didirikan
oleh K.H. Ahmad Sanusi menjadi Persatuan Umat Islam (PUI) dan
Abdul Halim diangkat sebagai ketua pertamanya.
Persatuan Umat Islam (PUI)
memiliki tujuan pokok antara lain:
3.
Memelihara tali
percintaan dan persaudaraan yang kuat dan membangunkan hati supaya suka tolong
menolong antara satu dengan lainnya.
PUI melakukan beberapa upaya untuk mewujudkan
tujuannya tersebut, di antaranya adalah:
- Mendirikan dan memelihara
sekolah.
- Menerbitkan, menyiarkan, dan
menjual buku-buku (kitab-kitab), brosur, majalah, dan surat kabar yang
berisi tentang keislaman.
- Meningkatkan pertanian,
perdagangan dan perekonomian lainnya.
- Mendidik pemuda sebagai kader
muslim masa mendatang.
- Bekerja sama dengan
perkumpulan-perkumpulan muslim lainnya demi memajukan Agama Islam.[6]
D.
Setting Sosial
Pada tahun 1328
H/1911 M beliau kembali ke Indonesia. Di samping menguasai bahasa
Arab, ia juga mempelajari bahasa Belanda dari Van Houven (salah seorang dari
Zending Kristen di Cideres) dan bahasa Cina dari orang Cina yang bermukim di
Mekah. Dengan pengalaman pendidikan dan tukar pikirannya dengan para tokoh
besar, baik di luar maupun dalam negeri, Abdul Halim semakin mantap dan teguh
dalam prinsip. Beliau tidak mau bekerja sama dengan pihak kolonial.
Ketika oleh mertuanya ditawari menjadi pegawai pemerintah, beliau menolaknya.
Dengan berbekal
semangat juang dan tekad yang kuat, sekembalinya dari Mekah, ia mulai melakukan
perbaikan untuk mengangkat derajat masyarakat, sesuai dengan hasil pengamatan
dan konsultasinya dengan beberapa tokoh di Jawa. Usaha perbaikan ini
ditempuhnya melalui jalur pendidikan (at-tarbiyah) dan penataan ekonomi
(al-iqtisadiyah).
Dalam
merealisasi cita-citanya untuk pertama kalinya KH. Abdul Halim Iskandar mendirikan
Majlis Ilmu (1911) sebagai tempat pendidikan agama dalam bentuk yang sangat
sederhana pada sebuah surau yang terbuat dari bambu. Pada majlis ini ia
memberikan pengetahuan agama kepada para santrinya. Dengan bantuan mertuanya,
KH. Muhammad Ilyas, serta dukungan masyarakat KH. Abdul Halim Iskandar dapat
terus mengembangkan idenya. Pada perkembangan berikutnya, di atas tanah
mertuanya ia dapat membangun tempat pendidikan yang dilengkapi dengan asrama
sebagai tempat tinggal para santri.
Untuk
memantapkan langkah-langkahnya pada tahun 1912 ia mendirikan uatu perkumpulan
atau organisasi bernama “Hayatul Qulub”. Adapun tujuan organisasi adalah
membantu anggota dalam persaingan dengan pedagang Cina, sekaligus menghambat
arus kapitalisme kolonial. Dalam persaingan itu, seringkali terjadi perang
mulut dan perkelahian fisik antara anggota Hayatul Qulub dengan pedagang Cina.
Melalui lembaga ini ia mengembangkan ide pembaruan pendidikan, juga aktif dalam
bidang sosial, ekonomi dan kemasyarakatan. Anggota perkumpulan ini terdiri atas
para tokoh masyarakat , santri, pedagang, dan petani.
E.
Karya-Karya KH.
Abdul Halim Iskandar Majalengka
KH. Abdul Halim
adalah ulama yang dapat dikatakan sebagai seorang penulis yang produktif.
Banyak tulisan-tulisannya yang sempat diterbitkan. Tulisan-tulisan tersebut
dipublikasikan di kalangan anggota Persyarikatan Ulama dalam bentuk brosur dan
buku kecil. Tetapi, sebagian besar tulisannya sudah terbakar sewaktu agresi
Belanda ke dua. Di antara karyanya adalah;
a. Risalah
Petunjuk bagi Sekalian Manusia
b. Ekonomi
dan Koperasi dalam Islam
c. Ketetapan
Pengajaran di Sekolah Ibtidaiyah Persyarikatan
Ulama (sebagai ketua tim penyusun)
d. Da’watul
Amal
e. Tarikh
Islam
f. Neraca
Hidup
g. Risalah
h. Ijtimaiyah
Wailajuha
i. Kitab
Tafsir Tabarok
j.
Kitab 262 Hadits Indonesia
k. Babul
Rizqi, dan lain-lain.
Dari nama-nama kitab
karangan Abdul Halim ini, yang masih tersisa tinggal 3 yaitu:
1.
Kitab Petunjuk bagi
Sekalian Manusia
2.
Ekonomi dan Koperasi
dalam Islam
3.
Ketetapan Pengajaran
di Sekolah Ibtidaiyyah Persyarikatan Ulama(sebagai ketua tim penyusun)
Selain itu,
tulisan-tulisan Abdul Halim juga dimuat dalam beberapa majalah, seperti Suara
Persyarikatan Ulama, As-Syuro, al-Kasyaaf dan Pengetahuan Islam. Abdul Halim
juga menulis di Suara Muslimin Indonesia, Suara MIAI (Majelis Islam A'la
Indonesia) dan di situ, beliau menjadi pengisi artikel Ruangan Hadits.
Beliau juga menulis dalam lembaran-lembaran lain yang beredar dalam
bentuk tercetak atau stensil, terutama untuk kalangan organisasi Persyarikatan
Ulama.
F.
Pemikiran Pendidikan KH. Abdul Halim Majaklengka
Di dalam tulisan-tulisan
tersebut, dapat dilihat pemikiran Abdul Halim tentang gagasan dan cita-citanya.
Meski pun uraiannya dihubungkan dengan masalah keagamaan, tetapi pokok-pokok
pikirannya dapat dipahami dari interpretasi yang dikemukakannya.
Pada garis
besarnya, pokok-pokok pikiran Abdul Halim bersumber dari penafsirannya tentang
konsep al-Salam. Karena menurut pemahamannya, agama Islam memuat ajaran-ajaran
yang bertujuan untuk membimbing manusia agar mereka dapat hidup selamat di
dunia, dan memperoleh kesejahteraan hidup di akhirat. Kedua macam keselamatan
hidup ini disebut al-Salam.
Berdasarkan
pengertian tadi, K.H. Abdul Halim melihat, bahwa kesejahteraan hidup di akhirat
erat kaitannya dengan keselamatan hidup di dunia. Karena untuk memperoleh
kehidupan yang sejahtera di akhirat , terlebih dahulu manusia harus selamat di
dunia, yaitu hidup yang sejalan dengan tuntutan agama. Selanjutnya pendapat
tersebut membawa K.H Abdul Halim kepada kesimpulan, bahwa ajaran islam dapat di
fungsikan sebagai poedoman untuk membina kehidupan didunia. Dengan kata lain,
al-Salam dapat diaplikasikan dalam kehidupan praktis melalaui pendidikan, yang
ditujukan untuk membimbing manusia agar berakhlak mulia, berilmu pengetahuan,
dan dapat bekerja dengan tenaganya sendiri, secara ikhlas dan ridho.
Pemikiran Abdul
Halim dapat dirumuskan menjadi;
1) Konsep
al-Salam
Menurut
pendapat Abdul Halim, bahwa al-salam pada dasarnya adalah upaya untuk membina
keselamatan hidup di dunia agar diproleh kesejahteraan diakhirat. Perbaikan
yang dilakukan di namakan al ishlah al-Tsamaniyah (8 macam perbaikan) yang
dirumuskan menjadi:
a.
Perbaikan
aqidah
Perbaikan aspek ini bertujuan agar manusia
terhindar dari kecenderungan mengabdi kepada selain Allah. Perbaikan aqidah
merupakan langkah untuk membina persaudaraan dan persatuan umat. Karena dengan
aqidah dapat dipersatukan dalam kerukunan hidup.
b.
Perbaikan
ibadah
Merupakan usaha untuk memberikan contoh dan
teladan tentang bagaimana cara melakukan ibadah seperti yang telah diajarkan
oleh Nabi Muhammad SAW.
c.
Perbaikan
keluarga
Abdul Halim memandang bahwa hubungan antar
kerabat sebagai potensi yang dapat di jadikan ikatan kerjasama dan gotong
royong.
d.
Perbaikan adat
istiadat
Unsur-unsur adat yang sudah menjadi tradisi dan
berkembang dimasyarakat kemudian tidak bertentangan dengan ajaran
agama pantas untuk dilestarikan.
e.
Perbaikan
pendidikan
Perbaikan pendidikan menurut K.H. Abdul Halim
harus diarahkan ke usaha peningkatan kesejahteraan hidup. Usaha yang dilakukan
antara lain adalah menghilangkan kebiasaan yang buruk yang diperoleh (diwarisi)
secara turun temurun. Usaha ini dilakukan dengan cara memeberikan pengetahuan
yang dapat mencerdaskan pikiran. Dengan cara demikian, maka pengetahuan
diharapkan akan mampu untuk membedakan antara sesuatu yang bermanfaat dari
sesuatu yang tidak bermanfaat.
Dalam perkembangan selanjutnya, terlihat adanya
perkembangan pemikiran K.H. Abdul Halim tentang pendidikan. Menurutnya,
pendidikan hendaknya mampu mendidik dan mengajar anak-anak kaum muslimin supaya
menjadi manusia yang berharga dunia akhirat.
f.
Perbaikan
perekonomian
Perbaikan perekonomian yang dikehendaki oleh
K.H. Abdul Halim, tampaknya diarahkan kepada usaha untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup masyarakat. Usaha untuk melakukan perbaikan itu ditempuh
dengan cara meningkatkan etos kerja dan sifat hemat yang dikaitkan dengan
ajaran agama.
g.
Perbaikan
sosial
Sejalan dengan keinginan K.H. Abdul halim untuk
membina persaudaraan di kalangan umat islam, maka beliau selalu memperhatikan
keadaan masyarakat di waktu itu. Dalam kaitannya dengan keinginannya tersebut,
beliau mencoba menerapkan ajaran agama yang menurut pertimbangannya bermanfaat
bagi kepentingan sosial, terutama untuk menjembatani perbrdaan-perbedaan yang
ada di masyarakat.
h. Perbaikan umat
K.H. Abdul Halim berpendapat bahwa perbaikan
umat merupakan tingkat terakhir dalam membina persatuan kaum muslimin agar
menjadi suatu kelompok kehidupan dalam ruang lingkup yang lebih luas. Dalam
usahanya memperbaiki kehidupan umat, K.H. Abdul Halim hanya mengarahkan kepada
usaha menjaga terbinanya hubungan persaudaraan di kalangan umat islam. Yakni
dengan cara mengamalkan kewajban-kewajiban agama secara sungguh-sungguh, sebab
menurut pendapatnya, hubungan itu memang sudah ada dalam tuntutan agama itu
sendiri, seperti dalam sholat berjamaah, mengunjungi orang sakit atau aktivitas
keagamaan yang lainnya.
2) Konsep
Pondok Pesantren Kerja ( Santi Asromo)
Santi asromo
didirikan oleh KH. Abdul Halim Iskandar tahun 1932, terletak di desa Pasir Ayu,
Kabupaten Majalengka. Menurutnya, beliau sengaja memilih lokasi yang jauh dari
keramaian kota, karena di tempat yang sunyi akan lebih mudah membentuk akhlak
para santrinya (Moh. Hakim, 1968 : 31).
Dalam pandangan
A. Aziz Halim, sebenarnya ada tiga faktor penting yang mendorong KH. Abdul
Halim Iskandar mendirikan Santi Asromo. Ketiga faktor tersebut adalah:
1.
Rasa tidak puas
terhadap pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah Belanda
2.
Tidak puas
terhadap pendidikan yang diselenggarakan oleh berbagai pondok pesantren waktu
itu
3.
Ingin
mengadakan pembaharuan, modernisasi dan penyelenggaraan pendidikan
Sebelum Santi
Asromo didirikan, sudah ada empat perguruan yang merintis konsep baru dalam
pendidikan. Latar belakang berdirinya perguruan tersebut masing-masing hampir
sama, yakni rasa tidak puas terhadap pendidikan yang diselenggarakan oleh
pemerintah kolonial Belanda. Namun beda dengan pendahulunya, Santi Asromo berdiri
ketika krisis ekonomi global. Santi Asromo dihadapkan pada kasus pengangguran sebagai
akibat dari resesi ekonomi dunia tahun 1930 yang terkenal dengan istilah Malaise,
yang dirasakan juga pengaruhnya di Indonesia.
Kondisi
perekonomian yang memprihatinkan ini mendorong KH. Abdul Halim Iskandar untuk
mewujudkan gagasannya tentang pendidikan Islam. Konsep pendidikan Islam yang
menurutnya mampu mengatasi kemelut pengangguran yang kian mewabah. Sejalan
dengan kepentingan tersebut, maka pendidikan Santi Asromo yang didirikan oleh
KH. Abdul Halim Iskandar bertujuan untuk:
a.
Membentuk
akhlak yang mulia (setia, jujur, lurus, mengerti kewajiban terhadap Allah dan
Rasul-Nya, serta terhadap kedua orang tua)
b.
Membentuk
intelek
c.
Membentuk rasa
dan sifat sosial
d.
Membentuk warga
negara yang baik (mengerti terhadap tumpah darahnya, berlaku adil terhadap sesama
makhluk Allah).
Sejalan dengan
tujuan tersebut, maka pendidikan harus diarahkan kepada upaya kemandirian anak
didik di masyarakat, mampu mencari rizki yang halal dan dapat memberikan
bantuan kepada orang lain yang membutuhkan.
3) Konsep Santri Lucu
Secara
sederhana KH. Abdul Halim Iskandar merumuskan tujuan pendidikannya adalah
membentuk “santri lucu”. Sosok santri yang mampu memegang pena dan cangkul. Ada
tiga faktor yang menjadi landasan pokok kehidupan manusia, sebagaimana yang
disandarkan pada QS. Al-Mu’minun: 12-14.
وَلَقَدۡ
خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ مِن سُلَٰلَةٖ مِّن طِينٖ ١٢ ثُمَّ جَعَلۡنَٰهُ نُطۡفَةٗ فِي قَرَارٖ
مَّكِينٖ ١٣ ثُمَّ خَلَقۡنَا ٱلنُّطۡفَةَ عَلَقَةٗ فَخَلَقۡنَا ٱلۡعَلَقَةَ
مُضۡغَةٗ فَخَلَقۡنَا ٱلۡمُضۡغَةَ عِظَٰمٗا فَكَسَوۡنَا ٱلۡعِظَٰمَ لَحۡمٗا ثُمَّ
أَنشَأۡنَٰهُ خَلۡقًا ءَاخَرَۚ فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ أَحۡسَنُ ٱلۡخَٰلِقِينَ ١٤
Artinya: “Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat
yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu
segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami
jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging.
Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah
Allah, Pencipta Yang Paling Baik”.
Beliau berpendapat bahwa berdasar
kejadian manusia berasal dari air mani yang berasal dari sari makanan. Kemudian
makanan berasal dari pertanian dan peternakan. Dari pemahaman terhadap ayat,
lalu disarikannya menjadi: (1) pertanian; (2) pertukangan; dan (3) perdagangan.
Dengan demikian pendidikan Santi
Asromo mempunyai dua tujuan pokok pendidikan, yakni tujuan umum dan tujuan
khusus. Tjuan umum sebagai tujuan akhir yang akan dicapai adalah membentuk
santri agar menjadi manusia yang dapat membekali dirinya untuk hidup di dunia
dan hidup di akhirat. Tujuan khusus akan dapat dicapai anak didik berkaitan
dengan bakat, lingkungan, kondisi sosial, kemampuan pendidik dan kelembagaan,
adalah membentuk santri menjadi manusia mandiri. “Keperluan sendiri harus
dibuat sendiri”, tegas KH. Abdul Halim Iskandar.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut,
maka menurut KH. Abdul Halim Iskandar ada tiga aspek utama yang harus diperhatikan,
yakni: (1) pendidikan bathin (akhlak); (2) pendidikan sosial (ijtima’)
dan (3) pendidikan ekonomi (iqtishad).
Adapun kurikulum yang terdapat dalam
Santi Asromo terdiri dari: (1) ilmu-ilmu keislaman; (2) ilmu-ilmu umum; dan (3)
Keterampilan praktis. Aktivitas pendidikan yang mencakup intra kurikulum (jam
07.00-13.00) dan ekstra kurikulum (jam 14.00-22.00). Ekstra kurikulum diarahkan
pada bimbingan kepramukaan, pidato, qira’at, serta ketrampilan praktis
berupa usaha industri rumah tangga seperti obat-obatan, tenunan, kerajinan
kulit dan sejenisnya.
Kelembagaan Santi Asromo terbangun
dari sarana berupa:
a.
Lembaga Umum : Santi Asromo atau
Balai Pamulang Santi Asromo di bawah pimpinan KH. Abdul Halim Iskandar
b.
Badan Penyelenggara (pengurus) :
Linngo Hamong. Semacam Dewan Guru yang bertugas membimbing (mengamong) para santri. Pimpinannya adalah
Toha A. Halim dan Abdul Qohar
c.
Poliklinik : Panti Mardhi Waluyo.
Melalui kerjasama difungsikan sebagai cabang Rumah Sakit Umum Majalengka, dalam
mengemban tugas pelayanan umum kepada masyarakat. Pimpinannya A. Aziz Halim
dibantu para dokter dan tenaga media rumah sakit.
d.
Masjid, tempat ibadah dan kegiatan
kegamaan publik.
e.
Asrama Putra (Wisma Pria Nindita),
pemondokan santri laki-laki.
f.
Koperasi, dipimpin KH. Abdul Halim
dibantu tiga ustadz. Mmodal awal berasal dari sumbangan masyarakat peserta
pengajian. Keuntungannya digunakan untuk modal usaha home industry para santri.
g.
Bengkel Kerja : Tempat latihan
keterampilan praktis yang bersifat produktif. Produksi berupa obat-obatan
sederhana, seperti balsam, minyak serei, minyak kayu putih, sabun, kain sarung
dan kecap. Aktivitas lain berupa pertanian, peternakan dan perikanan darat.
Dengan demikian penyelenggaraan
pendidikan di Santi Asromo bisa dinilai sebagai wujud dari konsep pondok
pesantren kerja. Untuk ukuran zamannya, yakni tahun 1932, gagasan ini dapat
dinilai sebagai bentuk pemikiran yang modern. Salah satu pemikiran filosofis
dalam pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia.[7]
G.
Analisa Pokok-Pokok Pemikiran KH. Abdul Halim Iskandar
Berdasarkan
uraian diatas, tampak bahwa konsep al-Salam, Santi Asromo dan konsep santri
lucu merupakan satu-kesatuan yang saling berhubungan dan berkaitan sesamanya.
Untuk mencapai kesejahteraan hidup didunia dan keselamatan hidup di akhirat,
seseorang harus memahami ajaran agama dan mengamalkannya serta memiliki
ketrampilan praktis (santri lucu).
Pendidikan
menurut K.H. Abdul Halim harus dapat membentuk kepribadian murid-muridnya dan
memberi kesempatan kepada mereka untuk meraih suatu jabatan dengan bekal
ketrampilan yang terlatih serta kemandirian yang telah terpupuk.
Pendidikan Islam sendiri adalah proses bimbingan terhadap peserta
didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang baik (insan kamil). Keberhasilan
dan kemajuan pendidikan di masa kerajaan Islam di Indonesia, tidak terlepas
dari pengaruh Sultan yang berkuasa dan peran para ulama serta pujangga, baik
dari luar maupun setempat, seperti peran Tokoh pendidikan Hamzah Fansuri,
Syamsudin As-Sumatrani, dan Syeikh Nuruddin A-Raniri, yang menghasilkan
karya-karya besar sehingga menjadikan salah satu daerah di Sumatera sebagai
pusat pengkajian Islam. Oleh karena itu pendidikan Islam harus membekali dan
menyebarkan ilmu pengetahuan yang benar-benar Islami, relevan dengan sumber
mutlaknya, Allah.
H.
Implementasi
Pemikiran KH. Abdul Halim Iskandar dalam Pendidikan Islam
Implementasi
pemikiran KH. Abdul Halim Iskandar bisa diarahkan pada pemikiran bahwa pendidikan
Islam harus diaplikasikan di tingkat akademik, yang mengkhususkan diri pada
studi Islam untuk melahirkan sarjana di bidang studi Islam, baik sebagai
intelektual maupun sebagai mufti. Oleh karena itu, diperlukan komitmen untuk
menerapkan pendidikan umat di mana semua mata pelajaran diberikan secara mendasar
sejak sekolah dasar sampai jenjang-jenjang yang lebih tinggi.
Secara
etimologis pendidikan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab “Tarbiyah” dengan kata
kerjanya “Robba” yang berarti mengasuh, mendidik, memelihara. Menurut pendapat
ahli, Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah tuntutan di dalam hidup tumbuhnya
anak-anak, maksudnya pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada
pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi- tingginya.
Sesuai implementasi pemikiran KH. Abdul Halim Iskandar dalam Pendidikan
Islam merupakan segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan
anak-anak atau peserta didik untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya
ke arah kedewasaan. HM. Arifin menyatakan, pendidikan secara teoritis
mengandung pengertian “memberi makan” kepada jiwa anak didik sehingga
mendapatkan kepuasan rohaniah, juga sering diartikan dengan menumbuhkan
kemampuan dasar manusia.
Menurut
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab 1 pasal 1 ayat 1,
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan
memang sangat berguna bagi setiap individu. Jadi, Implementasi Pemikiran KH. Abdul Halim Dalam Pendidikan Islam mencoba
mendiskripsikan pendidikan sebagai suatu proses belajar mengajar yang
membiasakan warga masyarakat sedini mungkin menggali, memahami, dan mengamalkan
semua nilai yang disepa kati sebagai nilai terpuji dan dikehendaki, serta
berguna bagi kehidupan dan perkembangan pribadi, masyarakat, bangsa dan Negara.
Pendidikan
Islam menurut Zakiah Drajat merupakan pendidikan yang lebih banyak ditujukan
kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik
bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain yang bersifat teoritis dan
praktis. Dengan demikian, sesuai implementasi pemikiran KH.
Abdul Halim Dalam Pendidikan Islam, pendidikan Islam berarti proses
bimbingan dari pendidik terhadap perkembangan jasmani, rohani, dan akal peserta
didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang baik (Insan Kamil).
I.
Kesimpulan
Dari beberapa
pemaparan di atas, maka dapat kami simpulkan bahwa:
1.
KH. Abdul Halim
Iskandar merupakan salah satu tokoh modern pembaharu pendidikan Indonesia yang
hidup pad era kolonial Belanda abad XIX.
2.
KH. Abdul Halim
adalah ulama yang dapat dikatakan sebagai seorang penulis yang produktif.
Banyak tulisan-tulisannya yang sempat diterbitkan. Tulisan-tulisan tersebut
dipublikasikan di kalangan anggota Persyarikatan Ulama dalam bentuk brosur dan
buku kecil. Tetapi, sebagian besar tulisannya sudah terbakar sewaktu agresi
Belanda ke dua.
3.
Pada garis
besarnya, pokok-pokok pikiran Abdul Halim bersumber dari penafsirannya tentang
konsep al-Salam. Karena menurut pemahamannya, agama Islam memuat ajaran-ajaran
yang bertujuan untuk membimbing manusia agar mereka dapat hidup selamat di
dunia, dan memperoleh kesejahteraan hidup di akhirat. Kedua macam keselamatan
hidup ini disebut al-Salam
4.
Konsep Pondok
Pesantren Kerja ( Santi Asromo) menurut KH. Abdul Halim Iskandar mempunyai
tujuan bahwa pendidikan harus diarahkan kepada upaya kemandirian anak didik di
masyarakat, mampu mencari rizki yang halal dan dapat memberikan bantuan kepada
orang lain yang membutuhkan.
5.
Secara
sederhana KH. Abdul Halim Iskandar merumuskan tujuan pendidikannya adalah
membentuk “santri lucu”. Sosok santri yang mampu memegang pena dan cangkul. Dengan demikian
penyelenggaraan pendidikan di Santi Asromo bisa dinilai sebagai wujud dari
konsep pondok pesantren kerja. Untuk ukuran zamannya, yakni tahun 1932, gagasan
ini dapat dinilai sebagai bentuk pemikiran yang modern. Salah satu pemikiran
filosofis dalam pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia.
Daftar Pustaka
Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam; Telaah Sejarah dan
Pemikirannya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011)
Yanuar Arifin, Pemikiran-Pemikiran Emas Para Tokoh Pendidikan
Islam Dari Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018)
Saleh Putuhena,
Historiografi Haji Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2007)
H.M. Bibit
Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, (Gelegar Media Indonesia, 2009)
[1]
Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam; Telaah Sejarah dan Pemikirannya,
(Jakarta: Kalam Mulia, 2011), hlm. 42-44.
[2] Ibid,
hlm. 113.
[3]
Yanuar Arifin, Pemikiran-Pemikiran Emas Para Tokoh Pendidikan Islam Dari
Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018), hlm. 5-7.
[4] Ibid,
hlm. 7.
[5] Saleh Putuhena, Historiografi Haji
Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm 372.
[6] H.M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama
Nusantara, (Gelegar Media Indonesia, 2009), hlm. 20-25.
[7]
Jalaludin, Filsafat Pendidikan Islam; Telaah Sejarah dan Pemikirannya¸(Jakarta:
Kalam Mulia, 2011), hlm. 217-222.