Jumat, 28 Juni 2019

PEMIKIRAN KH. ABDUL HALIM ISKANDAR MAJALENGKA TENTANG PENDIDIKAN ISLAM

Oleh : Miftahudin
Guru SMP Negeri 1 Semarang
Mahasiswa Pascasarjana Unwahas Semarang

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Dalam perjuangannya menuju kehidupan yang lebih baik, manusia memerlukan nilai-nilai luhur yang dianutnya sebagai pandangan hidup. Pandangan hidup berfungsi sebagai kerangka acuan, baik untuk menata kehidupan pribadi, maupun untuk menata hubungan antara manusia dan Tuhannya, hubungan dengan sesama manusia dan masyarakat, serta hubungan dengan alam sekitarnya.
Dalam pandangan Islam, perwujudan tersebut tidak terlepas dari misi kerasulan Rasulullah Saw., yakni membentuk akhlak yang mulia. Pembentukannya bertumpu pada lima prinsip dasar rukun Islam dengan rangkaian nilai-nilai imani (rukun iman). Darinya, tergambar bagaimana seharusnya sosok muslim mempunyai kepribadian yang berakhlak mulia serta memiliki etos keilmuan yang tinggi. Indikatornya adalah kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, sehingga menjadi seorang muslim yang berakhlak mulia dan berkualitas.[1]
Pendidikan sebagai sebuah proses berada dan berkembang bersama dengan proses perkembangan yang berlangsung dalam kehidupan manusia yang mencakup semua aspek kehidupan manusia secara menyeluruh. Sebagai sebuah proses, maka pendidikan pada dasarnya merupakan rangkaian aktivitas yang tersistem yang berhubungan erat dengan sistem nilai kehidupan yang diwujudkan melalui aktivitas pendidikan.[2]    
Pendidikan Islam yang saat ini ada dalam praktiknya belum sepenuhnya islami. Karena praktik pendidikan Islam belum dijiwai oleh nilai-nilai ajaran Islam. Banyak lembaga pendidikan Islam yang justru berlomba-lomba mengadopsi sistem barat, sementara system dan teori pendidikan Islam yang khas, mulai ditinggalkan.
Problem pendidikan di dunia Islam tidak sekedar inferioritas di bawah bayang-bayang dominasi pendidikan Barat. Lebih jauh, pendidikan Islam seharusnya dapat menyelamatkan manusia (umat Islam) dari penindasan dan pencampakan sistem materialisme modern, paham hedonism, serta degradasi moral belum sepenuhnya berhasil menjalankan fungsi atau perannya. Oleh karenanya perlu mengkaji pemikiran para tokoh pendidikan Islam dan merevitalisasi pemikiran mereka ke konteks zaman kekinian, sehingga ditemukan solusi yang tepat untuk mengatasi berbagai problem tersebut. [3]
Ada banyak tokoh pendidikan Islam sejak zaman klasik sampai modern. Di antara para pemikir klasik yang besar dan masyhur adalah Abu Hanifah, Ibnu Sahnun, Ibnu Miskawaih, Al-Qabisi, Al-Mawardi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Az-Zarnuji, Ibnu Jama’ah dan sebagainya. Sedangkan pada era modern tamillah tokoh seperti Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, Hamka, Ismail Raji al-Faruqi, Imam Zarkasyi, KH. Abdul Halim dan sebagainya. Tokoh-tokoh tersebut merupakan para cendekiawan dan pemikir pendidikan Islam yang handal. Mereka berhasil melahirkan banyak karya penting yang berkontribusi nyata bagi masyarakat muslim dunia.[4]
Dari beberapa pemaparan di atas pada kesempatan ini kami akan mengkaji salah satu tokoh pemikir pendidikan Islam Indonesia yaitu KH Abdul Halim Majalengka. Kajian dan penelitian pada makalah ini tentang pemikiran-pemikiran emas beliau, tindakan serta konsep-konsep kependidikan Islam yang pernah ada, semoga menjadi sebuah iktiar ilmiyah yang diharapkan mampu menjadi acauan untuk mengembangkan pendidikan Islam yang lebih maju dan bermartabat.   

B.       Rumusan Masalah
Adapun dalam makalah ini rumusan masalah yang akan di saqjkikan adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana riwayat hidup singkat KH. Abdul Halim Majalengka serta karya-karyanya?
2.      Bagaimana Pemikiran KH. Abdul Halim Majalengka dalam bidang pendidikan Islam?
3.      Bagaimana implementasi pemikiran KH. Abdul Halim Majalengka dalam dunia pendidikan Islam kekinian?


C.      Riwayat Hidup Singkat KH. Abdul Halim Iskandar
Abdul Halim dilahirkan di desa Cibolerang kecamatan Jatiwangi, Majalengka (Jawa Barat) pada tanggal 4 Syawal 1304 H, yakni bertepatan pada tanggal 26 Juni 1887 M, dan wafat di desa Pasir Ayu kecamatan Sukahaji, Majalengka pada tahun 1381 H/1962 (berusia sekitar 75 tahun).
Otong syatori, merupakan nama asli beliau. Setelah menunaikan ibadah haji, beliau berganti nama menjadi Abdul Halim. Ayahnya bernama K.H. Muhammad Iskandar, penghulu Kewedanaan Jatiwangi dan ibunya Hj. Siti Mutmainnah. Abdul Halim menikah dengan Siti Murbiyah, putri K.H. Mohammad Ilyas.
Abdul Halim tumbuh dan besar di pesantren. Hal ini dibuktikan sejak usia 10 tahun (1897) beliau sudah nyantri di Pesantren K.H Anwar di desa Ranji Wetan, Majalengka. Kemudian belajar kepada Kiai Abdullah di desa Lontangjaya. Berikutnya pindah ke pesantren  Bobos, Cirebon, dibawah asuhan K.H. Sujak. Kepada K.H. Ahmad Saubari di Pesantern Ciwedas. Cilimus, Kuningan, beliau melanjutkan penyantriannya. Beliau pun mesantren kepada K.H. Agus di Kenayangan, Pekalongan. Kemudian kembali lagi k Ciwedas.
Pada tahun 1907, ketika berusia 22 tahun, beliau pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji dan melanjutkan study. Selama 3 tahun belajar di Makkah, beliau sempat mengenal pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afgani. Di Mekkah beliau belajar –diantaranya- kepada Syeih Ahmad Khayyat.
Setelah tiga tahun belajar di Mekkah, Kiai Halim kembali ke Indonesia untuk mengajar. Pada tahun 1911, ia mendirikan lembaga pendidikan Majlis Ilmi di Majalengka untuk mendidik santri-santri di daerah tersebut.[2] Setahun kemudian setelah lembaga pendidikan tersebut telah berkembang, Kiai Halim mendirikan sebuah organisasi yang bernama Hayatul Qulub, yang kemudian Majlis Ilmi menjadi bagian di dalamnya.
Hayatul Qulub (Hayat al-Qulub) yang didirikan tahun 1912 tersebut tidak hanya bergerak di bidang pendidikan saja, melainkan juga masuk ke bidang perekonomian. Hal ini disebabkan Kiai Halim ingin memajukan lapangan pendidikan sekaligus perdagangan. Maka anggota organisasinya bukan saja dari kalangan santri, guru, dan kiai, tetapi juga para petani dan pedagang. Namun organisasi yang bergerak di bidang dagang tersebut tentu akan mempunyai saingan dagang, khususnya dengan pedagang Cina yang pada masa itu cenderung lebih berhasil di bidang perdagangan. Karena pemerintah Hindia Belanda lebih banyak membela kepentingan pedagang-pedagang Cina yang diberi status hukum lebih kuat dibanding kelompok pribumi.
Persaingan tersebut memuncak ketika pemerintah Hindia Belanda menuduh organisasi Hayatul Qulub sebagai biang kerusuhan dalam peristiwa penyerangan toko-toko milik orang Cina yang terjadi di Majalengka pada tahun 1915. Akibatnya pemerintah Hindia Belanda membubarkan Hayatul Qulub dan melarang meneruskan segala kegiatannya. Setelah dibubarkannya organisasi tersebut, Kiai Halim memutuskan untuk kembali ke Majlis Ilmi untuk tetap menjaga kepentingan perjuangan Islam, terutama dalam bidang pendidikan.
Pada tanggal 16 Mei 1916, Kiai Halim secara resmi mendirikan lembaga pendidikan baru yang ia beri nama Jam’iyah al-I’anat al-Muta’alimin. Lembaga pendidikan ini lebih baik dari sebelumnya, karena Kiai Halim menerapkan sistem klasikal dengan lama kursus lima tahun dan sistem koedukasi. Dan bagi yang sudah mencapai kelas tinggi akan menerima pelajaran bahasa Arab. Setahun kemudian, HOS Cokroaminoto memberi dukungan terhadap lembaga pendidikan tersebut, yang akhirnya dikembangkan dan diubah namanya menjadi Perserikatan Ulama yang lebih dikenal dengan PUI (Perserikatan Ulama Indonesia). Perserikatan tersebut meemiliki panti asuhan, percetakan, dan sebuah pertenunan.[5]
Sekalipun aktif dalam berbagai organisasi itu, Abdul Halim tetap mencurahkan perhatiannya untuk memajukan pendidikan. Hal itu diwujudkannya dengan mendirikan Santi Asromo pada tahun 1932. Dalam lembaga pendidikan ini, para murid tidak hanya dibekali dengan pengetahuan agama dan pengetahuan umum, tetapi juga dengan keterampilan sesuai dengan bakat anak didik, antara lain pertanian, pertukangan, dan kerajinan tangan.
Pada masa awal pendudukan Jepang, beberapa partai dan organisasi politik dibekukan. Organisasi keagamaan yang dibolehkan berdiri hanya Muhammadiyah dan Nahdlatul 'Ulama. PO pun di­bekukan. Namun, KH. Abdul Halim Iskandar tetap berusaha agar organisasi itu dihidupkan kembali. Barulah pada tahun 1944 usahanya berhasil, tetapi namanya diganti menjadi Perikatan Oemat Islam (POI). Kelak, pada tahun 1952, POI mengadakan fusi dengan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII) yang didirikan oleh K.H. Ahmad Sanusi menjadi Persatuan Umat Islam (PUI) dan Abdul Halim diangkat sebagai ketua pertamanya.
Persatuan Umat Islam (PUI) memiliki tujuan pokok antara lain:
1.    Memajukan dan menyiarkan pengetahuan dan pengajaran agama Islam.
2.    Memajukan perihal penghidupan yang didasarkan atas hukum Islam.
3.    Memelihara tali percintaan dan persaudaraan yang kuat dan membangunkan hati supaya suka tolong menolong antara satu dengan lainnya.
PUI melakukan beberapa upaya untuk mewujudkan tujuannya tersebut, di antaranya adalah:
  1. Mendirikan dan memelihara sekolah.
  2. Menerbitkan, menyiarkan, dan menjual buku-buku (kitab-kitab), brosur, majalah, dan surat kabar yang berisi tentang keislaman.
  3. Meningkatkan pertanian, perdagangan dan perekonomian lainnya.
  4. Mendidik pemuda sebagai kader muslim masa mendatang.
  5. Bekerja sama dengan perkumpulan-perkumpulan muslim lainnya demi memajukan Agama Islam.[6]

D.      Setting Sosial
Pada tahun 1328 H/1911 M beliau  kembali ke Indonesia. Di samping menguasai bahasa Arab, ia juga mempelajari bahasa Belanda dari Van Houven (salah seorang dari Zending Kristen di Cideres) dan bahasa Cina dari orang Cina yang bermukim di Mekah. Dengan pengalaman pendidikan dan tukar pikirannya dengan para tokoh besar, baik di luar maupun dalam negeri, Abdul Halim semakin mantap dan teguh dalam prinsip. Beliau  tidak mau bekerja sama dengan pihak kolonial. Ketika oleh mertuanya ditawari menjadi pegawai pemerintah, beliau menolaknya.
Dengan berbekal semangat juang dan tekad yang kuat, sekembalinya dari Mekah, ia mulai melakukan perbaikan untuk mengangkat derajat masyarakat, sesuai dengan hasil pengamatan dan konsultasinya dengan beberapa tokoh di Jawa. Usaha perbaikan ini ditempuhnya melalui jalur pendidikan (at-tarbiyah) dan penataan ekonomi (al-iqtisadiyah).
Dalam merealisasi cita-citanya untuk pertama kalinya KH. Abdul Halim Iskandar mendirikan Majlis Ilmu (1911) sebagai tempat pendidikan agama dalam bentuk yang sangat sederhana pada sebuah surau yang terbuat dari bambu. Pada majlis ini ia memberikan pengetahuan agama kepada para santrinya. Dengan bantuan mertuanya, KH. Muhammad Ilyas, serta dukungan masyarakat KH. Abdul Halim Iskandar dapat terus mengembangkan idenya. Pada perkembangan berikutnya, di atas tanah mertuanya ia dapat membangun tempat pendidikan yang dilengkapi dengan asrama sebagai tempat tinggal para santri.
Untuk memantapkan langkah-langkahnya pada tahun 1912 ia mendirikan uatu perkumpulan atau organisasi bernama “Hayatul Qulub”. Adapun tujuan organisasi adalah membantu anggota dalam persaingan dengan pedagang Cina, sekaligus menghambat arus kapitalisme kolonial. Dalam persaingan itu, seringkali terjadi perang mulut dan perkelahian fisik antara anggota Hayatul Qulub dengan pedagang Cina. Melalui lembaga ini ia mengembangkan ide pembaruan pendidikan, juga aktif dalam bidang sosial, ekonomi dan kemasyarakatan. Anggota perkumpulan ini terdiri atas para tokoh masyarakat , santri, pedagang, dan petani.

E.       Karya-Karya KH. Abdul Halim Iskandar Majalengka
KH. Abdul Halim adalah ulama yang dapat dikatakan sebagai seorang penulis yang produktif. Banyak tulisan-tulisannya yang sempat diterbitkan. Tulisan-tulisan tersebut dipublikasikan di kalangan anggota Persyarikatan Ulama dalam bentuk brosur dan buku kecil. Tetapi, sebagian besar tulisannya sudah terbakar sewaktu agresi Belanda ke dua. Di antara karyanya adalah;
a.     Risalah Petunjuk bagi Sekalian Manusia
b.     Ekonomi dan Koperasi dalam Islam
c.     Ketetapan Pengajaran di Sekolah Ibtidaiyah Persyarikatan   
                    Ulama (sebagai ketua tim penyusun)     
d.     Da’watul Amal
e.     Tarikh Islam
f.      Neraca Hidup
g.     Risalah
h.     Ijtimaiyah Wailajuha
i.      Kitab Tafsir Tabarok
j.       Kitab 262 Hadits Indonesia
k.      Babul Rizqi, dan lain-lain.
Dari nama-nama kitab karangan Abdul Halim ini, yang masih tersisa tinggal 3 yaitu:
1.      Kitab Petunjuk bagi Sekalian Manusia
2.      Ekonomi dan Koperasi dalam Islam
3.      Ketetapan Pengajaran di Sekolah Ibtidaiyyah Persyarikatan Ulama(sebagai ketua tim penyusun)
Selain itu, tulisan-tulisan Abdul Halim juga dimuat dalam beberapa majalah, seperti Suara Persyarikatan Ulama, As-Syuro, al-Kasyaaf dan Pengetahuan Islam. Abdul Halim juga menulis di Suara Muslimin Indonesia, Suara MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia) dan di situ, beliau menjadi pengisi artikel Ruangan Hadits. Beliau  juga menulis dalam lembaran-lembaran lain yang beredar dalam bentuk tercetak atau stensil, terutama untuk kalangan organisasi Persyarikatan Ulama.

F.       Pemikiran Pendidikan KH. Abdul Halim Majaklengka
Di dalam tulisan-tulisan tersebut, dapat dilihat pemikiran Abdul Halim tentang gagasan dan cita-citanya. Meski pun uraiannya dihubungkan dengan masalah keagamaan, tetapi pokok-pokok pikirannya dapat dipahami dari interpretasi yang dikemukakannya.
Pada garis besarnya, pokok-pokok pikiran Abdul Halim bersumber dari penafsirannya tentang konsep al-Salam. Karena menurut pemahamannya, agama Islam memuat ajaran-ajaran yang bertujuan untuk membimbing manusia agar mereka dapat hidup selamat di dunia, dan memperoleh kesejahteraan hidup di akhirat. Kedua macam keselamatan hidup ini disebut al-Salam.
Berdasarkan pengertian tadi, K.H. Abdul Halim melihat, bahwa kesejahteraan hidup di akhirat erat kaitannya dengan keselamatan hidup di dunia. Karena untuk memperoleh kehidupan yang sejahtera di akhirat , terlebih dahulu manusia harus selamat di dunia, yaitu hidup yang sejalan dengan tuntutan agama. Selanjutnya pendapat tersebut membawa K.H Abdul Halim kepada kesimpulan, bahwa ajaran islam dapat di fungsikan sebagai poedoman untuk membina kehidupan didunia. Dengan kata lain, al-Salam dapat diaplikasikan dalam kehidupan praktis melalaui pendidikan, yang ditujukan untuk membimbing manusia agar berakhlak mulia, berilmu pengetahuan, dan dapat bekerja dengan tenaganya sendiri, secara ikhlas dan ridho.
Pemikiran Abdul Halim dapat dirumuskan menjadi;
1)      Konsep al-Salam
Menurut pendapat Abdul Halim, bahwa al-salam pada dasarnya adalah upaya untuk membina keselamatan hidup di dunia agar diproleh kesejahteraan diakhirat. Perbaikan yang dilakukan di namakan al ishlah al-Tsamaniyah (8 macam perbaikan) yang dirumuskan menjadi:
a.      Perbaikan aqidah
Perbaikan aspek ini bertujuan agar manusia terhindar dari kecenderungan mengabdi kepada selain Allah. Perbaikan aqidah merupakan langkah untuk membina persaudaraan dan persatuan umat. Karena dengan aqidah dapat dipersatukan dalam kerukunan hidup.
b.      Perbaikan ibadah
Merupakan usaha untuk memberikan contoh dan teladan tentang bagaimana cara melakukan ibadah seperti yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. 
c.       Perbaikan keluarga
Abdul Halim memandang bahwa hubungan antar kerabat sebagai potensi yang dapat di jadikan ikatan kerjasama dan gotong royong.
d.      Perbaikan adat istiadat
Unsur-unsur adat yang sudah menjadi tradisi dan berkembang dimasyarakat kemudian tidak  bertentangan dengan ajaran agama pantas untuk dilestarikan.
e.       Perbaikan pendidikan
Perbaikan pendidikan menurut K.H. Abdul Halim harus diarahkan ke usaha peningkatan kesejahteraan hidup. Usaha yang dilakukan antara lain adalah menghilangkan kebiasaan yang buruk yang diperoleh (diwarisi) secara turun temurun. Usaha ini dilakukan dengan cara memeberikan pengetahuan yang dapat mencerdaskan pikiran. Dengan cara demikian, maka pengetahuan diharapkan akan mampu untuk membedakan antara sesuatu yang bermanfaat dari sesuatu yang tidak bermanfaat.
Dalam perkembangan selanjutnya, terlihat adanya perkembangan pemikiran K.H. Abdul Halim tentang pendidikan. Menurutnya, pendidikan hendaknya mampu mendidik dan mengajar anak-anak kaum muslimin supaya menjadi manusia yang berharga dunia akhirat.


f.        Perbaikan perekonomian
Perbaikan perekonomian yang dikehendaki oleh K.H. Abdul Halim, tampaknya diarahkan kepada usaha untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat. Usaha untuk melakukan perbaikan itu ditempuh dengan cara meningkatkan etos kerja dan sifat hemat yang dikaitkan dengan ajaran agama.
g.      Perbaikan sosial
Sejalan dengan keinginan K.H. Abdul halim untuk membina persaudaraan di kalangan umat islam, maka beliau selalu memperhatikan keadaan masyarakat di waktu itu. Dalam kaitannya dengan keinginannya tersebut, beliau mencoba menerapkan ajaran agama yang menurut pertimbangannya bermanfaat bagi kepentingan sosial, terutama untuk menjembatani perbrdaan-perbedaan yang ada di masyarakat.
h.  Perbaikan umat
K.H. Abdul Halim berpendapat bahwa perbaikan umat merupakan tingkat terakhir dalam membina persatuan kaum muslimin agar menjadi suatu kelompok kehidupan dalam ruang lingkup yang lebih luas. Dalam usahanya memperbaiki kehidupan umat, K.H. Abdul Halim hanya mengarahkan kepada usaha menjaga terbinanya hubungan persaudaraan di kalangan umat islam. Yakni dengan cara mengamalkan kewajban-kewajiban agama secara sungguh-sungguh, sebab menurut pendapatnya, hubungan itu memang sudah ada dalam tuntutan agama itu sendiri, seperti dalam sholat berjamaah, mengunjungi orang sakit atau aktivitas keagamaan yang lainnya.

2)      Konsep Pondok Pesantren Kerja ( Santi Asromo)
Santi asromo didirikan oleh KH. Abdul Halim Iskandar tahun 1932, terletak di desa Pasir Ayu, Kabupaten Majalengka. Menurutnya, beliau sengaja memilih lokasi yang jauh dari keramaian kota, karena di tempat yang sunyi akan lebih mudah membentuk akhlak para santrinya (Moh. Hakim, 1968 : 31).
Dalam pandangan A. Aziz Halim, sebenarnya ada tiga faktor penting yang mendorong KH. Abdul Halim Iskandar mendirikan Santi Asromo. Ketiga faktor tersebut adalah:
1.      Rasa tidak puas terhadap pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah Belanda
2.      Tidak puas terhadap pendidikan yang diselenggarakan oleh berbagai pondok pesantren waktu itu
3.      Ingin mengadakan pembaharuan, modernisasi dan penyelenggaraan pendidikan
Sebelum Santi Asromo didirikan, sudah ada empat perguruan yang merintis konsep baru dalam pendidikan. Latar belakang berdirinya perguruan tersebut masing-masing hampir sama, yakni rasa tidak puas terhadap pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Namun beda dengan pendahulunya, Santi Asromo berdiri ketika krisis ekonomi global. Santi Asromo dihadapkan pada kasus pengangguran sebagai akibat dari resesi ekonomi dunia tahun 1930 yang terkenal dengan istilah Malaise, yang dirasakan juga pengaruhnya di Indonesia. 
Kondisi perekonomian yang memprihatinkan ini mendorong KH. Abdul Halim Iskandar untuk mewujudkan gagasannya tentang pendidikan Islam. Konsep pendidikan Islam yang menurutnya mampu mengatasi kemelut pengangguran yang kian mewabah. Sejalan dengan kepentingan tersebut, maka pendidikan Santi Asromo yang didirikan oleh KH. Abdul Halim Iskandar bertujuan untuk:
a.       Membentuk akhlak yang mulia (setia, jujur, lurus, mengerti kewajiban terhadap Allah dan Rasul-Nya, serta terhadap kedua orang tua)
b.      Membentuk intelek
c.       Membentuk rasa dan sifat sosial
d.      Membentuk warga negara yang baik (mengerti terhadap tumpah darahnya, berlaku adil terhadap sesama makhluk Allah).
Sejalan dengan tujuan tersebut, maka pendidikan harus diarahkan kepada upaya kemandirian anak didik di masyarakat, mampu mencari rizki yang halal dan dapat memberikan bantuan kepada orang lain yang membutuhkan.

3)      Konsep Santri Lucu
Secara sederhana KH. Abdul Halim Iskandar merumuskan tujuan pendidikannya adalah membentuk “santri lucu”. Sosok santri yang mampu memegang pena dan cangkul. Ada tiga faktor yang menjadi landasan pokok kehidupan manusia, sebagaimana yang disandarkan pada QS. Al-Mu’minun: 12-14.
وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ مِن سُلَٰلَةٖ مِّن طِينٖ ١٢  ثُمَّ جَعَلۡنَٰهُ نُطۡفَةٗ فِي قَرَارٖ مَّكِينٖ ١٣ ثُمَّ خَلَقۡنَا ٱلنُّطۡفَةَ عَلَقَةٗ فَخَلَقۡنَا ٱلۡعَلَقَةَ مُضۡغَةٗ فَخَلَقۡنَا ٱلۡمُضۡغَةَ عِظَٰمٗا فَكَسَوۡنَا ٱلۡعِظَٰمَ لَحۡمٗا ثُمَّ أَنشَأۡنَٰهُ خَلۡقًا ءَاخَرَۚ فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ أَحۡسَنُ ٱلۡخَٰلِقِينَ ١٤
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik”.
Beliau berpendapat bahwa berdasar kejadian manusia berasal dari air mani yang berasal dari sari makanan. Kemudian makanan berasal dari pertanian dan peternakan. Dari pemahaman terhadap ayat, lalu disarikannya menjadi: (1) pertanian; (2) pertukangan; dan (3) perdagangan.
Dengan demikian pendidikan Santi Asromo mempunyai dua tujuan pokok pendidikan, yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Tjuan umum sebagai tujuan akhir yang akan dicapai adalah membentuk santri agar menjadi manusia yang dapat membekali dirinya untuk hidup di dunia dan hidup di akhirat. Tujuan khusus akan dapat dicapai anak didik berkaitan dengan bakat, lingkungan, kondisi sosial, kemampuan pendidik dan kelembagaan, adalah membentuk santri menjadi manusia mandiri. “Keperluan sendiri harus dibuat sendiri”, tegas KH. Abdul Halim Iskandar.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka menurut KH. Abdul Halim Iskandar ada tiga aspek utama yang harus diperhatikan, yakni: (1) pendidikan bathin (akhlak); (2) pendidikan sosial (ijtima’) dan (3) pendidikan ekonomi (iqtishad).
Adapun kurikulum yang terdapat dalam Santi Asromo terdiri dari: (1) ilmu-ilmu keislaman; (2) ilmu-ilmu umum; dan (3) Keterampilan praktis. Aktivitas pendidikan yang mencakup intra kurikulum (jam 07.00-13.00) dan ekstra kurikulum (jam 14.00-22.00). Ekstra kurikulum diarahkan pada bimbingan kepramukaan, pidato, qira’at, serta ketrampilan praktis berupa usaha industri rumah tangga seperti obat-obatan, tenunan, kerajinan kulit dan sejenisnya.


Kelembagaan Santi Asromo terbangun dari sarana berupa:
a.       Lembaga Umum : Santi Asromo atau Balai Pamulang Santi Asromo di bawah pimpinan KH. Abdul Halim Iskandar
b.      Badan Penyelenggara (pengurus) : Linngo Hamong. Semacam Dewan Guru yang bertugas membimbing  (mengamong) para santri. Pimpinannya adalah Toha A. Halim dan Abdul Qohar
c.       Poliklinik : Panti Mardhi Waluyo. Melalui kerjasama difungsikan sebagai cabang Rumah Sakit Umum Majalengka, dalam mengemban tugas pelayanan umum kepada masyarakat. Pimpinannya A. Aziz Halim dibantu para dokter dan tenaga media rumah sakit.
d.      Masjid, tempat ibadah dan kegiatan kegamaan publik.
e.       Asrama Putra (Wisma Pria Nindita), pemondokan santri laki-laki.
f.       Koperasi, dipimpin KH. Abdul Halim dibantu tiga ustadz. Mmodal awal berasal dari sumbangan masyarakat peserta pengajian. Keuntungannya digunakan untuk modal usaha home industry para santri.
g.      Bengkel Kerja : Tempat latihan keterampilan praktis yang bersifat produktif. Produksi berupa obat-obatan sederhana, seperti balsam, minyak serei, minyak kayu putih, sabun, kain sarung dan kecap. Aktivitas lain berupa pertanian, peternakan dan perikanan darat.
Dengan demikian penyelenggaraan pendidikan di Santi Asromo bisa dinilai sebagai wujud dari konsep pondok pesantren kerja. Untuk ukuran zamannya, yakni tahun 1932, gagasan ini dapat dinilai sebagai bentuk pemikiran yang modern. Salah satu pemikiran filosofis dalam pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia.[7]

G.      Analisa Pokok-Pokok Pemikiran  KH. Abdul Halim Iskandar        
Berdasarkan uraian diatas, tampak bahwa konsep al-Salam, Santi Asromo dan konsep santri lucu merupakan satu-kesatuan yang saling berhubungan dan berkaitan sesamanya. Untuk mencapai kesejahteraan hidup didunia dan keselamatan hidup di akhirat, seseorang harus memahami ajaran agama dan mengamalkannya serta memiliki ketrampilan praktis (santri lucu).
Pendidikan menurut K.H. Abdul Halim harus dapat membentuk kepribadian murid-muridnya dan memberi kesempatan kepada mereka untuk meraih suatu jabatan dengan bekal ketrampilan yang terlatih serta kemandirian yang telah terpupuk.
Pendidikan Islam sendiri adalah proses bimbingan terhadap peserta didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang baik (insan kamil). Keberhasilan dan kemajuan pendidikan di masa kerajaan Islam di Indonesia, tidak terlepas dari pengaruh Sultan yang berkuasa dan peran para ulama serta pujangga, baik dari luar maupun setempat, seperti peran Tokoh pendidikan Hamzah Fansuri, Syamsudin As-Sumatrani, dan Syeikh Nuruddin A-Raniri, yang menghasilkan karya-karya besar sehingga menjadikan salah satu daerah di Sumatera sebagai pusat pengkajian Islam. Oleh karena itu pendidikan Islam harus membekali dan menyebarkan ilmu pengetahuan yang benar-benar Islami, relevan dengan sumber mutlaknya, Allah. 

H.      Implementasi Pemikiran KH. Abdul Halim Iskandar dalam Pendidikan Islam

Implementasi pemikiran KH. Abdul Halim Iskandar bisa diarahkan pada pemikiran bahwa pendidikan Islam harus diaplikasikan di tingkat akademik, yang mengkhususkan diri pada studi Islam untuk melahirkan sarjana di bidang studi Islam, baik sebagai intelektual maupun sebagai mufti. Oleh karena itu, diperlukan komitmen untuk menerapkan pendidikan umat di mana semua mata pelajaran diberikan secara mendasar sejak sekolah dasar sampai jenjang-jenjang yang lebih tinggi.
Secara etimologis pendidikan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab “Tarbiyah” dengan kata kerjanya “Robba” yang berarti mengasuh, mendidik, memelihara. Menurut pendapat ahli, Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, maksudnya pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi- tingginya.
Sesuai implementasi pemikiran KH. Abdul Halim Iskandar dalam Pendidikan Islam merupakan segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak atau peserta didik untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. HM. Arifin menyatakan, pendidikan secara teoritis mengandung pengertian “memberi makan” kepada jiwa anak didik sehingga mendapatkan kepuasan rohaniah, juga sering diartikan dengan menumbuhkan kemampuan dasar manusia. 
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab 1 pasal 1 ayat 1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan memang sangat berguna bagi setiap individu. Jadi, Implementasi Pemikiran KH. Abdul Halim Dalam Pendidikan Islam mencoba mendiskripsikan pendidikan sebagai suatu proses belajar mengajar yang membiasakan warga masyarakat sedini mungkin menggali, memahami, dan mengamalkan semua nilai yang disepa kati sebagai nilai terpuji dan dikehendaki, serta berguna bagi kehidupan dan perkembangan pribadi, masyarakat, bangsa dan Negara.
Pendidikan Islam menurut Zakiah Drajat merupakan pendidikan yang lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain yang bersifat teoritis dan praktis. Dengan demikian, sesuai implementasi pemikiran KH. Abdul Halim Dalam Pendidikan Islam, pendidikan Islam berarti proses bimbingan dari pendidik terhadap perkembangan jasmani, rohani, dan akal peserta didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang baik (Insan Kamil).


I.         Kesimpulan
Dari beberapa pemaparan di atas, maka dapat kami simpulkan bahwa:
1.             KH. Abdul Halim Iskandar merupakan salah satu tokoh modern pembaharu pendidikan Indonesia yang hidup pad era kolonial Belanda abad XIX.
2.             KH. Abdul Halim adalah ulama yang dapat dikatakan sebagai seorang penulis yang produktif. Banyak tulisan-tulisannya yang sempat diterbitkan. Tulisan-tulisan tersebut dipublikasikan di kalangan anggota Persyarikatan Ulama dalam bentuk brosur dan buku kecil. Tetapi, sebagian besar tulisannya sudah terbakar sewaktu agresi Belanda ke dua.
3.             Pada garis besarnya, pokok-pokok pikiran Abdul Halim bersumber dari penafsirannya tentang konsep al-Salam. Karena menurut pemahamannya, agama Islam memuat ajaran-ajaran yang bertujuan untuk membimbing manusia agar mereka dapat hidup selamat di dunia, dan memperoleh kesejahteraan hidup di akhirat. Kedua macam keselamatan hidup ini disebut al-Salam
4.             Konsep Pondok Pesantren Kerja ( Santi Asromo) menurut KH. Abdul Halim Iskandar mempunyai tujuan bahwa pendidikan harus diarahkan kepada upaya kemandirian anak didik di masyarakat, mampu mencari rizki yang halal dan dapat memberikan bantuan kepada orang lain yang membutuhkan.
5.             Secara sederhana KH. Abdul Halim Iskandar merumuskan tujuan pendidikannya adalah membentuk “santri lucu”. Sosok santri yang mampu memegang pena dan cangkul. Dengan demikian penyelenggaraan pendidikan di Santi Asromo bisa dinilai sebagai wujud dari konsep pondok pesantren kerja. Untuk ukuran zamannya, yakni tahun 1932, gagasan ini dapat dinilai sebagai bentuk pemikiran yang modern. Salah satu pemikiran filosofis dalam pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia.






Daftar Pustaka

Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam; Telaah Sejarah dan Pemikirannya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011)

Yanuar Arifin, Pemikiran-Pemikiran Emas Para Tokoh Pendidikan Islam Dari Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018)

Saleh Putuhena,  Historiografi Haji Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2007)

H.M. Bibit Suprapto,  Ensiklopedi Ulama Nusantara, (Gelegar Media Indonesia, 2009)




[1] Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam; Telaah Sejarah dan Pemikirannya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), hlm. 42-44.
[2] Ibid, hlm. 113.
[3] Yanuar Arifin, Pemikiran-Pemikiran Emas Para Tokoh Pendidikan Islam Dari Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018), hlm. 5-7.
[4] Ibid, hlm. 7.
[5]  Saleh Putuhena,  Historiografi Haji Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm 372.
[6] H.M. Bibit Suprapto,  Ensiklopedi Ulama Nusantara, (Gelegar Media Indonesia, 2009), hlm.  20-25.
[7] Jalaludin, Filsafat Pendidikan Islam; Telaah Sejarah dan Pemikirannya¸(Jakarta: Kalam Mulia, 2011), hlm. 217-222.
Selamat Membaca