Sabtu, 17 Maret 2018

ADAKAH "PEMBOHONG" DI DUNIA INI?

Oleh : Miftahudin

Satu sifat yang paling tidak disukai semua orang, salah satunya adalah bohong. Semua pekerjaan yang mengandung unsur tersebut tidak akan sempurna dan biasanya membawa efek negatif, baik yang berbohong maupun yang dibohongi. Yang berbohong kepercayaan padanya akan berkurang, sedangkan yang dibohongi akan tersulut emosionalnya. Namun, apakah benar jika yang berbohong itu kita katakan sebagai pembohong?

Dalam sebuah artikel, Handoko Gani, “suka berbohong = pasti berbohong lagi di masa akan datang” adalah persepsi yang seringkali terjadi di sekeliling kita. Dan persepsi inilah salah satu persepsi yang membuat Anda salah deteksi apakah teman Anda berkata/berperilaku jujur atau bohong”. Tegasnya.
Ia menilai, persepsi bahwa orang yang terbiasa berbohong akan selalu berbohong itu justru akan merusak pemikiran kita terhadapnya. Seolah-olah kita menutup diri tentang informasi yang sebenar-benarnya yang bisa kita gali pengakuannya. Handoko menyebut cara pandang seperti ini bagaikan “hidung pinokio” yang pasti memanjang ketika ia berbohong. Ketika si A yang ngomong, pasti bohong. Ketika si A ngomong nya seperti itu, si A pasti bohong. Kalau disuruh percaya si A atau B yang bohong, pasti si A yang bohong, karena dia sering berbohongSementara kita tahu, kalau cerita Pinokio itu tidak nyata dalam kehidupan sebenarnya. Cerita itu untuk melatih pola pikir anak-anak kita untuk selalu jujur, buka menutup kebenaran bagi orang-orang dewasa seperti kita. 

Sebagai pendidik, saya setiap hari menemui ratusan peserta didik dengan berbagai sikap dan perilakunya. Dengan latar belakang yang berbeda pula, mereka terkadang sudah bisa menutupi apa yang mereka lakukan sebenarnya. Tentu banyak faktor yang mendukung, mengapa peserta didik dengan usia yang masih belia tersebut mampu berbohong. Bahkan dengan orang tua atau gurunya sendiri. Sikap dan perilaku mereka terbentuk atas kondisi keluarga, lingkungan dan pergaulan mereka kesehariannya. Semakin luas pergaulan mereka, maka mereka semakin banyak pula referensi untuk melakukan hal-hal yang mereka inginkan. Mereka sebenarnya tahu apa yang mereka lakukan tidak benar, tahu ada aturan yang mereka langgar dan tahu akan sanksi yang diterima olehnya. Namun, karena banyak referensi sikap yang mereka punya, akhirnya mendorong mereka untuk menutupi kesalahan tersebut.

Kejadian diatas seringkali dialami oleh peserta didik, dan termasuk saya yang seringkali mengalami hal tersebut. Terkadang saya dalam hati, berguman kalau anak tersebut bohongnya sudah tidak terhitung saking banyaknya. Bahkan dengan berat hati saya ingin katakan kalau anak tersebut pembohong. Namun, cepat cepat pikiran ini saya hapus dan terus mencari sisi positifnya supaya do’a baik saya selalu menyertainya untk menjadi anak yang sholeh.  

Suatu ketika, ada pendidik dari Sekolah tetangga, sebutlah Pak A, yang datang ke sekolah kami dengan membawa secarik kertas yang bertuliskan 4 nama. Beliau mengungkapkan apa tujuan datang ke sekolah kami, dengan bahasa yang agak menggebu-gebu, beliau ingin dipanggilkan dengan anak-anak berikut. Beliau sebut satu persatu anak yang dimaksud. Hampir saja beliau lupa saking semangat, alasan minta dipanggilkan anak tersebut karena apa. Untung saja sayang ingatkan. Namun, sejujurnya sebelum beiau menyebutkan nama, saya sudah menebak pasti anak-anak saya “yang itu”, yang sering berbohong dan bermasalah. Ternyata benar yang dimaksud adalah anak-anak tersebut. 

Dengan nada yang agak tinggi, beliau menyampaikan bahwa keempat anak tersebut telah melakukan hal-hal yang tidak baik terhadap anak didiknya. Karena kejadian ini dianggap tidak sekali ataupun dua kali, maka beliau beranika diri datang ke sekolah. Dan atas pernyataan beliau, saya tidak bisa langsung memanggil anak tersebut sebelum saya tahu pasti kejadian yang sebenarnya. Saya pun memenaggil mereka, tapi di ruang sebelah. Saya tanya mereka sesuai asumsi dari Pak A, ternyata mereka tidak mengakui. Saya tanya lagi, mereka juga tidak mau mengakuinya. Pertanyaan saya yang ketiga dan keempat pun sama tidak ada yang mengakuinya. Saya tahu mereka punya kebiasaan berkata tidak jujur. Saya pun saat itu belum percaya sepenuhnya. Akhirnya, saya pun mengajak anak anak tersebut langsung menemui Pak A yang mencarinya. Pak A pun langsung menenayakan perihal kenapa melakukan hal yang tidak baik kepada anak didiknya yang bernama B. Satu persatu anak didik saya menjawab, dan tidak satu pun yang mengakuinya. Di tanya sekali lagi, jawabannya sama. Dan kejadian ini sampai berulang berkali-kali dan saya pun agak kewalahan mengatasinya. Saya minta sekali lagi untuk jujur, sambil menangis salah satu diantara mereka menjawab justru kami yang diperlakukan tidak baik oleh anak didik Pak A. Dituduh mencoret tembok, dan disuruh mengganti dengan mengecatnya sendiri. Mereka seringkali diperlakukan tidak baik dan seringkali juga dimintai uang. Akhirnya, saya yang asalnya tidak percaya sama anak anak, justru sebaliknya. Saya merasa iba pada mereka dan sudah salah menilai dalam hal ini. Pak A pun pulang dan sepertinya kurang begitu puas dengan jawaban anak-anak.
Dari kejadian ini, saya mulai agak tertarik mempelajari gerak bibir untuk mendeteksi kebohongan. Prinsipnya jelas, “barang siapa yang suka berbohong, tidak akan dipercaya”. Sebagaimana cerita fabel yang kita kenal “Si Kelinci Pembohong”. Dimana kelinci suka berbohong pada teman-temannya di hutan kalau ada Singa datang. Temannya pun lari terbirit-birit, Si Kelinci pun tertawa terbahak-bahak. Hal sama pun ia lakukan pada teman-temannya yang lain. Dan giliran ia yang meminta tolong dengan menjerit-jerit kalau ia dikejar Singa, tak ada satu pun teman yang percaya karena mereka pikir pasti kelinci berbohong lagi. Tapi ternyata kejadian itu betulan, Si Kelinci pun akhirnya mati oleh Singa.

Barangkali Anda juga pernah mengalaminya, atau memperlakukan teman, sahabat, atau bahkan anak sendiri dengan cara seperti itu. Ada seseorang yang suka berbohong. Namun, ketika dia jujur, justru dianggap bohong. Terus kira-kira bagaimana cara untuk mendeteksi kebohongan? Apakah yang sudah terbiasa berbohong, bisa kita sebut pembohong? Atau justru yang jujur, dianggap bohong, terus dikatakan pembohong? 

Handoko Gani mengingatkan, bahwa di dalam ilmu kriminologi diajarkan bahwa setiap orang punya potensi berbuat jahat. Yang tidak bisa berbuat jahat hanya Sang Pencipta. Sehingga kemungkinan besar sekali setiap orang berpotensi tidak jujur. Bahkan dalam ilmu psikologi pun, diajarkan bahwa kebohongan bersifat kontekstual. Si A yang pernah berbohong, atau bahkan seringkali berbohong, belum tentu akan berbohong lagi pada konteks moment saat ini, atau pada konteks topik tertentu, atau konteksnya saat berbicara di hadapan orang tertentu, misalnya atasan yang ia segani, pimpinan perusahaan, dan lainnya. 

Bahasa lain yang bisa kita gunakan untuk mengungkapkan cara pandang diatas adalah tidak manusia yang bisa dinyatakan sebagai seorang “Pembohong”. Saya ulangi, tidak ada. Sampai hari ini tidak ada riset yang mengatakan bahwa orang tertentu lebih sedikit berbohong daripada orang lain, sekalipun memang ada riset yang mencoba meminta responden menulis jumlah kebohongan masing-masing. 
Lebih lanjut, Handoko menjelaskan bahwa kenyataannya manusia memang makhluk pelupa, dimana ia bisa lupa kebohongan apa yang terakhir ia lakukan, apakah si X adalah seorang PEMBOHONG dan Anda bukanlah seorang PEMBOHONG? Berdasarkan riset, manusia telah mulai berbohong sejak usia 2 tahun (Fritz and Hala, 1989). Riset De Paulo, Kashy et al (1996) juga menemukan bahwa dalam salah satu dari 4 kegiatan/interaksi sosial, seseorang berbohong kepada 3 dari 10 orang yang mereka temui. Dan, akhirnya Tyler et al. (2006) menemukan bahwa dalam 10 menit percakapan, 78% orang berbohong sebanyak 2-3 kali. 

Sehingga jelas bahwa persepsi seringkali berbohong = Pembohong adalah persepsi yang perlu diperbaiki. Tidak ada manusia dengan bentuk wajah tertentu, bentuk fisik tertentu, karakter tertentu, cara berjalan tertentu, cara berbicara tertentu yang pasti selalu berbohong dalam konteks apapun. Kecuali, ia menderita sakit jiwa. Atau dalam istilahnya handoko, ia sebut sebagai kelainan Schizophrenia atau Mythomania, yang mana perlu dibuktikan dengan test psikologi.

6 hal penting dari cerita diatas, yaitu :
1. Berkatalah jujur, meski itu pahit. Jika tidak bisa berkata jujur, janganlah merugikan orang yang sudah mempercayai kata-kata Anda.
2. Setiap orang berpotensi membohongi Anda, termasuk Anda sendiri. Bahkan, sekalipun seseorang berkata jujur tentang topik yang sama di masa lalu, belum tentu ia masih akan berkata jujur tentang topik yang sama saat ini atau di masa depan. 
3. Mendeteksi kebohongan dengan teknik analisa non-verbal (wajah, gestur) dan teknik analisa verbal dalam ucapannya (suara, kata-kata dalam percakapan tatap muka, telpon, media sosial, rekaman audio visual, dll).
4. Jika Anda sudah dianggap bohong, meski belum tentu Anda bohong, maka berkata dan bersikaplah apa adanya seperti kondisi normal Anda berkata dan bersikap. 
5. Jika pernyataan nomor 4, masih belum bisa menyejukkan, maka kautkanlah pernyataan Anda dengan bukti-bukti yang konkrit yang membuktikan kalau Anda tidaklah sedang berbohong.

6. Jika pernyataan nomor 5 belum juga menyejukkan, Anda harus Tawakkal dan pastikan Anda tidak menyalahinya. Dan yang penting adalah minta maaf, meski Anda sendiri sebenarnya tidak salah. Sebaik-baiknya orang salah adalah meminta maaf, dan sebaik-baiknya orang yang disalahi adalah orang yang menerima maaf. Keduanya sebaik-baiknya orang dalam kondisinya masing-masing.

Selamat Membaca

Tidak ada komentar:
Write comments