Kamis, 22 Maret 2018

MENGAPA ORANG DIKATAKAN "TEGA"?

                                             Oleh : Miftahudin
Ingin dihargai, dihormati dan tidak diremehkan merupakan kebutuhan kita dalam bersosial di masyarakat. Menghargai, menghormati dan memuliakan orang lain itu juga merupakan keharusan yang wajib kita lakukan. Jika ingin dihargai, maka hargailah orang lain dahulu. Jika ingin dihormati, maka hormatilah orang lain dahulu. Dan jika ingin tidak disepelekan, maka jadilah orang yang jujur. Kejujuran adalah mahkota jiwa paling berharga. Tanpanya apalah artinya sebuah kehidupan ini.  Meski demikian, terkadang kebaikan sering disalah artikan. Klaim-klaim yang tidak benar, dengan bebasnya bersarang di kehidupan kita. Barangkali inilah yang disebut “tega”. Tega dalam arti bersikap dan berperilaku di luar nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam rangka menghargai dan menghormati orang lain, tentu tak semudah yang kita bayangkan. Banyak dinamika yang akan terjadi untuk menguji kepercayaan kita terhadap orang lain. Ujian tersebut salah satunya adalah salah penilaian. Penilaian kita ini hanya ada 2 jawaban, yakni benar atau salah. Jika benar, maka penilaian kita cermat. Tentu ini dengan pembuktian yang benar. Jika itu salah, maka penilaian kita kurang cermat. Dan kita telah salah sangka terhadapnya. Salah sangka tersebut jika diikuti perbuatan fisik, maka itu dzalim atau dalam bahasa lain, “si A sudah “tega” sama si B dengan menuduhnya sebagai pencuri, padahal dia hanya lewat di jalan itu”. Dengan demikian, apa yang kita sampaikan jika orang lain mendengar, adalah fitnah. Maka, hati-hatilah dalam bersangka.
Di dunia ini, ada 2 makna konotatif yang saling berlawanan satu sama lain. Baik dan buruk, benar dan salah, jujur dan bohong, bersih dan kotor, syurga dan neraka, dan lain sebagainya. Begitu pula dengan sikap dan perilaku kita sehari-hari. Jika dinilai, yaaa antara 2 makna di atas. Misalnya, kita menilai orang dalam lingkaran jujur atau bohong. Yang akan kita dapatkan adalah karakter orang tersebut dibawah ini:

A. Dari sudut yang dinilai
1.    Orang jujur berkata jujur
Karakter ini yang harus kita lakukan. Berkatalah jujur, meski itu pahit. Kejujuran yang akan membawa ketenangan hati, kenyamanan dalam bertindak dan kedamaian dalam bersosial. Memang tidak mudah, untuk selalu jujur  dalam segala hal, apapun itu. Sekali lagi, tidak mudah. Namun, Allah SWT senantiasa memberikan kepercayaan kepada untuk selalu berusaha-berusaha dan berusaha. Maka, tidak ada kata lain, kecuali mari kita selalu berusaha jujur. Jujur itu tenang, jujur itu nyaman, jujur itu damai, jujur itu sejahtera, jujur itu syurga.

2.    Orang jujur berkata bohong
Karakter ini saya pikir aneh, tapi fakta dan terkadang terjadi di sekeliling kita. Masing-masing orang punya alasan masing-masing, dan saya tidak berani menyalahkan atau membenarkannya. Misalnya, handphone istri Andi rusak. Andi pun berniat membelikannya. Andi tahu kalau HP istrinya yang rusak itu tidak bagus, maka niat Andi membelikan HP istrinya tersebut dengan HP yang lebih bagus dari sebelumnya. Namun, niat ini terhalang dengan karakter istri yang pola pikirnya ekonomis. Maka, Andi tetap membelikan HP dengan yang lebih bagus, tetapi dengan mengurangi harga belinya. Tujuan Andi adalah untuk meredam supaya istrinya tersebut tidak marah. Supaya senyum bahagianya lebar tanpa terkurang sedikitpun. HP yang dibeli Andi harga Rp. 1.300.000, tetapi dalam kwitansinya diminta diisi hanya 1.000.000 saja. Andi tetap membayar sesuai harga, tetapi diturunkan harganya didepan istri. Demikian, saya katakan ini pengorbanan Andi, buka kebohongan Andi. Andi lebih baik menolak madlorot, dan tetap membuat istri bahagia. Kalau menurut Anda tidak, ya silahkan.


3.    Orang bohong berkata jujur
Aneh, batasan kejujuran dan kebohongan dalam hal ini semakin kabur. Saya pikir ini, kebohongan tingkat tinggi. Bayangkan, bagaimana kita menganggap seseorang yang sudah terbiasa berbohong, tetapi pengungkapannya dengan cara jujur. Kita tetap menggunakan dasar praduga tak bersalah, atau dengan bahasa lain saya katakan tidak ada pembohong di dunia ini. Namun, sebelum ada bukti nyata yang menunjukkan kebohongan itu. Misal, contoh sederhana saat ibu bertanya kepada anak anaknya dengan pertanyaan semacam ini, “Nak, Pekerjaan Rumahnya sudah dikerjakan”. Dengan tegas anak-anak kita menjawab, “aku sudah mengerjakan Matematika Bu. Soalnya tidak mudah, tapi aku bisa bu”. Jawabnya. Nah, jawaban anak, sebenarnya belum menjawab pertanyaan ibu tadi. Bisa jadi anak tersebut sudah mengerjakan PR, bisa jadi juga belum. Anak dengan kemampuannya sendiri ingin menutupi Prnya yang belum dikerjakan, tetapi ia menjawab dengan jawaban yang tidak salah. Bis ajadi anak tersebut, siang atau sore harinya memamg betul-betul sudah mengerjakan soal Matematika. Meski Prnya dikehendaki sebenarnya bukan Matematika. Nah, pola orang bohong berkata jujur seperti ini biasanya dilakukan oleh para politisi-politisi kita.


4.    Orang bohong berkata bohong
Orang bohong cenderung menutup kebohongannya. Orang bohong tidak suka apa yang ditutupi itu diketahui oleh orang lain. Sehingga dia melakukan cara apapun untuk menutupinya. Dalam terminologi psikologis, saya katakan bahwa seseorang yang sekali saja berbohong, maka ia akan berbohong untuk kedua kali dan seterusnya sampai apa yang ditutupinya itu tersimpan rapat-rapat. Karakter seperti ini justru umum dilakukan oleh orang yang bohong. Orang bohong biasanya bohong dalam perkataannya. Meski bahagaimanapun, kita tidak boleh menjustice bahwa seseorang tersebut sebagai pembohong.

B.    Dari sudut penilai
1.    Orang jujur disangka bohong
Saya pikir berbahaya jika persangkaan seperti ini dilakukan. Bayangkan, orang yang sudah berkata jujur tapi tetap disangka bohong. Jika hanya sekali atau dua kali memberi pernyataan jujur, tetap saja disangka dibohong. Bahkan mungkin sampai berkali-kali tetap disangka bohong, ini bagaimana? Contoh seperti ini banyak terjadi di pengadilan. Bagaimana jika si Hakim tidak sabar mengadili terdakwa, meski bukti yang dikumpulkan belum kuat, tetapi sudah diambil keputusan, bahwa terdakwa adalah yang bersalah. Tentu hal semacam ini menyalahi ketentuan hukum yang berlaku. Terus bagaimana? Ya proses pembuktian harus terus dilanjutkan sampai minimal bisa membuktikan kesalahannya dengan 2 alat bukti. Jadi, berhati-hatilah dengan sebuah persangkaan. Persangkaan kita terhadap seseorang mempengaruhi sikap dan perilaku kita kepadanya. Apa yang kita pikir, sangat mempengaruhi apa yang kita ucapkan. Apa yang kita ucapkan, mempengaruhi apa yang kita lakukan. Apa yang kita lakukan itu adalah representase dari persangkaan kita.
2.    Orang bohong disangka jujur
Karakter yang seperti ini juga berbahaya. Yang ketiga ini kebalikan dari yang pertama. Orang jujur disangka bohong, sebaliknya orang bohong disangka jujur. Faktanya, perilaku-perilaku bohong bukan hanya ditunjukkan oleh orang suka bohong, melainkan orang jujur saja terkadang bohong. Selalu jujur, juga belum tentu tidak pernah berbohong. Jadi, sekali bohong disangka jujur. Fenomena semacam ini kerapkali terjadi juga pada ranah perpolitikan di tanah air. Tokoh yang selama ini dikenal dengan kejujurannya, kampanye dengan program-programnya yang luar biasa, tiba-tiba terciduk oleh KPK dengan nilai korupsi hingga ratusan juta rupiah. Kita harus berterimakasih dengan KPK karena telah berhasil mengungkap praktik-praktik kotor tersebut. Jika tidak KPK, orang-orang bohong berkerah putih akan terus menggerogoti uang rakyat yang seharusnya menjadi haknya.

Nah, mengapa saya buat 2 kategori? Tak lain karena kita harus memisahkan antara persangkaan dan realitas, firasat dengan fakta. Bahkan fakta sendiri itu juga harus bisa mengungkap kenyataan yang benar-benar terjadi, bukan hanya fakta persangkaan. Jika fakta persangkaan, maka itu bukan fakta, melainkan firasat. Jangan sampai salah diagnosa dalam memutuskan suatu masalah.

Dalam memutuskan suatu masalah harus mengacu pada kaidah-kaidah kebenaran. Kebenaran yang bagaimana? Meski tidak ada kebenaran absolut,  apalagi kebenaran firasat. Yang ada hanya kebenaran empiris atau kebenaran ilmiah. Ini pun masih kita katakan tidak absolut, mengapa? Karena kebenaran hanya milik Allah SWT. Jadi, bayangkan jika pengambil keputusan ini menggunakan kebenaran firasat sebagai dasar berpikirnya, maka bisa kita bayangkan apa yang akan terjadi. Pengambil keputusan jika berlandaskan pola pikir seperti ini akan membawa pada permasalahan baru, bukan menyelesaikan masalah.

Jadi, mengapa orang bisa dikatakan tega dalam hal ini adalah orang yang menilai bohong orang jujur dan orang jujur disangka bohong. Saya pikir ini bukan masalah sepele karena ada karakter yang dimatikan disana. Karakter jujur dimatikan, karakter bohong yang dikedepankan. Orang bohong seolah-olah jujur dan sebaliknya orang jujur disangka bohong. Mungkin saja, inilah yang disebut pembunuhan karakter. Karakter yang sebenarnya ditutup-tutupi dengan karakter sangkaan yang dialamatkan padanya. Semoga kita terhindar dari persangkaan-persangkaan yang demikian ini.


Selamat Membaca

Tidak ada komentar:
Write comments