Jumat, 21 Oktober 2016

Guru Sebuah Profesi

                                                                      
                                                                             Oleh : Miftahudin

Guru dalam nuansa pembangunan nasional di Negara ini menempati peran, fungsi dan kedudukan yang sangat strategis. Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia tak akan tercapai jika tanpa perang seorang guru. Begitu juga akuntabilitas pendidikan yang diharap-harap mampu meningkatkan SDM dalam menghadapi tantangan global pun tak akan terpenuhi jika kesejahteraan guru tidak diperhatikan. Pahit manisnya menjadi seorang Guru, yang jelas tanggal 25 November nanti kita peringati sebagai Hari Guru Nasional.

      Sebagaimana tertuang dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, secara tegas bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (BAB I Pasal 1 ayat 1). Jika profesional dalam pengertian tersebut diartikan sebagai pekerjaan yang menjadi sumber penghasilan yang butuh keahlian, kemahiran, dan kecakapan serta memenuhi standar mutu, maka guru merupakan sebuah profesi, bukan jasa. Jadi, tidak mau tidak harus mempunyai pendidikan profesinya untuk mendukung pekerjaannya itu.


      Pada prinsipnya, profesionalitas guru merupakan tahapan-tahapan yang dilakukan berdasar kode etik profesi keguruan. Bangunan prinsip tersebut merupakan dasar untuk mewujudkan agenda tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam UU Sisdiknas, yakni untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab (BAB III Pasal 3).


      Bangunan prinsip profesi guru yang dimaksud di atas antara lain sebagai berikut :
1.    Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme,
2.  Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia,
3.    Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas,
4.    Memiliki kompetensi yang di perlukan sesuai dengan bidang tugas,
5.    Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan,
6.  Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat,
7.    Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan,
8.  Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesonalan guru.


      Benarkah demikian fakta di lapangan? Kita patut secara kritis mempertanyakan realisasi prinsip-prinsip tersebut. Bagaimana bisa mewujudkan cita-cita pendidikan nasional yang mulia itu, jika guru tidak berbakat mendidik peserta didik, minat mengajarnya pun ogah-ogahan, panggilan jiwanya hampa atau karena terpaksa, dan tidak mempunyai idealisme yang kokoh. Keberhasilan pembelajaran sangat ditentukan oleh kiat masing-masing guru di kelas sesuai dengan bidang tugasnya. Hal ini disebabkan karena gurulah yang mempunyai keahlian transfer of knowledge dan sebagai pemandu dalam setiap pembelajaran. Di pundaknya, harapan bangsa ini digantungkan.
      Namun, faktanya justru kebanyakan guru lantaran panggilan jiwanya kering, apalagi idealisme diri yang kurang mapan, proses penting itu akhirnya terkesampingkan. Idealnya guru memang harus menguasai substansi keilmuwan yang ditekuninya, akan tetapi baginya yang penting pembelajaran bisa berlangsung tanpa memperdulikan faham dan tidaknya peserta didik. Mereka tak peduli tentang karakteristik dan latar belakang peserta didik sehingga merasa tidak memerlukan pengetahuan tentang aspek-aspek psikologis, sosiologis dan buadaya pembelajaran yang nyaman, menyenangkan dan tentunya lebih memahamkan peserta didik. Persiapan guru dalam merancang rencana pelaksanaan pembelajaran, dalam hal inilah faktor utama yang menentukan.


      Komitmen seorang guru juga tak kalah pentingnya dalam upaya mewujudkan pendidikan nasional. Dengan keimanan, ketakwaan dan akhlak mulianya, seorang guru idealnya bukan hanya seorang mu’allim, melainkan juga sebagai mudarris dan muaddib. Di mana dengan ketiga kriteria tersebut dipercaya akan mampu mengantarkan peserta didik yang sholih, baik sholih individu maupun sholih sosial. Jika prinsip ini dilaksanakan dengan baik, niscaya pendidikan tanpa kekerasan bisa terminimalisir dengan sendirinya. Banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan oleh oknum guru kiranya tak lain penyebabnya adalah kegersangan iman, takwa dan akhlak pada dirinya.
      Belum lama ini, empat orang siswa kelas X di sebuah SMA Negeri ternama di Semarang di robek celana seragamnya, bahkan teganya disuruh saling merobek-robek oleh oknum gurunya sendiri (SM, 09/08/11). Padahal belum ada peringatan dari pihak sekolah, karena suatu alasan, keempat siswa malang itu telat masuk sekolah. Tidak hanya itu, kedua kaos kakinya pun dibuang tanpa alasan yang jelas. Akibatnya, siswa-siswa malang tersebut stress karena malu dilihat teman-teman mereka. mereka pun jadi enggan masuk sekolah lagi lantaran baru beberapa bulan saja sekolah sudah diperlakukan secara kasar.


      Ironisnya, jika dibandingkan dengan kasus-kasus yang lain, kasus diatas tergolong kasus ringan. Masih banyak lagi kasus-kasus kekerasan, seperti pemukulan, penggojlokan, hukuman fisik diluar kemampuan, bahkan ada kasus pelecehan seksual pada peserta didiknya sendiri. Seketika dunia pendidikan tercengangkan oleh kasus-kasus tersebut. Pendidikan yang berbasis pada “memanusiakan manusia”, meskipun itu konsep lama, namun ternyata belum sepenuhnya di jalankan oleh guru.
      Terkait dengan prinsip kualifikasi akademik, ini sangat dibutuhkan karena mengingat guru adalah sebagai profesi, maka kemahiran, keahlian dan ketrampilan menjadi sangat penting. Regulasi yang mengatur bahwa guru harus mengenyam pendidikan sarjana perlu didukung semua lapisan masyarakat karena ini wujud dari program pembangunan nasional. Menuntut ilmu itu wajib, dari kecil sampai liang lahat, maka carilah ilmu tersebut sampai ke negeri China. Nampaknya samangat ini yang digelorakan pemerintah terkait program kualifikasi guru. Oleh karena itu, belajar pun tak mengenal waktu sehingga sampai umur berapapun itu tidak menjadi halangan. Makanya tidak heran ada seorang yang diwisuda S1 dengan usia 54 tahun, usia 76 tahun baru lulus S2, usia 80 tahun wisuda doctor, dan lain sebagainya. Namun, yang mencengangkan adalah Indonesia dengan jumlah guru 2,7 juta guru, yakni terbanyak peringkat ketiga setelah China dan India, ternyata sekitar satu juta orang belum berpendidikan S1. Sama halnya dengan 40% guru di negeri ini masih perlu meningkatkan kualifikasi pendidikannya sesuai yang diamanatkan Negara melalui Undang-undang.


      Kualifikasi akademik sangat mempengaruhi kompetensi guru. Saking sangat pentingnya kompetensi tersebut, dalam Undang-undang diperinci menjadi empat kompetensi guru, yakni kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Negara Indonesia adalah Negara penganut demokrasi, ia pun menganjurkan diberlakukannya demokratisasi dalam pembelajaran di kelas maupun pada kepemimpinan sekolah. Setiap guru punya hak dan kewajiban masing-masing, begitu juga sebaliknya peserta didik. Hak guru atas peserta didiknya antara lain mendapat kehormatan atas kewajiban yang ditunaikannya.
      Menurut Cooper (1990) diantara hal yang dapat menjadikan guru mendapat kehormatan atas peserta didiknya adalah :
1)    Guru harus sebagai pembuat keputusan,
2)    Guru harus mampu bertindak sebagai perencana pembelajaran,
3)    Guru harus mampu berperan sebagai penentu pembelajaran,
4)    Guru harus memiliki kecakapan menyampaikan pembelajaran,
5)    Guru harus cakap bertanya mendinamisasikan kelas,
6)    Guru harus memahami konsep pengajaran dan pembelajaran,
7)    Guru harus cakap berkomunikasi,
8)    Guru harus mampu mengendalikan kelas,
9)    Guru harus mampu mengakomodir kebutuhan peserta didik,
10)   Guru harus dapat melakukan evaluasi.
     Di samping hal-hal diatas merupakan sebuah kewajiban guru, sebagian diantara adalah kompetensi yang mutlak harus dimiliki untuk memenuhi tuntutan empat kompetensi guru. Namun, faktanya masih banyak guru sekarang ini yang memasuki kelas dengan tangan kosong atau hanya membawa buku panduan, peserta didik disuruh membaca dan menyimpulkan sendiri, kemudian mereka beri soal, entah berkaitan dengan tema atau tidak yang penting mereka ada kesibukan di kelas dan tidak ramai. Itu sudah merupakan keuntungan bagi guru karena sudah menggugurkan kewajibannya mengajar. Ada istilah yang relevan dengan fakta demikian, “jika guru masuk kelas tanpa persiapan, maka keluar kelas harus siap tanpa kehormatan dan kewibawaan”. Inilah cermin dari demokratisasi di kelas karena peserta didik pun juga berhak menilai apakah guru tersebut berkompeten atau tidak.

Tidak ada komentar:
Write comments